Mohon tunggu...
Alvin Revaldi
Alvin Revaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pencinta buku

Pencinta cerita fiksi dan fantasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah yang Penuh Luka dalam Amba Karya Laksmi Pamuntjak: Kajian Kritik Historis

23 Desember 2021   18:50 Diperbarui: 23 Desember 2021   18:58 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Amba adalah salah satu novel novel yang mengangkat tragedi 1965. Novel berlatar sejarah ini mengisahkan cinta dan hidup Amba. Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil, Kadipura, di Jawa Tengah. Ia meninggalkan kotanya saat kuliah di jurusan Sastra Inggris UGM. Ketika mengambil pekerjaan sebagai penerjemah di Kediri, ia bertemu Bhisma. Dia adalah dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang hilang karena ditangkap pemerinta Orde Baru dan dibuang ke pulau Buru. Ketika Kamp tahanan politik itu itu dibubarkan dan para tahanan politik dipulangkan, Bhima tetap tidak kembali.

Amba mencoba mencari cintanya yang hilang dengan pergi ke Pulau Buru pada tahun 2006. Ia mencari Bhisma, seseorang yang memberinya seorang anak di luar nikah. Percintaan mereka terputu dengan tiba-tiba akibat peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan, Bhisma hilang selama-lamanya. Amba tidak tahu mengapa Bhisma tidak kembali.

Latar sejarah cukup terlihat saat Laksmi Pamuntjak menceritakan kehidupan para tahanan politik di Pulau Buru lewat surat-surat Bhismayang didembunyikan, meskipun mungkin sebenarnya Laksmi Pamuntjak tidak ingin bercerita tentang siapa yang benar dan yang salah, atau mencari tahu dalang dari peristiwa G30S.

Dalam novel ini, semangat yang digelorakan adalah semangat anti komunis yang ditunjukkan dengan pembunuhan, pemenjaraan, dan pembuangan para anggota dan aktivis PKI ke Pulau Buru oleh pemerintah Orde Baru. Situasi yang dipamerkan cenderung memamerkan agama dan penghakiman terhadap orang lain yang tidak seagama. 

Konflik sosial mulai makin bergemuruh sejak adanya penangkapan dan pemenjaraan tanpa adanya proses maupun pengadilan terhadap orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI.

Pengarang menceritakan tentang adanya kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru melalui tantara Angkatan Darat. Elain itu, pengungkapan kebenaran ataupun penyajian kasus pembantaian massal 1965-1966 dan pembuangan ke Pulau Buru adalah bentuk refleksi pengarang atas tragedi 1965 bahwa di dalamnya terdapat kekerasan dan pelanggaran HAM yang tidak pernah diakui dalam sejarah versi pemerintah. 

Dalam novel ini, pengarang menggambarkan bagaimana tantara telah melakukan penangkapan terhadap ratusan orang yang dianggap musuh negara. Pemukulan dan penyiksaan para tapol juga seolah-olah menjadi ritual yang biasa dan boleh-boleh saja bahkan harus dilakukan kepada para tahanan politik tersebut.

Keharusan sejarah yang ditulis pengarang dalam novel Amba, yaitu peristiwa G30S/PKI, pembunuhan masal, dan pembuangan tahanan politik ke Pulau Buru. 

Tragedi 1965 adalah sebuah penodaan terhadap HAM dalam sejarah dan harus dicantumkan oleh pengarang sebagai konsekuensi penggunaan latar sejarah sebagai bahan dalam penulisan novel ini. 

Pengarang  juga mencantumkan perihal fakta historis mengenai pembunuhan para Jenderal dan tertembaknya Ade Irma Suryani, putri Jendral A.H. Nasution dalam peristiwa G30. 

Dengan menuliskan kedua hal tersebut, pengarang telah menghadirkan latar sejarah yang masuk akal. Keberadaan tempat pemanfaatan tahanan politik yaitu Pulau Buru juga menjadi keharusan sejarah yang menurut pengarang juga perlu dicantumkan karena tempat itu memiliki keterkaitan yang begitu erat dengan Tragedi 1965.

Pengarang mendeskripsikan tentang gambaran tempat pemanfaatan tahanan politik itu. Tempat itu terdiri dari dua puluh dua unit, letaknya di dataran rendah yang dialiri oleh sungai Waeapo sepanjang tahun. Tentang insfrastrukturnya yaitu barak-barak, Gedung-gedung kesenian, dan tempat ibadah. Tempat pemanfaatan itu dihuni sepuluh ribuan tapol dengan enam ratus lima puluhan itri dan anak dari para tapol.

Dalam karyanya ini, Laksmi Pamuntjak juga menggambarkan peristiwa penyerangan terhadap Universitas Res Publica sewaktu Yogyakarta sedang terjadi peristiwa G30S/PKI. Situasi dan suasana digambarkanb oleh pengarang melalui suara tembakan, majunya orang-orang berbaju merah, dan juga dikumandangkannya pidato  Bung Karno tentang orang-orang yang pro-Nasakom dan anti-Nasakom.

Karya Laksmi Pamuntjak ini mengandung pembahasan yang kompleks karena judul dari novelnya bukan hanya mewakili tokoh utama yaitu Amba, tapi juga menjelaskan berbagai hal lain terkait nama Amba itu sendiri seperti teks Mahabharata, serat centhini, dan juga secuil kisah tentang kisah dari Amba pada zaman Mahabharata yang juga sebagai istri dari salah satu pandhawa, Bima. Selain itu, tak sedikit juga sempilan mengenai maalah lain seperti isu LGBT dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka

Pamuntjak, Laksmi. 2020. Amba. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun