Mohon tunggu...
Aldi Irawan
Aldi Irawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gerakan Demokrasi China Mampu Menggoyahkan Paham Komunisme?

9 Desember 2022   12:57 Diperbarui: 9 Desember 2022   13:31 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: kompas.com

Partai Komunis China (PKC) merupakan satu-satunya partai politik yang sangat berpengaruh di China. Pada awalnya PKC ini hanya sebuah Gerakan Empat Mei 1919, dimana pada saat itu ideologi radikal Barat seperti, Marxisme dan Anarkisme berhasil menarik perhatian di kalangan intelektual China. Partai ini sudah lebih dari 100 tahun menguasai Negeri Tirai Bambu sejak di dirikan pada tahun 1921 oleh tokoh Revolusioner China Chen Duxiu dan Li Dazhao. Dari partai ini kemudian melahirkan berbagai pemimpin ternama di Negara tersebut hingga saat ini. 

PKC dibawah kepemimpinan Mao Zedong, seorang penguasa dengan jabatan seumur hidup sejak 1935 sampai dengan wafat tahun 1976, menimbulkan berbagai kerusuhan yang terjadi selama beberapa dekade, dimana pada tahun 1945-1949 China mengalami perang sipil antara kelompok PKC dengan kelompok Nasionalis dari Partai Kuomintang. Perang sipil tersebut dimenangkan oleh kelompok PKC, kemudian pada 1 Oktober 1949 Mao secara resmi memproklamirkan Republik Rakyat China (RRC).

Sejak saat itu PKC menjadi satu-satunya partai yang berkuasa hingga saat ini, hal tersebut terkait dengan PKC yang memonopoli kekuasaan dan terdapat lebih dari 90 juta anggota, dimana PKC mampu menguasai berbagai elemen kekuasaan negara serta mengontrol pembuatan kebijakan. Pada tahun 1958 Mau Zedong kemudian membuat kebijakan yang bertujuan untuk mengubah budaya ekonomi masyarakat China dari agraris menuju industri modern. Namun kebijakan tersebut justru menimbulkan korban jiwa sekitar 20 juta orang meninggal dan dianggap sebagai kebijakan yang kontroverisal.

Pada 1966 Mao melakukan Revolusi Kebudayaan yang bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai komunis China. Dan sejak saat itu, nilai-nilai komunis China terus diterapkan pada pemimpin-pemimpin China setelah Mao, seperti Deng Xiaoping dan Xi Jinping.

Di bawah kediktatoran Mao Zedong dengan pemerintahan yang totaliter, China dinilai sangat kuat dengan paham Komunisnya yang melarang adanya gerakan-gerakan demokrasi. Sejak saat itu tidak ada yang berani untuk melawan kebijakan Mao dan bagi mereka yang melawan kebijakan tersebut akan ditangkap dan dipenjara. Sehingga dapat dikatakan bahwa Mao Zedong anti dengan gerakan revolusioner demokrasi dan organisasi non pemerintah (NGO). Pemerintahan Mao pada saat itu melarang adanya gerakan-gerakan perubahan dan demokrasi karena pemerintah takut keberadaan (NGO) akan mengganggu aktivitas kegiatan keagamaan dan politik di China. Selain itu pemerintah pusat khawatir jika kelompok revolusioner tersebut akan membawa ide-ide Barat yang tidak sesuai dengan tradisi China.

Namun setelah kepemimpinan berada di tangan Deng Xiaoping mulai muncul berbagai gerakan demokrasi dan tuntutan untuk menghentikan adanya kediktatoran dan totaliter. Tidak seperti di masa kepemimpinan Mao, pada masa Deng Xiaoping paham komunisme di China justru mulai luntur. Hal ini karena pengetahuan terkait paham komunisme sudah hampir hilang dalam pendidikan formal ataupun non formal. Selain itu gerakan demokrasi di China juga di dukung dengan banyaknya berbagai demonstrasi dengan menuntut dihilangkannya korupsi yang terjadi didalam partai komunis. 

Gerakan demokrasi tidak hanya terjadi di masa kepemimpinan Deng Xiaoping, melainkain terjadi juga di kepemimpinan setelahnya yaitu Xi Jinping. Xi Jinping ini merupakan penguasa China kedua yang berkuasa seumur hidup setelah penguasa Mao Zedong pada tahun 1949. Hal tersebut setelah di adakannya Kongres Rakyat Nasional pada 11 Maret 2018 yang mengumumkan penghapusan masa jabatan presiden, dan menjadikan Xi sebagai presiden seumur hidup tanpa dibatasi masa jabatan. Xi dianggap sebagai pemimpin yang kontroversial setelah Mao Zedong, hal ini terkait dengan sikap XI yang sering melakukan pembatasan-pembatasan ekstrem untuk mempertahankan paham komunisme China.

Dimana dampak dari pembatasan ekstrem tersebut justru membuat masyarakat menjadi frustasi karena kebebasannya selalu di bungkam, sehingga memunculkan suatu gerakan revolusi toilet yang dinilai sebagai salah satu cara masyarakat untuk menentang rezim  Xi tanpa adanya bahaya dari aparat pemerintah.

Beberapa tahun belakangan ini Xi memanfaatkan Pandemi Covid-19 sebagai alat untuk melindungi masyarakat China dari pengaruh Barat. Selain itu Xi selalu memperingatkan warganya terkait infiltrasi paham Barat seperti, demokrasi, kebebasan pers, dan independensi peradilan. Xi juga menggunakan konstitusi sebagai senjata hukum yang mengikat para pejabat dan masyarakat. Hal ini menjadikan Xi sebagai penguasa yang Otoriter atau Diktator seperti yang dilakukan Mao.

Dengan kekuasaan otoriter tersebut menimbulkan berbagai gerakan demonstrasi yang dilakukan masyarakat China. Hal ini ditunjukkan pada demo di Beijing pada Minggu (27/11/22) yang menuntut kebijakan ketat lockdown covid-19 yang ketat. Selain menuntut kebijakan ketat lockdown, para demonstran mulai meneriakkan slogan-slogan menuntut Xi mundur "Supremasi hukum dan demokrasi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi" ucap lantang para mahasiswa, serta terdapat beberapa tulisan yang menuntut Xi Jinping untuk lengser dari kekuasannnya. "Ayo berunjuk rasa, jatuhkan penguasa otoriter dan pengkhianat negara". Ujar salah satu warga dalam spanduknya. Namun demonstrasi tersebut berhasil dibubarkan pada Senin (28/11/22) sekitar pukul 02.00 setelah polisi paramiliter diterjunkan. 

Setelah berakhirnya demonstrasi, Lembaga Sensor China melakukan penghapusan dan pemblokiran terkait seluruh pencarian konten demonstrasi yang menuntut Xi Jinping mundur di semua media. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan Xi Jinping khawatir jika paham komunisme masyarakat hilang dan terpengaruh dengan paham Barat

Ditulis Oleh Aldi Irawan & Ahmad Avicenna Iraqi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun