Semua orang paham kalau industri migas, seperti halnya investasi pada umumnya, penuh ketidakpastian atau risiko. Oleh sebab itu, kepastian hukum (seharusnya) menjadi satu-satunya kepastian yang bisa didapatkan para investor migas. Sayangnya, di Indonesia, hal tersebut masih, dan sepertinya masih akan, menjadi problematika sampai adanya ketetapan baru.
Seperti yang kita ketahui bersama, Mahkamah Konstitusi (MK) banyak menganulir pasal-pasal pada UU No. 22 Tahun 2001 yang mengakibatkan dibubarkannya Badan Pengatur Hulu Migas (BP Migas) tiga tahun silam. Pasca putusan MK tersebut, pemerintah melalui Kementerian ESDM langsung menindaklanjutinya dengan membentuk tim khusus, yaitu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), agar kegiatan usaha hulu migas bisa tetap berjalan normal.
Akan tetapi, hadirnya SKK Migas ternyata dinilai masih belum bisa menyelesaikan masalah mengingat statusnya yang belum jelas dan pembentukannya yang dinilai bertentangan dengan putusan MK yang mengamarkan pemerintah untuk membentuk organ baru yang terpisah dari organ-organ pemerintah yang akan diberikan konsesi dan melakukan kontrak dengan pihak ketiga.
Dikarenakan fungsinya sebagai penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu migas, kerentanan SKK Migas sangat jelas akan memengaruhi persepsi investor dalam melakukan kegiatannya di Indonesia.
Permasalahan selanjutnya yang ada pada usaha hulu migas adalah tentang pengembalian biaya operasional atau yang lebih dikenal dengan cost recovery. Sejatinya, ini adalah konsekuensi dari diterapkannya sistem bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) -- sistem yang memungkinkan negara untuk tetap berperan aktif dalam hal pengawasan kegiatan operasional migas yang dilakukan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Sistem ini telah digunakan oleh banyak negara dan Indonesia boleh berbangga karena memeloporinya.
Dalam perjalanannya, cost recovery sering dijadikan kambing hitam atas membengkaknya pengeluaran negara -- di sisi lain produksi (lifting) migas terus merosot. Padahal, hakikat cost recovery tak ubahnya sebuah investasi. Ia diterapkan untuk meningkatkan minat investor dalam melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia. Hanya saja, faktor-faktor politis membuat "wajah" cost recovery di Indonesia menjadi sedikit buram. Tekanan-tekanan untuk menekan cost recovery terus berdatangan, yang menimbulkan kekhawatiran bagi para investor atau KKKS yang telah beroperasi di Indonesia.
Permasalahan lain yang juga dinilai membuat iklim investasi hulu migas tidak kondusif adalah campur tangan pemerintah daerah. KKKS migas memiliki pengalaman yang cukup tidak mengenakkan mengenai hal ini, dimana aktivitas usaha mereka di tingkat hulu terkendala perselisihan dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. KKKS yang dimaksud di sini adalah Mobil Cepu Limited (MCL), anak usaha Exxon Mobil. Izin usaha MCL kala itu terancam dicabut oleh Bupati Bojonegoro lantaran proses tukar guling tanah kas daerah tak kunjung diselesaikan pihak MCL hingga tenggat waktu yang telah ditentukan. Selain itu, KKKS yang mengelola Blok Cepu itu pun dinilai tidak melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2011 tentang Kandungan Lokal sehingga Pemda setempat enggan untuk menurunkan beberapa izin terkait pendirian konstruksi fasilitas produksi penuh. Â
Â
Momentum Perubahan
Permasalahan-permasalahan tersebut sejatinya adalah momentum bagi pemerintah untuk membenahi industri migas nasional agar mendapatkan kembali legitimasinya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi negara. Dari segi kepastian hukum, pemerintah diharapkan bisa menyikapi ketentuan mahkamah yang bersifat final itu secara elegan dan proporsional. Elegan, agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam industri. Proporsional, artinya pemerintah mencari win-win solution agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan nantinya.
Oleh karenanya, UU Migas yang baru harus segera disusun agar bisa dibahas bersama -- dan diundangkan oleh -- DPR. Pemerintah tidak boleh terlalu lama membiarkan kekosongan ini terjadi karena dampaknya akan sangat membahayakan bagi iklim investasi migas Indonesia. Penyusunan UU Migas yang baru juga diharapkan selaras dengan apa yang diamanatkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 agar tidak terjadi lagi kekisruhan yang dapat berujung gugatan ke MK.
Rekomendasi