ANALISIS MAKNA TRADISI MANTEN KUCING PEMANGGIL HUJAN SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMUNCULKAN NILAI-NILAI BUDAYA TERPENDAM: KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES
Budaya menjadi salah satu bentuk identitas yang unik dan menjadi suatu ciri khas dari daerah tertentu, yang mana budaya menjadi suatu cipta maupun karya dari sekelompok masyarakat yang diwariskan antar generasi. Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak, trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau tertekan sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Warisan budaya diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi- tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa’. Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu.
Jawa mewakili peradaban Indonesia, Jawa merupakan sebuah pulau di Indonesia yang berdekatan dengan Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Bali. Pulau Jawa kurang lebih mempunyai panjang 1.100 km dengan lebar rata-rata 120 km. Di dalam Pulau Jawa terdiri dari empat bahasa yang berbeda, yakni bahasa Melayu-Betawi, Bahasa Sunda, Bahasa Madura, dan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang dipraktekkan di dataran rendah, pesisir, utara Jawa Barat, dari Purwokerto sampai Tegal cukup berbeda dari Bahasa Jawa yang sesungguhnya. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang Jawa ialah orang yang bahasa ibunya adalah Bahasa Jawa.
Masyarakat Jawa memandang dirinya sebagai jagad cilik (mikrokosmos) yang merupakan bagian dari kesatuan jagad gedhe (makrokosmos). Perkembangan kesatuan yang telah dicapai jagad cilik akan berpengaruh terhadap perkembangan wilayah masyarakat sekitarnya, selanjutnya berpengaruh bagi alam lingkungannya bahkan jagad gedhe atau dunia. Pola pikir dan pandangan hidup orang Jawa pada dasarnya berkembang dari pemahaman ini. Orang Jawa menghayati kehidupan sejati. Perilaku mereka diwujudkan dalam bentuk ritual, mulai dari tradisi menanam padi, perbintangan, dan perikanan yang penuh dengan spiritual. Ritual merupakan wahana orang Jawa agar semakin dekat dengan Gusti (Tuhan). Lewat perilaku dan ritual orang Jawa yang memiliki sikap hidup dengan meyakini bahwa ada kekuatan lain di atas kekuatan dirinya (Endraswara, 2015).
Manten Kucing merupakan salah satu wujud dari kebudayaan atau tradisi di Tulungagung yang menjadi bukti takbenda hasil dari pemikiran manusia dalam suatu masyarakat yang dilaksanakan terus menerus dari dulu atau awal pelaksanaannya sampai saat ini. Manten Kucing juga dapat dikatakan sebagai kebudayaan yang tidak lepas dari tiga gejala kebudayaan sesuai dengan gagasan J. J Honigmann yakni ideas, activities, dan artefacts. Yang pada awal terbentuk atau munculnya kebudayaan Manten Kucing ini dari ide atau gagasan dari seseorang yang kemudian menjadi konstruksi bersama oleh masyarakat dimana Manten Kucing tersebut muncul atau terbentuk. Selanjutnya diwujudkan dengan aktivitas atau tindakan masyarakat dengan menggabungkan berbagai macam kebudayaan tanpa menghilangkan inti dari kebudayaan yakni Manten Kucing tersebut serta dilaksanakan terus menerus sampai saat ini atau masa sekarang. Dan yang terakhir yakni berupa artefak atau bukti nyata yang dapat didokumentasikan dengan bagaimana tahapan-tahapan kebudayaan Manten Kucing tersebut dilaksanakan serta bagaimana jalannya kebudayaan Manten Kucing tersebut berlangsung.
Penelitian ini memfokuskan pada apa makna lain yang terkandung dalam tradisi Manten Kucing di Tulungagung, sehingga tradisi ini terus dilestarikan oleh masyarakat sampai sekarang. Permasalahan yang diambil dari penelitian ini adalah terkait makna dan nilai terpendam apa yang ada di dalam tradisi manten kucing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menghasilkan analisis kritis tentang makna dan nilai yang terpendam dalam tradisi manten kucing. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penyusun mengambil judul penelitian "Analisis Makna Tradisi Manten Kucing Pemanggil Hujan sebagai Upaya Untuk Memunculkan Nilai-Nilai Budaya Terpendam (Kajian Semiotika Roland Barthes)".
Sejarah Tradisi Manten Kucing
Tradisi Manten Kucing semula berawal dari kemarau panjang yang melanda Desa Pelem, serta banyaknya masyarakat (berprofesi petani) yang mengeluh karena mengalami gagal panen. Masyarakat mengeluh kepada kepala desa pada saat itu yakni Bapak Sutomejo atau masyarakat biasa memanggil Mbah Sutomejo. Kemudian Mbah Sutomejo menemui Eyang Sangkrah (seorang janda tua juga pendatang di desa tersebut) untuk pergi ke pemandian di bawah pohon jambu air dekat Air Terjun Coban Kromo, serta membawa kucingnya. Setelah disarankan oleh Kepala Desa (Mbah Sutomejo), Eyang Sangkrah kemudian pergi ke pemandian dekat Air Terjun Coban Kromo dengan membawa kucingnya untuk mandi disana.
Pada saat mandi dan memandikan kucingnya, tiba-tiba datang seekor kucing dengan jenis dan warna yang sama (kucing telon atau condromowo) tetapi berbeda jenis kelaminnya menghampiri Eyang Sangkrah. Kemudian Eyang Sangkrah pun memandikan kucing yang menghampirinya tersebut bersamaan dengan kucing miliknya. Tak lama setelah memandikan dua kucing tersebut, tiba- tiba hujan pun langsung turun dan seketika menghujani Desa Pelem beserta sawah-sawah yang dilanda kekeringan sebelumnya.
Mitos dan Eksistensinya di Masyarakat
Mitos berasal dari kata Yunani, yaitu mythos yang awalnya merupakan cerita-cerita yang diterima sebagai anugerah dewa-dewa dan cerita-cerita tersebut menyajikan model kepahlawanan dan keberanian (Makaryk, 1995: 595). Mitos beredar di masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang beragam. Hal ini sejalan dengan pengertian mitos menurut Harjoso (dalam Nasrimi, 2021: 2112), yaitu sistem kepercayaan dari suatu kelompok manusia yang berdiri atas sebuah landasan yang menjelaskan cerita-cerita yang suci yang berhubungan dengan masa lalu. Adapun kecerdasan lokal dalam menanggapi mitos dapat menjadi potensi pendidikan mitigasi bencana di daerah-daerah rawan bencana. Kearifan lokal dengan adanya mitos-mitos yang tersebar di masyarakat, khususnya di Yogyakarta merupakan pengetahuan lokal terkait kondidi alam sebelum, saat, dan sesudah bencana datang.
Mitos menurut Wellek dan Werren (2016: 143) adalah cerita-cerita anonim mengenai asal mula alam semesta dan nasib serta tujuan hidup, penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada anak-anak mereka mengenai dunia, tingkah laku manusia, citra manusia, dan tujuan hidup manusia. Mitos harus dipahami dengan menggunakan metode implisit atau konotasi dan bukan secara eksplisit atau denotasi (Barthes, 1974: 9). Contohnya mitos tentang larangan menunjuk letusan gunung Merapi karena pamali sehingga sulit jikalau dijelaskan secara ilmiah akan tetapi dapat dijelaskan menggunakan teori semiotika Roland. Teori semiotika Roland Barthes yang berfokus pada pemaknaan mendalam terkait objek kajiannya dan bukan pada pengomunikasiannya mampu untuk menafsirkan secara teoritis makna dari mitos tersebut.
Kajian Semiotika Roland Barthes
Semiotika Roland Barthes merupakan kajian semiotik yang digunakan dalam penelitian ini karena berbicara tentang mitos. Semiotika berasal dari bahasa Inggris semiotic, sedangkan dalam bahasa Yunani semeion, yaitu tanda, atau teori tandatanda (Asriningsari, 2010: 27). Semiotika Roland Barthes mengkaji tanda-tanda untuk menemukan makna-makna yang ada dibaliknya. Hal ini sejalan dengan Saussure (dalam Yelly, 2019: 121), semiotika atau semiologi merupakan ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan sosial. Mitos dalam semiotika terletak pada tingkat kedua penandaan dan merupakan sebuah pesan atau alat komunikasi (Barthes dalam Yelly, 2020: 122). Barthes (1972: 113) mengemukakan bahwa mitos ditemukan pada pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Pada hal ini, mitos merupakan sistem khusus yang dibangun dari rantai semiologis yang kemuan proses signifikasi tersebut disebut denotasi dan konotasi. Denotasi menunjukkan makna disampaikan secara langsung oleh petanda, sedangkan konotasi memiliki makna tersirat di dalam petanda. Mitos yang merupakan sastra tradisional penting untuk dikaji dengan kajian semiotik karena memiliki makna konotasi dan tersebar secara lisan.
Makna Tradisi Manten Kucing dan Nilai di Dalamnya berdasarkan Semiotika Roland
Berdasarkan dari sejarah munculnya tradisi manten kucing dapat dimbil beberapa hal yang menjadi fokusan penyusun. Pertama, kondisi desa yang sedang mengalami kekeringan akibat musim kemarau menjadikan kepala desa mendatangi seorang janda pindahan. Janda identik dengan pelekatan makna memeliki kekuatan supranatural yang tidak terduga ini menjadikan kepala desa mendatangi Eyang Sangkrah. Kemungkinan dipilihnya Eyang Sangkrah dari janda-janda lain adalah karena ia berasal dari luar desa dan memungkinkan bisa membawa keberkahan desa lain itu pada desa Pelem yang mengalami musibah. Kedua, kucing telon (atau kucing yang memiliki tiga warna) juga kental akan nilai mistis bagi masyarakat tradisional. Kucing telon kebanyakan berkelamin betina karena mengandung lebih banyak kromosom betina dalam dirinya melalui warna. Ini berarti kemungkinan besar kucing telon milik Eyang Sangkrah juga betina.
Poin pertama memiliki nilai bahwa sebagai pendatang yang berasal dari luar desa hendaknya dimuliakan dan diagungkan. Bahkan dalam hal ini memiliki kesempatan luar biasa untuk melakukan ritual suci ini. Poin kedua bermakna bahwa menyayangi alam melalui merawat hewan juga menurunkan ridho Tuhan hingga alam berkenan menurunkan hujan. Merawat hewan disini bermakna hewan apapun itu, baik hewan peliharaan sendiri maupun hewan milik orang lain atau liar. Kucing telon yang dipercayai nilai kemistisannya dan dipersatukan dalam tradisi manten kucing yang m=keduanya berasal dari lingkungan yang berbeda dan diterima oleh Eyang Sangkrah dengan baik bahkan ikut dimandikan membuat nilai-nilai kasih saying terhadap alam sangat kental dalam tradisi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asriningsari, A., & Umaya, N. Â (2010). Semiotika Teori dan Aplikasi pada Karya Sastra. Semarang: UPGRIS Press.
Barthes, Roland. 1973. S/Z. London: Cape.
Davison, G. dan C Mc Conville. 1991. A Heritage Handbook. St. Leonard, NSW: Allen & Unwin.
Makaryk, Irena K .(ed). 1995. Encyclopedia of Contemporary Literary Theory. Toronto: University of Toronto Press.
Nasrimi. 2021. Mitos-mitos dalam Kepercayaan Masyarakat. Jurnal Serambi Akademica. 9 (11): 2109-2116.
Subiyantoro.2018. Manten Kucing: Ritual Meminta Hujan Ketika Kemarau Panjang. Kemendikbud. http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/manten-kucing-ri tual-meminta-hujan-ketika-kemarau-panjang/
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Sastra (Penerjemah Melani Budianto). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yelly, Prina. 2019. Analisis Makhluk Superior (Naga) dalam Legenda Danau Kembar (Kajian Semiotika Roland Barthes; Dua Pertandaan Jadi Mitos). Jurnal Serunai Bahasa Indonesia. 16 (2): 121-125.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H