Mohon tunggu...
Aldiansyah Arthanan
Aldiansyah Arthanan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Semester 3 Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Airlangga

Tulislah tulisan yang berguna dan bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengenal Kwame Anthony Appiah, Pencetus dibalik Pentingnya etika dalam dunia orang asing

10 Desember 2020   14:00 Diperbarui: 10 Desember 2020   14:12 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://newafricanmagazine.com/3070/2/

Siapakah itu Kwame Anthony Appiah?

Kwame Anthony Appiah, bernamakan asli Kwame Akroma-Ampim Kusi Anthony Appiah. Merupakan seorang filsuf yang berasal dari London, Inggris dan dibesarkan di Ghana, yakni sebuah negara yang terletak pada bagian Afrika Barat. Filsuf kelahiran 08 Mei 1954 ini, Tak hanya menyandang gelar sebagai seorang filsuf saja, beliau juga dikenal dapat menyandang gelar lain seperti ahli teori budaya, dan juga seorang novelis. Karya tulisan pada novel yang dibuatnya mengangkat tema politik dan moral, filsafat bahasa dan pikiran, dan juga sejarah dari afrika.

Terlahir pada 08 Mei 1954 di London, Inggris dan dibesarkan di Ghana. Kwame Anthony Appiah merupakan putra dari Joseph Appiah, seorang pengacara kelahiran Ghana, dan Peggy Cripps, putri negarawan Inggris Sir Stafford Cripps. Ia bersekolah di Bryanston School dan kemudian di Clare College, Cambridge, di mana dia mendapatkan gelar Ph.D. (Doktor) dalam filsafat pada tahun 1982. Beliau dikenal karena kontribusinya pada filsafat politik, psikologi moral, dan filsafat budaya.

Beliau juga kerap mengajar mata kuliah Filsafat dan studi Afrika-Amerika di lima Universitas ternama sekaligus, yakni Universitas Ghana, Universitas Cornell, Universitas Yale, Universitas Harvard, dan juga Universitas Princeton pada tahun 1981 hingga tahun 1988. Dan saat ini, beliau menyandang gelar sebagai guru besar filsafat dan hukum di New York University (NYU) dan juga saat ini, beliau hanya mengajar mata kuliah Filsafat di Universitas Laurance S. Rockefeller, sebuah universitas yang terletak di Princeton.

https://newafricanmagazine.com/3070/2/
https://newafricanmagazine.com/3070/2/
Apa saja karya dari Kwame Anthony Appiah?

Berawal pada tahun 1992, beliau menerbitkan buku berjudul In My Father's House, yang kerap memenangkan Herskovitz Prize for African Studies in English. Dan tak hanya disitu, disusul oleh buku karangan nya yang lain yang berjudul Color Conscious (kolaborasi dengan Amy Gutmann), The Ethics of Identity (2005), dan juga Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (2006). Beliau dengan terampil memadukan gagasan filosofisnya dengan anekdot tentang kehidupan dan latar belakangnya sendiri. Ia memperkenalkan kita pada banyak tradisi, praktik, dan gagasan leluhur Afrika untuk mengklarifikasi gagasannya tentang interaksi manusia, serta globalisasi.

https://www.e-ir.info/2019/10/15/interview-kwame-anthony-appiah/
https://www.e-ir.info/2019/10/15/interview-kwame-anthony-appiah/
Gagasan apa yang Ia beri?

Singkat nya, beliau berpendapat bahwa Kosmopolitanisme merupakan suatu proses yang melibatkan komunitas manusia dalam kebiasaan hidup dan juga sifat universal dari segala umat manusia. Saat ini, dunia manusia  semakin kecil karena orang memiliki segala akses antar satu sama lain daripada sebelumnya. Kita dapat mengenal dan mengakses satu sama lain melalui migrasi, perdagangan internasional, pariwisata, dan web informasi di seluruh dunia, yang berasal dari radio, televisi, telepon, dan terutama internet. Media massa dan dunia maya merupakan wadah yang dinilai menakjubkan untuk dapat memberi manusia banyak peluang. Tidak hanya itu, tetapi kita juga dapat belajar tentang kehidupan yang asal nya dari mana saja dan kapan saja.

Dunia yang kita hidupi kian menjadi semakin kecil, dalam suku global baru untuk menghadapi globalisasi dunia. Bagaimana kita menghadapi keadaan baru ini? Ide dan institusi apa yang dapat membantu kita untuk hidup bersama dalam global ini? Beliau membahas gagasan kosmopolitanisme, yaitu tantangan untuk dapat mengambil pikiran dan hati yang terbentuk selama ribuan tahun hidup dan melengkapi mereka dengan gagasan dan lembaga yang akan memungkinkan kita untuk hidup bersama sebagai kesatuan suku global yang kita miliki.

Gagasan tersebut sebenarnya menggabungkan dua untaian yang saling terkait. Yakni gagasan bahwa kita memiliki kewajiban kepada orang lain, kewajiban yang melampaui mereka yang terkait oleh ikatan kekerabatan, atau bahkan ikatan yang lebih formal dari kewarganegaraan bersama. Beliau percaya bahwa dengan adanya kewajiban untuk memahami mereka yang berbagi planet ini dengan kita. Orang berbeda, dan ada banyak hal berbeda yang lain, maka akan bisa  dipelajari dari perbedaan setiap individu. Karena ada begitu banyak kemungkinan manusia yang perlu dieksplorasi, tentu beliau kami mengharapkan atau menginginkan bahwa setiap orang atau setiap masyarakat harus bersatu dalam satu cara hidup. Akan tetapi, beliau juga menekankan bahwa apa pun kewajiban kita terhadap orang lain (atau kewajiban mereka kepada kita), mereka memiliki hak untuk diterima terhadap menempuh jalan mereka sendiri, itu adalah penghargaan atas perbedaan.

https://thebookerprizes.com/news/kwame-anthony-appiah-chair-2018-man-booker-prize
https://thebookerprizes.com/news/kwame-anthony-appiah-chair-2018-man-booker-prize
Kesimpulan (Halaman 2)

Dalam penafsiran kosmopolitanisme, beliau bersimpati pada pandangan bahwa kesetiaan dan kesetiaan lokal penting karena menentukan siapa kita. Jadi dia mendorong kita untuk merangkul kesetiaan dan kesetiaan lokal dan universal dan menyangkal bahwa hal itu selalu bertentangan satu sama lain. Dia berpendapat bahwa kita tidak perlu memihak pada kaum nasionalis yang meninggalkan semua orang asing atau dengan kosmopolitan keras yang menganggap teman dan sesama warga negara dengan ketidakberpihakan yang dingin.

Posisi yang layak dapat disebut (dalam kedua arti) sebagai kosmopolitanisme parsial. Jadi beliau mempertaruhkan jalan tengahnya dari kosmopolitanisme parsial lebih dengan membicarakan apa yang bukan. Sisi positifnya, kita mendapatkan banyak generalisasi. Penting untuk berbicara dengan orang dari budaya lain, untuk menjaga rasa saling menghormati, untuk belajar tentang cara hidup yang lain. Kita membutuhkan keingintahuan yang melekat dalam pandangan sebagian kosmopolitan sehingga kita bisa 'terbiasa satu sama lain' dan hidup damai bersama. Dia menekankan, kita tidak perlu berbagi nilai-nilai yang mendasarinya atau menyepakati segala hal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun