Mohon tunggu...
Aldi Gozali
Aldi Gozali Mohon Tunggu... Akuntan - A lifelong learner

A true learner who loves to write about business, economics, and finance. | All the articles here are originally taken from https://aldigozali.com. Visit there for more articles. | Twitter: @aldigozali | Email: aldi.gozali@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Investasi Hijau: Dilema Kapitalis

26 Februari 2015   15:56 Diperbarui: 5 Juli 2015   06:55 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_353010" align="aligncenter" width="500" caption="(Shutterstock.com)"][/caption]

Hijau adalah warna yang mengasosiasikan kelestarian alam dan lingkungan. Pasca-munculnya kampanye politik hijau (green politics) di beberapa negara Barat pada tahun 1970an, gerakan yang menggunakan warna ini sebagai konsepnya mulai banyak bermunculan seperti teknologi hijau (green technology), ekonomi hijau (green economy), investasi hijau (green investing), dan lain-lain. Tanpa perlu berpanjang-lebar, orang-orang tentu tahu kalau dasar konsep setiap gerakan tersebut adalah keramahtamahan lingkungan.

Kalau kita lakukan pencarian via Google mengenai maksud dari ramah lingkungan, semua rujukan yang ada akan memberikan definisi yang kurang-lebih sama, yaitu segala sesuatu yang keberadaan atau kelangsungannya tidak mengganggu ekosistem -- yang kemudian sering diistilahkan eco-friendly. Lantas, dengan maksud membatasi tema, seperti apa ramah lingkungan dalam konteks investasi? Seperti apa maksud investasi hijau itu?

Tentu ini tidak sama dengan langkah menanam jutaan pohon demi kondisi lingkungan yang lebih baik di masa depan -- maksud investasi hijau tidaklah seperti itu. Maksud yang benar adalah langkah menanamkan modal kita pada perusahaan-perusahaan yang, baik prosedur operasionalnya maupun produknya, memenuhi kriteria hijau atau ramah lingkungan. Lebih gamblangnya, dalam konteks ini, kita tidak diperkenankan menanamkan modal pada perusahaan-perusahaan yang membuang limbahnya sembarangan, pabriknya menghasilkan polusi, operasionalnya mengganggu lingkungan, proses produksinya boros energi, bahan pokok dan produknya berbahaya bagi kesehatan, dan lain sebagainya.

 

Rasionalitas Vs. Rentabilitas

Mencari perusahaan seperti itu (tidak hijau dari sisi prosedur operasionalnya -red) bisa jadi sulit jika tanpa pengantar pihak yang berwenang. Perusahaan mana pun pasti akan sebisa mungkin menutupi aib-aibnya, jika boleh dikatakan demikian, agar tak sembarang orang mengetahuinya.

Namun, jika kita tinjau dari sisi output atau produknya, hal ini menjadi sangat mudah dilakukan -- kita hanya perlu menggunakan rasionalitas atau akal sehat kita dalam menilai hijau tidaknya suatu produk. Apalagi jika terpampang secara jelas peringatan tentang risiko penyakit pada kemasan-kemasan produknya, hal ini semestinya sudah tidak lagi dipertanyakan. Anda ngerti maksud saya, kan?

Yang sering menjadi hambatan adalah ketika rasionalitas itu berbenturan dengan unsur-unsur rente atau rentabilitas. Ya, inilah dilemanya. Akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pemilik modal dalam mendukung kampanye ini ketika mereka dihadapkan pada sebuah perusahaan yang dicap tidak hijau karena produk-produknya membahayakan kesehatan atau lingkungan namun pos pendapatan pada laporan keuangannya menunjukkan angka yang fantastis.

Mari kita buat lebih konkrit. Bagaimana sikap Anda jika, misalkan, Anda memiliki modal yang cukup besar dan menyadari potensi yang cukup besar pula jika Anda tanamkan modal tersebut pada perusahaan yang pendapatannya bersumber dari penjualan produk yang tidak baik bagi kesehatan, katakanlah rokok? Saya yakin tidak semua bisa menolak kesempatan itu, apalagi kalau tahu pendapatan perusahaan-perusahaan industri rokok di Indonesia yang terus tumbuh dari tahun ke tahun. Sekedar info saja, ada perusahaan rokok di Indonesia yang pendapatannya terus tumbuh (hingga mencapai Rp75 triliun di tahun 2013) dan perkembangan sahamnya selama beberapa tahun belakangan pun positif.

Tentu saja, itu hanya salah satu contoh dan, memang, sah-sah saja apapun keputusan investasi yang akan diambil karena dalam ilmu investasi sendiri pun tidak dikenal embel-embel hijau seperti ini. Yang ada hanyalah membandingkan nilai (value) suatu aset dengan harganya (price) -- itulah prinsip dasar investasi.

Namun begitu, semua disiplin ilmu pasti memberikan nilai-nilai etik untuk diresapi. Dan, dikarenakan investasi adalah salah satu cabang ilmu dalam disiplin ilmu ekonomi, tentu saja nilai-nilai etik tidak bisa dilepaskan begitu saja dari substansinya. Artinya, semua konstituen di dalamnya sebenarnya dianjurkan untuk memperhatikan moralitas dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya. Moralitas seperti apa? Tentunya moralitas yang bernilai positif, yang tidak hanya mementingkan kepentingan yang sifatnya absolute individualistic namun juga menghormati dan menjunjung tinggi aspek-aspek sosial yang melekat di dalamnya demi terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang lebih baik di masa yang akan datang.

Ya, itulah tujuan investasi hijau sebenarnya. Sekarang Anda sudah tahu. Lantas, dengan mengacu pada ilustrasi di atas, apakah Anda mau mendukung gerakan ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun