"Ada tiga objek utama yang paling banyak dimention kalau harga BBM Naik: Presidennya, Inflasi (Istilah yang Menggambarkan Harga Harga Barang Naik), dan Pertamina."
Statemen awal opini saya ini boleh jadi benar, boleh jadi tidak.Sesuai judulnya, karena ini sebuah pandangan dari saya, seorang mahasiswa Akuntansi yang ingin belajar, diajari, untuk kemudian menjadi seorang terpelajar tentang Akuntansi Perminyakan.Obyekannya anak teknik (geologi, FTTM,teknik kimia), anak akuntansi tahu apa? Ini menariknya, ketika suatu objek akan tumbuh berkembang ketika berbagai perspektif ilmu secara teoretis dan aplikatif dapat berkontribusi secara konstruktif membangunnya.
Kembali ke pertanyaan awal, walau tidak benar ketiganya, saya yakin tiga hal tersebut menjadi topik yang diperbincangkan ketika harga BBM Naik. Lebih tepatnya mungkin dikritisi, bila tak ingin dikatakan dipersalahkan. "Presidennya gak mikirin rakyat lah, makin susah karena harga-harga naik lah, Pertamina ga becus ngelola minyak lah".statemen ini seolah jadi trending topic musiman karena hampir setiap tahun isu harga BBM ini bergejolak. Kalau sudah gini, bukan hanya jadi opini, melainkan stereotipe negatif tanpa mengetahui duduk paham persoalannya.
Tak bisa dipungkiri, sorot mata tajam menatap Pertamina, terlepas dari Pemerintah terkait pengelolaan minyak ketika harga BBM atau produk minyak lain naik. Ada statemen membela, mempertanyakan, bahkan mencecar pedas kinerjanya. Apa yang saya lihat beberapa hal mengerucut pada satu konklusi: keraguan akan kinerja dan masa depan Pertamina. Benarkah demikian? Seperti janji saya di awal, saya mencoba memandang ini dari kacamata seorang awam yang belajar Akuntansi, dari perspektif bisnis sebuah korporasi.
Pertanyaan pertama: Pertamina itu tergolong apa?Perusahaan?Benar, BUMN? Benar, Perum/Persero/Perjan? Persero (tanpa terbatas). Pertamina adalah korporasi, perusahaan persero dengan tujuan mencari keuntungan. Salah bila memandang Pertamina sebagai perusahaan dengan memberi kemanfaatan murni tanpa mengejar keuntungan, karena Pertamina bukan Perum. Meskipun Pertamina kini masih tetap menjadi pengemban mandat penyedia PSO (Public Service Obligation) seperti premium dan solar, memandang buta Pemerintah layaknya Pemerintah yang boleh defisit adalah pandangan yang salah kaprah karena justru akan membunuh mati Pertamina sendiri sebagai sebuah korporasi.
Argumen selanjutnya: Jangan serta merta untung dijadikan suatu hal negatif, menggerorogoti konsumen dengan margin tinggi dengan quality cost rendah atau ketidakberpihakan akan rakyat kecil dengan penyesuaian harga, sekali lagi, Pertamina adalah korporasi. Pertamina meraup laba, bukan untuk pemegang saham, karena bentuknya masih Persero, melainkan untuk tumbuh, berkembang. Pertamina untung, laba dibagikan sebagai dividen hanya untuk Pemerintah dan sisanya, menjadi laba ditahan untuk diinvestasikan kembali.Sehingga, Pertamina UNTUNG ITU HARUS, tetapi bukan berarti kritikan pedas akan aktivitas bisnis mereka tidak bisa dilakukan.
So, mari kita pahami bagaimana cara menilai kinerja Pertamina. Pertamina mungkin salah satu korporasi dengan kompleksitas aktivitas bisnis, bahkan korporasi dengan aspek pengelolaan terumit di dunia dengan konsentrasi terbagi untuk menyediakan kebutuhan publik (PSO mandate). Secara sederhana mungkin kita dapat membagi Pertamina dalam tiga aktivitas besar: Upstream, Midstream, and Downstream. Saya membaginya menjadi tiga: hulu, tengah (pengolahan/kilang), dan hilir (pemasaran dan distribusi) karena 3 penilaian kinerja yang berbeda pada tiga aktivitas tersebut.
Hulu, orang mengidentikkan dengan aktivitas eksplorasi, pencarian sumber minyak, pencarian sumur berpotensi yang memberikan pengembalian (minyak) sebagai sumber minyak potensial yang dapat diandalkan. Secara teknis saya tidak ingin membicarakan detail, tetapi, bagaimana kita bisa menilai kinerja unit hulu (PHE, Pertamina EP) bukan dari pencapaian dollar keuntungan yang mereka peroleh. Bagaimana mereka berbicara tentang operasi mereka? Meski bisa dikonversikan dollar, atau untung diukur dari barrel produksi, unit produksi adalah suatu investment center dalam korporasi. Investment center adalah pusat pertanggungjawaban dengan tolok ukur penggunaan kapital untuk mencapai keuntungan (target produksi tertentu). Mengapa pusat investasi? Karena bisnis eksplorasi minyak memiliki tingkat resiko tinggi, pencarian minyak harus didasarkan pada berapa pencapaian produksi dalam satu tahun dengan investasi aset/kapital berapa dollar/rupiah. Bila didasarkan pada satu aspek saja, misal investasi aset saja maka ujungnya hanya keengganan berinvestasi, mencari sumber eksplorasi baru yang berimbas pada keterbatasan ketersediaan minyak. Bila hanya didasarkan pada pencapaian produksi, hal sebaliknya terjadi, eksplorasi secara agresif tanpa sadar hal itu justru menghabiskan Capital Expenditure untuk investasi aset produksi.
Pengolahan, orang banyak berbicara tentang kilang, efisiensi produksi, biaya yang timbul untuk mengolah minyak mentah menjadi produk minyak (avtur, premium, LPG, aspal,dll). Benar ketika suatu unit pengolahan dipertanyakan dari sisi efisiensinya, karena kontrol unit ini terletak pada biaya, atau sebagai cost/expense center. Maka, tidak jarang masyarakat mempertanyakan efisiensi Pertamina, dengan menunjuk aktivitas kilangnya karena pada unit bisnis ini, minyak mentah dihimpun, diproses menjadi produk minyak yang kemudian disalurkan pada unit hilir (distribusi dan pemasaran). Sebaliknya, salah bila Pemerintah sampai detik ini masih ragu untuk berinvestasi dengan membangun kilang baru/mengembangkan kilang yang sudah ada karena kekhawatiran margin kilang yang kecil dan tidak menarik untuk investor. Utamanya, unit pengolahan TIDAK BERPIKIR UNTUNG, karena saluran penjualan berada pada unit hilir, bukan unit pengolahan. Strategi harus dibangun Pemerintah, bila ada keterbatasan APBN untuk investasi kilang yang menghabiskan dana ratusan triliun. Solusinya bisa dengan joint venture (G to B)dengan perusahaan asing yang memiliki ladang minyak, dengan menawarkan insentif sekaligus membeli minyak yang diproduksinya. Atau, bekerjasama dengan NOC negara yang oversupply minyak untuk menjadi penyuplai minyak sekaligus membangun kilang pengolahannya. Karena masalah negara kita saat ini ada pada keterbatasan sumber daya minyak dan keterbatasan teknologi dan pengolahan minyak itu sendiri (tidak semua kilang minyak di Indonesia mampu mengolah minyak sendiri/impor dan memproduksi produk minyak yang tersedia di pasar).
Hilir? Tentu, di sini Pertamina harus menjadikan unit hilir sebagai Revenue Center. Revenue Center mendasarkan diri pada pencapaian pendapatan yang diperoleh dari bagian pemasaran dan distribusi. Mengapa bukan Profit Center? Alasan utamanya adalah karena komponen biaya yang dihasilkan dari unit ini pada umumnya memiliki persentase kecil dari keseluruhan kos produk. Pusat pendapatan hanya mengontrol biaya yang bisa dikontrol oleh pusat pendapatan, salah satunya adalah biaya pemasaran. Dengan demikian, bila unit pengolahan mampu mewujudkan diri sebagai pusat biaya yang baik, efisiensi produksi tercapai, unit pemasaran berfokus pada pemerolehan pendapatan dan menjaga pangsa pasar produk Pertamina sendiri. Hal ini esensial, mengingat konsekuensi tingginya harga BBM bersubsidi saat ini adalah, kompetisi semakin terbuka antara Pertamax sebagai BBM non sbusidi dengan produk Shell, Petronas. Kemampuan menjaga pangsa pasar dan pendapatan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan unit pengisian bahan bakar menjadi kunci dan hal utama.
Mari jadi kritikus cerdas, karena Pertamina sebagai korporasi memiliki tiga unit bisnis besar dengan karakteristik yang cukup jauh berbeda, agaknya perlu lebih lihai memandang ukuran kinerja dari masing masing aktivitas bisnis. Harapan yang sama disampaikan pada Pemerintah, agar memandang Pertamina tidak hanya sebagai entitas 'sapi perah' yang dinanti setoran dividen untuk penerimaan negara, melainkan aktif dan peduli mendampingi Pertamina sebagai korporasi yang berkembang menjadi besar, kebanggaan kita bersama. Layaknya skuad sepakbola, Pertamina memiliki tiga lini yang penting: kiper dan pemain bertahan (unit pengolahan) yang menjaga efisiensi permainan, mencoba untuk tidak kebobolan, gelandang (hulu) yang diukur dari umpan ke penyerang, kemampuan menciptakan peluang dari kontrol permainan, serta penyerang (pemasaran-distribusi) yang diharapkan mampu membawa tim menang, mencetak banyak gol dan peluang. Seperti sepakbola kita yang terus diharapkan menjadi kebanggaan negeri ini, Pertamina dengan tiga lini, juga menjadi harapan menjadi kebanggaan besar negeri, menjadi powerhouse Indonesia dan korporasi berdaya saing di dunia.
Aldo Egi Ibrahim
@AldoEgi