Mohon tunggu...
Aldis Tannos
Aldis Tannos Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasus Pembunuhan Mirna Tidak Sama dengan Papa Minta Saham

10 Oktober 2016   12:50 Diperbarui: 10 Oktober 2016   13:21 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan Jaksa Penuntut Umum di sidang ke-27 Jessica Sianida menimbulkan respon ketidakpuasan bagi beberapa pihak. Di satu pihak, keluarga Mirna Salihin dan sebagian masyarakat merasa hukuman 20 tahun penjara belum bisa menyeimbangkan neraca keadilan pada kasus ini. Di pihak lain, muncul secara tiba-tiba sosok pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, yang berkoar seputar ke-absah-an Closed Circuit Television (CCTV)  CCTV sebagai barang bukti dalam kasus ini.

Kemunculan Hotman Paris bukan tanpa api. Sejak Rabu, 31 Agustus 2016 malam, ia telah mengindikasikan ketertarikan terhadap kasus ini. Hotman merahasiakan alasannya tidak bergabung ke dalam tim Otto Hasibuan. Namun, tiba-tiba, lewat laman Facebook-nya muncul unggahan press release yang mengatakan bahwa rekaman CCTV di Kafe Olivier tidak bisa dijadikan alat bukti sah sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU_XIV/2016 tanggal 7 September 2016.

Dalam putusan tersebut, MK meloloskan keberatan Setya Novanto prihal barang bukti rekaman suara yang diambil secara diam-diam oleh Ma’roef Sjamsoeddin. Alasannya, yang dilakukan Sjamsoeddin itu melawan hukum dan melanggar privasi karena untuk menyadap percakapan yang tidak publik, dibutuhkan izin dari aparat penegak hukum.

Dengan alasan serupa dan putusan tersebut sebagai dasar hukum, Hotman Paris menuntut rekaman CCTV Kafe Olivier dikeluarkan dari barang bukti. Tak ragu-ragu, ia bahkan meminta Jessica dibebaskan. Lah?

Tuntutan Hotman Paris langsung dibantah oleh kantor pengacara Lukas & Partner. Menurut kantor pengacara tersebut, secara substantif, rekaman CCTV tidak bisa disamakan dengan penyadapan Sjamsoeddin. Penyadapan adalah kegiatan mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik. Sedangkan rekaman CCTV bersifat publik sehingga tidak melanggar hak privasi siapapun.

Menurut Nadia Saphira, advokat dari Lukas dan Partner, Hotman perlu membaca lagi Putusan MK Nomor 20/PUU_XIV/2016 tanggal 7 September 2016 secara menyeluruh supaya jelas. Karena putusan tersebut bertujuan membatasi dipergunakan informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam suatu perkara, hanya jika perolehannya melanggar hak asasi dan privasi seseorang.

Lewat pernyataan Hotman Paris, tersirat pendapat yang tidak matang bahwa segala bukti berupa rekaman visual maupun suara harus diperoleh atas permintaan aparat penegak hukum terlebih dahulu. Mungkin bagi koruptor yang tentu paranoid angan-angan Hotman Paris akan sangat menguntungkan. Namun, bagaimana dengan keluarga korban kasus pembunuhan oleh Jessica yang menuntut keadilan bagi Mirna?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun