Kebutuhan parpol akan dukungan pemilih seringkali mengarahkan kepada politik transaksional. Ini biasa dilakukan para Caleg dan calon kepala daerah. Menjaga kedekatan bisa mengarah kepada hal tersebut.
Menjaga jarak juga seringkali membuat parpol, Caleg atau calon kepala daerah melakukan terobosan yang mengarah kepada permintaan dukungan dengan politik transaksional.
Bisakah Muhammaddiyah dengan pola menjaga kedekatan menghindari politik transaksional dan politik uang? Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan ke NU yang menjaga jarak dengan Parpol. Bisakah dengan pola menjaga jarak ini menghindari politik transaksional dan politik uang?
Politik transaksional dan politik uang adalah penyakit kronis Pemilu dan Pilkada kita. Tugas Muhammadiyah dan NU juga harus menyuarakan suara nabiah yang mencerahkan bangsa ini tentang hal tersebut.
Persoalannya bukan hanya soal pilihan menjaga kedekatan dan menjaga jarak. Pertanyaannya, apa dampak sikap menjaga kedekatan dengan menjaga jarak? Apa kebaikan yang dihasilkan dari pilihan sikap tersebut.
Menjaga jarak jauh lebih baik dari menjaga kedekatan. Parpol, biarlah tetap parpol dengan segala gayanya dan perilakunya sebagai praktisi politik praktis. Organisasi keagamaan biarlah tetap sebagai organisasi keagamaan yang mengurus umatnya. Dengan segala gaya dan perilakunya.
Artinya, agama biarlah tetap agama. Politik, biarlah tetap politik. Agama dengan politik itu berbeda. Biarlah tetap berjarak. Jika didekatkan percampuran agama dan politik seringkali membawa kejatuhan moral dan menggunakan politik identitas. Politik identitas, politisasi agama dan Agamisasi politik sama bahayanya. Jadi agama dan politik janganlah dicampur-campur, dijaga saja tetap berjarak. Semoga.
Salam jaga jarak.
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H