[caption caption="Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja (kedua dari kanan) saat berbicara dalam talkshow Kafe BCA."][/caption]Hari Rabu (13/1) lalu saya berkesempatan menghadiri sebuah talkshow bertajuk Kafe BCA bertemakan "Potensi dan Tantangan Generasi Muda sebagai Pelaku Usaha." Sesuai namanya, acara ini digagas oleh PT. Bank Central Asia Tbk (BCA) dengan tujuan mendorong lahirnya wirausahawan-wirausahawan baru yang bisa memberikan nilai tambah bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Talkshow hari itu merupakan yang perdana dan rencananya akan terus diadakan BCA pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Saya merasa sangat beruntung bisa mengikuti acara tersebut.
Bagaimana tidak beruntung, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran tentang kewirausahaan dari narasumber-narasumbernya langsung. Sebutlah narasumber yang hadir dalam Kafe BCA itu, antara lain: Jahja Setiaatmadja (Presiden Direktur BCA), Yenny Wahid (Direktur The Wahid Institute), Yasa Paramita Singgih (pengusaha muda - Men's Republic), Elihu Nugroho (pengusaha muda - Valo Waterless Car Care), dan Yudan Hermawan (sociopreneur - Goa Pindul). Kesemua narasumber tersebut mampu menggetarkan hati ini (maaf kalau lebay) untuk bisa segera mencari ide agar bisa menjadi seorang yang sukses seperti mereka.
Getaran pertama terasa ketika Jahja Setiaatmadja membuka acara tersebut. Kata-kata sambutannya benar-benar aktual dan pas nancep di hati saya (maaf kalau lebay lagi). Orang nomor satu di lingkup manajemen BCA itu mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penghambat masyarakat kita untuk menjadi pengusaha. Pertama adalah mental. Ia melihat kalau mental masyarakat kita masih tertinggal dalam hal ini.
Ia berpendapat, mental yang tertinggal itu disebabkan tidak dibiasakannya masyarakat kita dengan hal-hal berbau kewirausahaan sedari mereka kecil. "Generasi muda kita seolah tidak memandang wirausaha sebagai profesi yang membanggakan. Coba tanyakan pada diri sendiri, siapa yang sewaktu kecil bercita-cita menjadi pengusaha?" ujarnya seraya melihat ke arah para hadirin yang seolah baru menyadarinya.
Kedua adalah kultur. Kultur masyarakat kita pun ia pandang masih kurang bagus untuk berwirausaha. Banyak dari mereka yang sulit mengelola keuangannya dengan baik sehingga menghambat mereka untuk berwirausaha. Misalnya saja dalam membedakan mana uang yang untuk keperluan pribadi dan mana uang yang untuk keperluan usaha. Menurutnya, kultur seperti itu memiliki pengaruh yang tidak bisa dibilang sepele dalam perkembangan kewirausahaan masyarakat Indonesia.
Apa yang disampaikannya itu benar-benar tepat sasaran, bagi saya pribadi khususnya. Pasalnya, saya selalu berkeinginan untuk menjadi pengusaha muda yang sukses namun belum memiliki mental yang bagus untuk itu. Saya sering beranggapan tepat seperti yang beliau sampaikan bahwa profesi pengusaha masih kurang membanggakan, apalagi kalau usahanya hanya usaha kecil-kecilan. Padahal saya tahu, semua pasti dimulai dari yang kecil terlebih dahulu. Itulah mengapa hati saya seolah bergetar saat beliau menyinggung soal mental.
[caption caption="Narasumber-narasumber Kafe BCA: (kiri ke kanan) Yasa Paramita Singgih, Elihu Nugroho, Yenny Wahid, dan Yudan Hermawan."]
Narasumber-narasumber yang lainnya pun tak kalah inspiratifnya bagi saya. Yasa Paramita Singgih, misalnya. Ia berhasil menjadi pengusaha sukses di usia yang baru menginjak 20 tahun. Berawal dari kondisi terjepit yang mengharuskannya mencari uang sendiri, ia memulai usahanya dengan cara meminjam barang dari pedagang-pedagang di Tanah Abang untuk ia jual kembali. Usahanya itu kemudian mengantarkannya membangun sebuah merek fashion bernama Men's Republic. Kini, usahanya telah beromzet ratusan juta dan pria yang masih kuliah di Universitas Bina Nusantara itu sudah bisa membiayai kuliahnya sendiri. Lebih penting, ia juga bisa menghidupi banyak orang dari usahanya tersebut. Satu kutipan beliau yang meresap di pikiran saya: "Karena setiap orang memiliki jatah gagalnya sendiri-sendiri, lebih baik habiskan jatah gagalnya tersebut di usia muda."
Selanjutnya ada Elihu Nugroho. Saya salut dengan pria yang satu ini karena sangat cekatan dalam menangkap peluang usaha. Pria asal Malang ini adalah pendiri Valo Waterless Car Care -- jasa cuci mobil hemat (bahkan tanpa) air. Cara mencuci mobil seperti ini memang bukan yang pertama di dunia. Saya pernah dengar juga sebelumnya ada jasa seperti ini di Irlandia dari seorang teman yang pernah berlibur ke sana. Info lebih lanjut yang saya dapat, jasa cuci mobil semacam ini memang sangat laris di sana dikarenakan pengerjaannya yang praktis. Nah, mungkin ini yang Elihu lihat sebagai peluang, di samping memang belum ada jasa seperti itu di Indonesia. Kini, Elihu telah memiliki 33 cabang Valo dan memiliki banyak pegawai ataupun mitra. Pencapaiannya itu hanya berselang satu tahun sejak ia pertama kali membuka Valo di tahun 2014.
Lalu, ada juga Yudan Hermawan. Ia adalah seorang sociopreneur yang berhasil membangun desa Goa Pindul dari yang sebelumnya biasa-biasa saja menjadi desa yang layak wisata. Kegigihannya itu tentu saja berdampak positif bagi lingkungan sekitar. Masyarakat sekitar yang semula banyak menganggur, kini bisa juga ikut berpartisipasi dalam mengelola desanya. Artinya, Yudan berhasil membantu pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran di negeri ini. Lebih lanjut, Yudan sebetulnya juga ikut membantu pemerintah menggeliatkan sektor pariwisata negeri ini, sektor yang menurut saya sangat seksi. Dengan jumlah pengunjung yang mencapai ribuan, tentu saja Yudan membantu meningkatkan pendapatan daerah. Sungguh, itu adalah sesuatu yang mulia, yang sebetulnya juga menjadi cita-cita saya.
Satu lagi narasumber yang peran dan nasihat-nasihatnya patut diacungi jempol adalah Yenny Wahid. Beliau sangat peduli terhadap dunia kewirausahaan masyarakat kita. Untuk itu, ia mendirikan The Wahid Institute dan menciptakan program Koperasi Cinta Damai (KCD) Wahid. Program tersebut menyasar mereka-mereka yang berada di tingkat akar rumput atau yang tergolong marjinal secara ekonomi. Fokusnya meliputi tiga hal, yakni: pemberian akses permodalan, pelatihan keterampilan, dan pelatihan perencanaan keuangan. Saat ini KCD telah beranggotakan kurang lebih 1000 orang. Yang membuat saya kagum bukanlah sebatas pada dedikasinya meningkatkan perekonomian masyarakat marjinal itu namun juga harapannya agar masyarakat di tingkat tersebut menjadi lebih toleran dan berpikiran damai. Hal ini didasari dari berbagai penelitian yang ia baca bahwa terdapat korelasi antara kemiskinan dan ketegangan yang terjadi di masyarakat. Oleh karenanya, ia berpendapat perlu adanya upaya-upaya prakondisi maupun pencegahan. Itulah mengapa ia mendirikan The Wahid Institute beserta KCD-nya.