Mohon tunggu...
Alvin Revaldi
Alvin Revaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pencinta buku

Pencinta cerita fiksi dan fantasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ether (Luminiferous Aether)

15 April 2022   14:21 Diperbarui: 15 April 2022   14:30 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu mencarinya di udara dan tidak membuahkan hasil maka aku memutuskan untuk turun dan melihat kadaan penduduk Teyfat semenjak hilangnya esensi elemental dalam kehidupan seperti hilangnya elemental slime ataupun monster elemental lain. Semua penduduk juga tidak ada yang memiliki vision, benda yang katanya merupakan anugerah para Dewa pada mereka yang terpilih untuk mengendalikan energi elemental, yang kenyataannya menimbulkan banyak kerugian akibat ulah mereka yang tidak pantas mendapatkannya. 

Aku memulai eksplorasi dan analisisku mengenai kehidupan baru ini dari Sumeru, sebagai salah satu region yang hampir tidak membutuhkan pengguna energi elemental karena region itu adalah tempat pusat ilmu di seluruh Teyfat dan tujuan mereka bukanlah menjadi yang terkuat tapi tercerdas dan terpintar. Secara garis besar, Sumeru ialah region para  pelajar yang sebelumnya merupakan region naungan Archon Dendro atau Dewa Tanaman. Aku senang Archon yang maih bocil itu telah mati. Dia baru berusia 500 tahun dan tidak pernah mengikuti perang apapun juga tidak bisa menyuburkan wilayah sumeru. Padahal ia adalah Dewa Alam yang seharusnuya mampu melakukan itu. Dengan kematiannya pula, aku melihat tanah yang tandus ini mulai menghijau. Kegembiraan para penduduknya membuatku bahagia, akan tetapi itu juga membuatku terkisap sesaaat. Apakah aku akan membuat mereka sengsara dengan kesedihan dan keterpurukan hanya karena aku yang bersedih? Apakah aku sejahat dan seegois itu? Lumine, jawab pertanyaan kakakmu ini.

Aku mengamati semua hal itu dengan perasaan campur antara bahagia dan takut. Bahagia sebab semuanya hidup tentram dan penuh kegembiraan dan takut jikalau aku nantinya yang menjadi penyebab pudarnya kebahagiaan itu. Kemunculanku di dataran Teyvat tentunya tidak boleh sampai membuat para penduduknya terkejut. Oleh karena itu aku muncul dengan penampilan yang telah aku samarkan menjadi pelajar Sumeru Academia. Aku rasa kehadiranku di sini untuk mengecek situasi sudah cukup saatnya aku pergi.

"apakah adikku akan mengutuk dan membenciku kalau aku sampai membuat semyum para penduduk Teyvat itu sirna. Oh Lumine, baru beberapa jam kita bertemu dan bersatu tapi mengapa kau pergi lebih dulu. Haruskah aku menyusulmu?" gumamku dalam bayangan adikku itu. Nampaknya aku tidak perlu menjelajah ke region lain di Teyvat sebab region dengan tingkat ketidakmakmuran paling tinggi yaitu Sumeru saja sudah membaik apalagi dengan Region lain.

Aku kini mulai bingung, kemana arah tujuanku? Apakah aku akan memburu Rey sampai ketemu? Ataukah aku akan melanjutkan perjalanan ke semesta lain sebagaimana janjiku pada Lumine dulu saat pertama kali kita datang ke Teyvat? Atau aku menyerhkan diri saja pada Rey lantas memintanya membunhku supaya aku bisa bertemu dengan adikku lagi?. Semua pilihan itu seperti berkata "pilih aku saja dan kau tidak akan menyesalinya" ataupun "kalau kau tidak memilihku hidupmu pasti akan menyesal". Lantas apa yang harus kulakukan? Aku ingin sekali mengeluh pada dunia ini bahwa aku lelah, lelah terhadap dunia yang begitu mempersulit takdirku. Sejak kedatanganku ke semesta ini, takdir seperti selalu menyudutkanku dan memaksaku malaksanakan keinginannya. Dimulai dari kehilangan adikku selama bertahun-tahun hingga kebodohanku membantu krisis Archon tiap region yang taruhannya selalu nyawaku sendiri bahkan sampai akhirnya jalanku yang memang berbeda dengan kehendak Calestia membuatku menghancurkan seluruh esensi ketamakan dan keserakahan kekuasaan oleh para Dewa.

Sekarang apa? Penghianatan dari teman perjalananku yang paling dekat dan bahkan sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri dan kematian adikku yang mana hal itu hampir membuatku gila. Aku, yang menang dalam perang Archon, bukanlah seorang Archon ataupun Dewa. Aku hanya pembawa cahaya yang datang untuk memusnahkan kegelapan. Lantas mengapa sekarang duniaku dan adikku yang menjadi gelap. Hidup memang tidak adil, tapi mengapa ketidakberuntungan itu nampaknya selalu hadir dalam setiap langkahku?. Kini aku sendirian, berjalan tanpa arah tujuan. Setelah sekian lama aku bejalan, ternyata tanpa kusangka langkah kakiku membawaku ke reruntuhan peradaban manusia tanpa Dewa, Khaenriah.

Yah benar, ini adalah reruntuhan peradaban manusia modern yang berdiri sendiri tanpa campur tangan Dewa dan memang nyatanya hal itu tidak diperlukan untuk memajukan peradaban ini. setiap jengkal tanahnya aku bisa merasakan campur tangan ketujuh Archon dan juga kehendak Calestia dalam membumihanguskan peradaban ini. kutukan para Dewa terasa mencekam di sekitar sini dengan adanya berbagai bangunan yang walaupun sudah tidak berbentuk tetapi aku masih mampu mengirangira bangunan apakah itu. Aku sungguh tidak habis pikir, bagaimana Archon yang katanya melindungi kefanaan manusia nyatanya bersenang-senag dengan bermain-main atas kefanaan itu sendiri. Apakah mereka tidak takut untuk dihakimi penduduk Khaenriah ketika mereka masuk ke dalam neraka akibat ulah mereka sendiri?.

Aku memang hanya diam tapi itu karena aku terkesima dengan pola arsitekstur yang begitu artistik dan mengagumkan dari karya masyarakat yang berdikari. Peradaban ini memang telah hancur kurang lebih 500 tahun lalu tapi sisa dari perrdaban ini masih terlihat jelas. Salah satu hal yang perlu aku syukuri adalah bahwa aku sudah kebal terhadap korosi jadi efek dari kutukan para dewa atau juga kontaminasi elemen tidak akan mempengaruhiku.

Langkah kakiku terhenti tepat di depan bangunan yang nampaknya aku duga sebagai istana dari pemimpin Khaenriah. Bangunan pusat pemerintahan ini selayaknya bangunan biasa namun sedikit lebih menjulang tinggi. Saat aku menginjakkan kakiku di tepat di depan pintu, aku merasakan aura kegelapan yang begitu pekat. Aku rasa aku pernah mengingat aura kegelapan ini. namun, daripada banyak berpikir aku haru segera mencari umber aura ini. saat aku sampai di tempat bekas singgasana, sepertinya, aku melihat Rey sedang mengacungkan pedang kegelapannya tepat di leher orang itu. Sepertinya aku mengenalnya.

Sepersekian detik kemudian aku ingat bahwa ia adalah Dainsleaf, mantan pangeran Khaenriah yang dikutuk hidup abadi akibat tidak bisa mencegah kehancuran dari bangsanya. Aku mencoba untuk tidak menyelamatkannya terlebih dahulu karena aku mendengar Rey masih berbicara dengannya dan sepertinya aku bisa menggali informasi melalui pembicaraan mereka.

"Dain, kau pasti senang aku datang kembali ke sini" dengan keangkuhannya Rey mencoba membuat Dain gentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun