Di sore hari yang menguning lengit, ada seorang Nelayan dan anaknya yang sedang melepas rindu. Di tengah hamparan laut mereka memancing ikan diantara tumpukan-tumpukan sampah yang membentang disekeliling mereka. Sang Ayah sangat merindukan masa-masa ini, tetapi si anak malah sebaliknya, ia lebih senang dengan kehidupan barunya di Kota. Dengan raut wajah yang bosan si anak berkata.
“Kenapa kita kesini sih, Pak?”
“Memang kamu tidak rindu, dengan ini?” jawab sang Ayah sambil menunjukan jaring pancing yang sering digunakan anaknya semasa kecil.
Si anak malah mengabaikan tindakan sang Ayah, dan malah sibuk dengan ponselnya, sambil berkata.
“Dikota itu lebih enak Pak, lebih nyaman. Disana Bapak bisa dapat semuanya, saya bisa bawa Bapak ke Kota, Bapak bisa tinggal dengan Saya. Saya mampu memenuhi kebutuhan Bapak disana.”
Sang Ayah terdiam sambil mangangkat jaring, dan membersihkan sampah dijaring.
“Sudahlah, pak, disini itu banyak sampah, masih saja menjaring disini. Berapa sih penghasilan dari semua ini. Apalagi keadaan laut seperti ini, mana mungkin Bapak bisa mendapatkan ikan seperti dulu.”
Sang Ayah masih tidak habis pikir dengan pemikiran anaknya yang sudah berubah semenjak meninggalkan keluarganya, ia lebih mementingkan kehidupannya yang baru. Sang Ayah kecewa dengan anaknya karena tidak mau merasakan kehidupannya yang dahulu, dimana saat kecil ia senang sekali diajak pergi memancing, menangkap ikan, bermain dengan air di laut.
Tidak lama kemudian sang Ayah kembali menarik jaringnya, dan ia merasa jaringnya berat sekali. Awalnya ia mengira bahwa ini hanyalah tumpukan sampah, setelah berhasil menarik jaringnya ternyata terdapat seekor ikan badut diantara tumpukan sampah dijaringnya.
“Nak lihat Bapak dapat ikan!”
“Paling juga sampah lagi.” sahut si anak.
“Tidak nak, coba lihat ini ikan badut. Bapak jadi ingat waktu kamu kecil, kamu menangis ingin memeliharanya, memaksa Bapak untuk membawanya pulang dan minta dibuatkan aquarium.”
“Kalau sekarang untuk apa, Pak? Rumah ku sudah penuh dengan perabot rumah.”
“Ya sudahlah, Bapak lepaskan saja, dikirain kamu mau memeliharanya.” Jawab sedih sang Bapak.
Si anak masih bersikeras memaksa sang Ayah untuk hidup bersamanya di kota. Menurutnya kehidupan di kota jauh lebih baik daripada harus memancing setiap hari dilaut yang sudah dipenuhi dengan sampah plastik, Styrofoam, kaleng bekas, dan sampah lainnya.
“Bapak mau tetap disini. Membiarkan seumur hidup Bapak dekat dengan laut. Disini Bapak bisa melihat ombak, merasakan udara laut. Semua itu membuat Bapak tenang.”
Setelah mendengar pernyataan sang Ayah, ia tetap kekeh menginginkan ayahnya tinggal di Kota. Saat si anak berusaha menjelaskan suasana yang ada di kota, tiba-tiba sang Ayah kembali mengangkat jaringnya sambil berseru.
“Nak lihat! Bapak dapat ikan lagi.”
Si anak mulai bosan dengan tingkah laku ayahnya, sampai ia tidak memberikan jawaban sama sekali.
“Ternyata ini ikan tongkol, nak! Kamu ingat tidak? Saat Bapak membawa pulang ikan tongkol yang banyak kemudian ikannya dimasak oleh Ibumu. Kamu sangat senang sekali dan tidak sabar untuk menyantapnya, karena ikan ini adalah makanan kesukaanmu saat itu, dan kamu berkata bahwa masakan Ibumu adalah yang terlezat.” Ungkap sang Ayah sambil menitihkan air mata
Si anak terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa sambil ikut menitihkan air matanya saat mengingat masa itu. Lalu sang Ayah mengahampiri anaknya dan memeluknya dengan erat sambil berkata.
“Laut sudah berubah, tidak seperti dahulu. Waktu itu ya, Bapak sama kamu selalu mendapatkan ikan yang banyak, ikan-ikan berkumpul dalam laut yang bersih, laut yang disukai ikan-ikan. Mereka bermain, bercanda, bahkan ada yang melompat ke udara, dan wajah bahagiamu terlihat pada saat itu. Kau juga senang membiarkan tanganmu terhempas oleh ombak, Kamu tertawa Ketika airnya mengenai wajahmu. Lalu kamu berdiri di depan kapal, berlagak seperti pelaut di film-film, rambut yang terurai tertiup angin bertertiak “AKU ADALAH SEORANG PELAUT” dan Bapak tertawa mendengarnya. Ketika sore kita selalu melepas lelah diantara matahari yang akan terbenam. Kamu ingat tidak?.”
“Ingat, Pak. Jadi merindukan masa-masa itu ya” jawab si Anak yang masih menitihkan air mata
“Kamu mau melakukannya lagi?.” sahut sang Ayah
“Ayo..Pak!.” seru si Anak
Akhirnya si Anak mulai mau merasakan kehidupannya yang dahulu lagi dengan sang Ayah, dan sudah mulai melupakan keinginannya untuk membawa Ayahnya tinggal bersamanya di Kota. Lalu ia lebih memilih sang Ayah untuk tetap hidup berdampingan dengan laut, dengan membuatkan tempat tinggal yang layak beserta kolam ikan untuk dijual, dan dipelihara. Dan si Anak tetap tinggal di Kota serta sekarang mulai sering mengunjungi sang Ayah di laut.
Warmindo samping RS Mitra Keluarga, 04 April 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H