Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Surya Paloh dan Jokowi, Antara Politik Kebangsaan dan Politik Identitas

26 Juli 2022   06:07 Diperbarui: 26 Juli 2022   14:16 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh saat menerima gelar doktor kehormatan atau honoris causa dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Senin (25/7/2022). (KOMPAS.com / Tatang Guritno)

Surya Paloh menerima penyematan gelar Doktor kehormatan (Dr HC) bidang ilmu sosiologi politik dari Universitas Brawijaya pada hari Senin, 25 Juli 2022. Dalam orasi penerimaan gelar doktor tersebut, beliau menyampaikan betapa pentingnya politik kebangsaan dan jangan terjebak dengan politik identitas yang buruk.

Politik identitas sesungguhnya tidak semua buruk, sebagaimana dikutipnya dari pendapat Prof Yudi Latief. Ada politik identitas yang baik dan buruk. Namun untuk konteks politik Indonesia, yang menonjol adalah politik identitas yang buruk.

Akhirnya, kesan kita bahwa politik identitas menjadi buruk. Politik kebangsaan menganut paham bahwa kepentingan bangsa berada di atas kepentingan semua golongan atau perorangan, termasuk kepentingan partai.

Apa yang disampaikan Surya Paloh dalam orasinya bisa dipahami sebagai sebuah refleksi dari kondisi sosial politik Indonesia sekarang ini. Tentu saja dari sisi perspektifnya sebagai seorang politisi yang sedang memimpin sebuah partai yang ikut menjadi koalisi partai pendukung pemerintahan Presiden Jokowi.

Pasang surut hubungan antara partai dan antar tokoh pendukung Jokowi dengan yang tidak ikut dalam koalisi pendukung pemerintah sangat intens dilakukan Surya Paloh. Orasinya juga menggambarkan dialog dan semua diskursus politik antar partai tersebut.

Politik identitas.

Pengalaman politik teranyar kita tentang politik identitas yang sangat nyata dan jelas adalah Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres 2019. Dalam Pilkada DKI Jakarta yang menghadapkan Anies Baswedan-Sandiaga dengan Ahok dan Djarot.

Pendukung politik seakan terbelah (baca dibelah) dalam kontestasi politik tersebut. Penggunaan identitas agama dan mengandung SARA seakan sah dan legal digunakan. Pro kontra dan saling berhadapan dilakukan. Seakan kelompok ini musuh berbuyutan yang tidak mungkin berdamai dan bertemu.

Politik identitas mengembangkan keunggulan kelompoknya dan kelemahan kelompok lain. Bahkan kecenderungan yang terjadi, membenarkan kelompoknya sendiri dan menyalahkan kelompok lain. Terjadinya pembenaran kelompok dan menghakimi kelompok lain yang salah membuat perang benar-salah tak terhindarkan.

Akibat saling menyalahkan lawan dan membenarkan diri, muncul fatsun, fatwa bernada identitas agama. Seakan sah membunuh dan meminum darah lawan demi kepantingan politik identitas tersebut.

Selesai pemilu, pemilih seakan terbelah dan sulit berdamai. Surya Paloh secara ekstrim mengatakan untuk apa Pemilu dilakukan, jika itu membuat bangsa terbelah? 

Sebuah gugatan yang ekstrim, namun patut dipertanyakan sebagai refleksi diri sebagai sebuah bangsa. Surya Paloh bahkan lebih jauh mempertanyakan dan mengusulkan pemilu ditiadakan.

Dalam konteks ini mungkin perlu juga direnungkan. Jika ada perpecahan sebagai ekses dari penggunaan politik identitas yang memecah-belah bangsa, bukan Pemilunya yang harus ditiadakan, namun penggunaan politik identitas yang harus dihentikan.

Politik kebangsaan.

Sesungguhnya, kegelisahan dan kerisauan Surya Paloh tentang penggunaan politik identitas dan yang membelah bangsa ini patut diapresiasi. Namun usulan atau pemikiran yang mempertanyakan pelaksanaan Pemilu dan bahkan mengusulkan Pemilu ditiadakan mungkin berlebihan. Lalu, bagaimana jalan keluarnya?

Politik kebangsaan menjadi kunci jawabannya. Jika semua elemen pemimpin bangsa dan pemimpin politik menyadari bahwa politik kebangsaan harus menjadi identitas dan perilaku politik para elit politik Indonesia, maka kegelisahan Surya Paloh bisa dijawab.

Para pendiri bangsa ini telah menetapkan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara kebangsaan dengan bentuk Republik telah diikrarkan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Diskusi dalam Sidang BPUPKI tentang apa yang menjadi dasar negara Indonesia telah terjadi diskusi, dialog, dan perdebatan sengit. Pilihan kebangsaan bukan negara agama dan bukan kerajaan sudah diperdebatkan dengan berbagai argumentasi.

Dinamika rumusan Pancasila dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menambahkan 7 kata dalam sila pertama telah dihapus. Sila pertama, Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pengikut-pengikutnya dihapus bukan tanpa alasan. Keberatan dari Indonesia Bagian Timur yang ingin melepaskan diri dari Indonesia menjadi pertimbangan penghapusannya.

Untuk mencapai Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 bukanlah jasa satu orang atau satu golongan atau satu agama. Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan merupakan hasil usaha seluruh daerah dan seluruh agama yang ada di Indonesia.

Kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari Jepang. Tetapi juga bukan hadiah dari seorang atau satu agama tertentu. Jadi tidak layak ada golongan yang menganggap bahwa kemerdekaan ini adalah hadiah dari mereka untuk bangsa ini.

Perjuangan kemerdekaan bukan hasil perjuangan sesaat dan sekelompok orang. Pengangkatan Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, Pattimura, Imam Bonjol, Teuku Umar, Raja Sisingamangaraja XII dan seluruh pahlawan Nasional dari berbagai daerah Nusantara merupakan gambaran bahwa perjuangan kemerdekaan dicapai karena persatuan dan kesatuan gerak untuk memperjuangkan dan merebut kemerdekaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka politik kebangsaan harus menjadi identitas dan perilaku dari elit politik dan pemimpin politik Indonesia saat ini. Para pemimpin politik perlu mempelajari dan mengkaji kembali diskursus dan perdebatan pada Sidang BPUPKI dan siding PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi dan Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut.

Pelajaran dari Jokowi.

Bagaimana mewujudkan politik kebangsaan dan mengatasi ekses Pemilu yang membuat bangsa seakan terbelah? Mungkin bisa kita belajar dari presiden Jokowi dalam pemerintahan periode keduanya setelah memenangkan Pilpres 2019.

Sebagai pemenang, Jokowi tidak kemaruk dan menggunakan istilah 'the winner take all'. Bisa saja dia menggunakan haknya sebagai pemenang menunjuk para pendukungnya menjadi menterinya. Namun dia mengajak lawan dalam Pilpres, Prabowo menjadi menteri. Menteri yang strategis, Menteri Pertahanan.

Bukan itu saja, Sandiaga Uno yang merupakan pasangan Prabowo juga direkrutnya dalam reshuffle. Dengan memasukkan kedua orang tersebut, maka kontestasi Pilpres hanyalah sebuah pertarungan diwaktu Pilpres. Setelah Pilpres, mereka menyatu dalam kabinet pemerintahan Jokowi.

Jika bangsa ini mau belajar dari Jokowi bagaimana mengatasi keterbelahan setelah pemilu, maka apa yang dikhawatirkan Surya Paloh tidak perlu terjadi. Jokowi sudah memberi contoh yang konkrit dan nyata. Bukan teori, bukan retorika. Tinggal sekarang, apakah kita mau belajar dari apa yang diwujudkan Jokowi tersebut?

Politik kebangsaan dan NKRI adalah harga mati. Tidak perlu diperdebatkan, apalagi diragukan. Keberagaman bangsa ini dengan berbagai suku, agama, ras, dan golongan telah terbukti bisa bersatu dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Jika politik kebangsaan dan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sudah teruji, mari kita melupakan hal lain diluar itu. Politik identitas, negara khilafah patut kita singkirkan dari pemikiran dan perilaku politik para elit dan massa kita.

Surya Paloh telah menyampaikan kegelisahan hatinya dalam kondisi politik Indonesia sekarang ini melalui orasinya. Namun Jokowi sudah berhasil melakukan implementasi politik kebangsaannya melalui rekonsiliasi Pilpres 2019 dalam kabinetnya.

Bukan saja berhasil merekrut Prabowo-Sandi ke dalam kabinetnya, namun dia juga berhasil meyakinkan pendukungnya bahwa itu demi bangsa dan negara.

Tidak ada anggapan lawan politik, tidak ada musuh dalam Pilpres. Mereka hanyalah peserta dalam Pilpres. Harus saling berhadapan dan saling mengalahkan. Namun seudah Pilpres selesai, mereka bersama dalam kabinet. Membangun bangsa secara bersama-sama.

Itulah politik kebangsaan itu. Memikirkan dan membangun bangsa secara bersama-sama. Kepentingan bangsa berada diatas segala kepentingan golongan, suku, agama, ras dan kepentingan pribadi dan kelompok.

Kini, tinggal bagaimana membuat politik kebangsaan sebagai paham yang menjadi pola pikir dan pola perilaku dalam tindakan dan aksi politik bangsa ini. Harus dimulai dari para elit dan pemimpin politik. 

Bersatulah para pemimpin dan elit politik bangsa, maka massa pemilih dan masyarakat juga akan bersatu. Kita semua harus ikut menjaga politik kebangsaan.

Selamat menerima doktor penghargaan kepada bapak Dr.(HC) Surya Darma Paloh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun