Persimpangan dan teras kota sepih,tertinggal harapan milik rakyat.
Sumber gambar:akun IG @Kopiitam
Dekap lampu pijaran lalu lintas di teras kota,dekat gedung istimewa di persimpangan kota serdadu memilih diam dari pada meneriakan rasa perintah halilintar, bermusuh melawan keadilan sudah jadi biasa di tanah penuh lumpur hukum menghakimi.
Toleran keadilan tak lagi di terawang oleh kaum penguasa yang berkuasa,harapan rakyat tak lagi panas bahkan menipis hingga hangat tuang dalam bias leluasa rakyat sesat ini, nyalakan dan nyalakan api,kobarkan dan kobarkan semangat dari hangat hingga panas kembali.Dasar menuai usai lilin-lilin soialis telah mati dan munculnya ketiadaan cahaya akan gelap sejenak sepastinya.
Ketika etika menjadi pilihan untuk menyalakan lilin kembali adalah langkah dari pada menjadikan hangat untuk menjadikan kembali panas adalah perintah ganas maka minuman alkohol lebih mujarab dari pada kopi hangat dan air putih suci itu.
Untuk dirimu penguasa yang telah biarkan kopi rakyatmu hingga hingga hangat dan semakin pekat,serta merta secangkir kopi keadilan adalah laras dari pada kemubajiran konstitusi dari pilihan yang melangkah lebih dari pada paham rakyat kecil(awam),karena segala sesuatu harus di paham dan merata maka secangkir kopi tidak dapat memahai hangat tapi kenikmatan menikmati secangkir kopi yang panas akan melihat rilnya keadilan dari rakyat kecil.
“Terus nyalakan api agar kopi rakyatmu terus panas dalam keadilan”
–Aldhynokelihu-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H