Masyarakat Dusun Wati, Desa Gawang, Kecamatan Kebonagung, Pacitan, Jawa Timur memiliki sebuah ritual yang dikenal dengan nama 'Baritan'. Upacara adat tersebut melibatkan pengorbanan kepala kambing sebagai tumbal untuk penolak bala atau musibah.
Memiliki akar sejarah panjang yang dapat ditelusuri hingga abad ke-16, kira-kira pada tahun 1600 masehi. Ritual ini merupakan tradisi kuno yang muncul dalam waktu yang sulit ketika masyarakat Pulau Jawa dilanda wabah penyakit yang mengancam nyawa.
Mengawali kisah, seorang juru kunci Baritan, Sutrisno (66) menceritakan, bahwa pada masa itu pagebluk yang mengerikan telah menyebar di seluruh daerah menyebabkan kematian cepat dan membunuh ribuan nyawa. Setiap penduduk yang terjangkit di pagi hari, di sore harinya sebagian besar sudah tak bernyawa.
Kondisi tersebut memicu kepanikan pada penduduk. Ketakutan dan kebingungan menyelimuti, apalagi belum terdapat obat mujarab yang ditemukan pada waktu itu.
"Dulu itu pagebluk yang mengerikan, para masyarakat ketakutan, gejalanya pagi demam sorenya sudah mati," ungkap Mbah Wijen sapaan akrabnya.
Pada titik ini, para tokoh spiritual alias orang sakti daratan Jawa mulai mencari jawaban melalui komunikasi alam gaib. Mereka berusaha memahami apa yang harus dilakukan guna menghentikan wabah mematikan ini.
Setelah berkomunikasi dengan alam gaib, tokoh atau keturunan Ki Buwana Keling yang dikenal sebagai Bayu Ratas dan Posong Singo Yudo, menerima petunjuk untuk melakukan pertapaan selama 40 hari di Pertapaan Pongko Wati. Tujuan dari pertapaan ini ialah mencari obat demi mengobati penyakit yang menjangkit penduduk setempat.
"Mereka masuknya dari bebatuan sungai itu, dengan cara melompat jauh ke atas hingga ke pertapaan pongko wati, kalau dinalar memang tidak bisa," jelas Mbah Wijen.
Seiring waktu berlalu, setelah pertapaan yang panjang dan penuh pengorbanan, mereka akhirnya menerima petunjuk berupa ritual tolak bala dengan syarat-syarat tertentu.
Salah satu syarat utama yang diberikan adalah melakukan pemberian tumbal berupa kambing kendit dan ayam pada sosok pelindung daerah, dilaksanakan pada bulan suro masa itu.
Kambing kendit, memiliki ciri khas bulu putih yang melingkar seperti sabuk, dipilih untuk menjadi bagian penting dari ritual ini. Kepala kambing itu kemudian menjadi tumbal dan dikorbankan sebagai simbol penolak bala.
Prosesi pengorbanan ini menjadi momen yang paling mencolok dalam Ritual Baritan, dan telah berlangsung selama berabad-abad. Pengorbanan kepala kambing ini diyakini oleh masyarakat setempat sebagai sarana untuk mengusir roh jahat yang mungkin mengancam mereka. Termasuk sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan dijauhkan dari bencana alam dan penyakit.
Selama ritual berlangsung, kepala kambing yang dikorbankan diyakini memiliki kekuatan magis yang memberikan perlindungan dan keamanan bagi mereka.
"Kalau ingin wabah ini selesai, siapkan ayam jenis kambing yang warna bulunya warna putih yang melingkar seperti sabuk, lalu buatkan ritual di bulan suro," ungkapnya.
Ritual Baritan Pacitan, dengan tumbal kepala kambingnya yang unik, tidak hanya merupakan warisan budaya yang berharga tetapi juga menjadi simbol keyakinan dan kepercayaan masyarakat dalam perlindungan dan kekuatan magis yang melingkupi mereka.
Upacara adat ini terus dijalankan sebagai upaya untuk menjaga tradisi lama dan memperingati perjuangan leluhur dalam menghadapi wabah dan kesulitan. Secara penjelasan wabah tersebut hampir serupa dengan merebaknya pandemi Covid-19 tempo lalu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H