Dari suara gesekan semak-semak di sekitarnya, Larcio berasumsi buruan ada di depan mata. Keduanya lalu bersiap dengan membungkuk di belakang lebatnya pepohonan dan tanaman untuk menyergap hewan tersebut.Â
Namun, yang terjadi berikutnya adalah mimpi buruk yang berubah menjadi kenyataan.
Keluar dari balik semak-semak adalah lima pria penebang liar bersenjata api yang justru tengah mengincar dua bersaudara itu. Tanpa menunggu lama, kelimanya langsung melepas tembakan yang menggema di seantero hutan.Â
Dalam kepanikan, Larcio dan Paulo berusaha menghindar dan kabur. Sialnya, mereka tidak mengenakan rompi anti-peluru, karena tidak sedang berpatroli.
Pertempuran ini tidak adil. Kedua bersaudara itu kalah jumlah dan senjata. Mereka hanya membawa golok dan tombak menghadapi serangan senjata api yang menyalak bersahutan. Peluru terus melesat mengincar mereka.Â
Malang bagi Paulo, sebuah timah panas tepat menghantam lehernya. Pemuda 26 tahun itu pun ambruk bersimbah darah. Kenangan hidupnya seketika berkelebat di depan mata. Tak lama ia mengembuskan nafas terakhir, tewas di tanah nenek moyangnya. Â
Ia terus berlari, namun pertolongan tak jua dapat ditemui. Larcio baru menemui bantuan setelah berlari sejauh 10 kilometer. Ia kemudian dibawa menuju rumah sakit di Kota Imperatriz.
Keesokan harinya, dalam kondisi yang masih sangat lemah, Larcio melawan perintah dokter untuk tetap tinggal di rumah sakit. Ia bergegas kembali mencari saudaranya. "Tunggu aku, aku datang saudaraku," harap pria perkasa ini sembari meneteskan air mata.
Seketika air matanya tumpah tak terbendung saat melihat jasad Paulo masih terbaring di tengah hutan. Dengan hati yang hancur, ia mambawanya kembali ke pemukiman. Mereka kembali dengan membawa duka, bukan buruan.
Kematian Paulo Paulino Guajajara yang berjuluk 'si Serigala' ini merupakan kematian keempat dari anggota kelompok Guardioes da Natureza sejak 2012.Â