Dalam masyarakat patriarki, suami tidak memiliki kewajiban untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga., termasuk mengasuh anak. Sikap Bonin yang menolak mengasu anak sebenarnya bukanlah hal yang berlebihan. Akan tetapi sikapnya dianggap sewenang-wenang ketika dia mengacuhkan anaknya yang sedang sakit padahal anak itu adalah hasik darinya dan Rina dan bukan hasil perselingkuhan Rina. Keberratan Bonin dalam pengasuhan anak mungkin dapat disebabkan karena kekecewaannya mendapatkan anak perempuan. Hal ini dapat dicermati karena perubahan sikap Bonin terjadi tepat setelah kelahiran putri mereka. Sepertinya bagi bonin, anak laki-laki lebih berharga daripada anak perempuan karena kedepannya dapat memberikan kehidupan yang lebih baik.
Akibat dari kesewenang-wenangan Bonin terhadap Rina, muncul beberapa reaksi yang berbeda dalam diri Rina. Awalnya dia menerimanya tetapi kemudian berbalik menentangnya. Penerimaannya diebabkan karena adanya dua alasan. Pertama, Rina tidak suka bertengkar. Watak tersebut telah ada pada dirinya karena prinsip aliran kejawen dan nilai-nilai dari biara. Karakternya yang suka akan kedamaian dan kelembutan merupakan hasil dari didikan jawa yang diterimanya (Dini, 1991). Prinsip tersebut mendasarinya dalam bersikap kepada Bonin. Kedua, Rina ingin memegang teguh janji pernikahannya untuk selalu tunduk pada suami. Komitmen seperti itu cenderung umum dalam masyarakat jawa yang menganut sistem patriarki dimana istri dituntut untuk tunduk pada suami. Suami mempunyai hak memerintah dan istri  berkewajiban untuk tunduk padanya. Bahkan istri tetap berkewajiban untuk menghormati suaminya meskipun mendapat perlakuan kasar (Dini, 1989). Rina juga mengerti sikap Bonin yang menolak mengasuh anak karena dalam sistem patriarki, mangasuh anak adalah kewajiban istri. Kesediaan Rina untuk melayani kebutuhan Bonin dan kebutuhan rumah tangga dilandasi oleh tradisi yang berlaku dalam masyarakat jawa meskipun suaminya bukanlah orang jawa dan karena tradisi ini juga telah mandarah daging dalam diri Rina.
Sementara itu, reaksi menentang Rina terhadap perlakuan Bonin disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, Rina tidak dapat menerima perselingkuhan Bonin. Kedua, Rina sadar bahwa Bonin telah melakukan penindasan terhadap dirinya. Ketiga, Rina sadar bahwa dia harus mendorong dirinya sendiri agar lepas dari penindaan Bonin. Reaksi menentang tersebut diwujudkan dalam bentuk berani membantah segala ucapan Bonin yang menyakiti hatinya, menolak untuk nberhubungan intim, dan melakukan perselingkuhan.
Reaksi menentang sebagai kelanjutan dari reaksi sebelumnya adalah dengan pengajuan perceraian karena perjuangan Rina melawan keewenang-wenangan Bonin tidak membuahkan hasil. Selain itu, pengajuan perceraian tersebut dianggap oleh Rina sebagai jalan terbaik untuk memperoleh kebebasan sepenuhnya dalam mengatur hidup. Tindakan Rina untuk mengajukan perceraian juga merupakan penerapan dari prinsip Toto Urip yang dipegangnya dengan teguh. Dia memutuskan untuk melakukan tidakan tersebut setelah merencanakannya dengan matang Bersama Bonin. Apa yang dilakukannya tidaklah berdasar emosi akan tetapi berdasar rasionalitas dan dia benar-benar melakukan perencanaan yang matang dan cermat sebelum bertindak.
Dapat disimpulkan bahwa yang ingin dikatakan oleh Nh. Dini adalah bahwa wanita dan laki-laki seharusnya dapat menjadi mitra yang baik. Penghalang yang menghadang adalah adanya tradisi patriarki yang mendudukkan laki-laki di posisi lebih tinggi daripada wanita sehingga wanita bukan menjadi mitra melainkan obyek. Pesan yang ingin disampaikan dikemas pengarang wanita Jawa ini dengan apiknya lewat kemarahan tokoh utama wanita yang juga bersuku Jawa. Penggunaan pemain utama yang sama-sama berlatar belakang masyarakat yang mengagungkan patriarki sengaja dilakukan untuk menajamkan pesan.
Kemarahan yang ditonjolkan bukan diarahkan kepada pribadi laki-laki tetapi kepada perbuatan laki-laki yang menindas wanita. Nh. Dini ingin meyadarkan wanita bahwa kemarahan akibat ditindas bukan merupakan sesuatu yang negatif, sesuatu yang harus dihindari tetapi hendaknya menyadarkan wanita untuk bangkit dan menolong diri sendiri agar bebas dari penindasan.
Juga dapat disimpulkan bahwa Nh. Dini ingin menyadarkan pembaca bahwa pengistimewaan kedudukan suami hanyalah merugikan wanita. Sudah waktunya bagi suami untuk berbagi kekuasaan dengan istri demi kebahagiaan keluarga. Nh. Dini juga menekankan bahwa menjadikan istri sebagai obyek tidak menguntungkan suami tetapi malah merugikan karena istri tidak dapat mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya semaksimal mungkin. Intinya, pengarang Jawa ini ingin membuka mata pembaca bahwa lebih menguntungkan jika wanita dan pria menjadi patner daripada menjadi pesaing.
Daftar Pustaka
Darma, Budi. 1999. "Feminisme". Handout Mata Kuliah Apresiasi dan Kritik Sastra, 15
Mei 1999 dan 23 Juni 1999. Surabaya. Program Pascasarjana Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Unesa.