Aku katakan, "Saya tidak familiar dengan aturan, pak."
Dan Ia marah bagai seorang yang mempunyai tanah dan mengusirku.
Saudara-saudaraku, Lihatlah para air yang tidak mempunyai pilihan kecuali tetap maju dan Mengikuti arus yang dibuat air sebelumnya.
Ku Katakan ini, tidak ada yang disebut prosedur: langkah-langkah kaki orang berurut sudah terhapus oleh badai salju. Kau tertinggal dan buta, untuk itu, biarkan kakimu, membawamu kemanapun Ia suka.
Kita punya pilihan. Entah itu membuat alur yang baru atau justru mengikuti alur yang sudah ada. Ketahuilah, Aturan kuno penuh dengan urutan sistematis dan kepatuhan-kepatuhan itu membosankan.
Bukankah sesuatu yang kita anggap baik itu subjektif? Sesuatu yang dianggap bijak itu tergantung. Suatu waktu ada seorang veteran yang menganggap masuk organisasi militer adalah "pilihan yang Bijak". Sementara, Ia membunuh banyak manusia dalam perang bijaknya itu. Kebijaksanaan diubah menjadi kebijakan untuk membunuh manusia -- dan mereka masih berpikir itu adalah aturan yang sangat bijak.
Sekarang aku bertanya, "Masihkah kita ingin mengikuti aturan tradisional?" Karena selagi mataku melihat, Aturan itu adalah titik buta di dunia di mana semua orang adalah orang bijak dalam hidupnya.
Dengarlah, Aku Tak menyuruhmu untuk berbaris merangkak demi nasi sang pengampu kebijakan  -- Aku menyuruhmu untuk bebas untuk melompat ke mana pun kau suka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H