Perbedaan Gaya Presiden Jokowi dan Soeharto Mengangkat dan  Mengganti Menteri.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri adalah hak presiden. Oleh karena itu maka siapapun yang diangkat dan diganti tidak boleh ditolak oleh parpol pendukung atau koalisi. Hak mengangkat dan mengganti Menteri menjadi hak dan kewenangan presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Ketika isu reshuffle 2022 ini diisukan, maka semua menganggap dan menyatakan itu adalah kewenangan presiden. Walaupun secara tersirat para komentator dari parpol pengusung berharap bahwa kader partainya jangan digusur. Bahkan ada tokoh yang menemui presiden karena kadernya terancam diganti.
Dalam pengangkatan dan pergantian Menteri ini, setiap presiden memiliki gaya dan etika tersendiri. Misalnya Presiden Soeharto di zaman Orde Baru, calon Menteri biasanya sudah diminta mengirim CV sebagai acuan untuk melihat dan menilai calon Menteri tersebut.
Setelah dinilai, maka diajukanlah ke presiden dan presiden Soeharto akan memilih. Dan untuk kepastiannya, Presiden Soeharto yang langsung menghubungi melalui telepon. Makanya ketika itu, telepon rumah harus stand by dan tidak boleh digunakan oleh anggota keluarga calon Menteri. Mana tahu presiden menelepon dan tidak bisa masuk, maka bisa batal menjadi Menteri.
Biasanya menjelang penentuan pengumuman calon Menteri anggota kabinet di era Orde Baru sangat mencekam. Semua calon Menteri yang didesasdesuskan menunggu dengan harap-harap cemas. Semua bisa berubah dari perkiraan. Semua tergantung presiden.
Ketika itu ada penyakit demam AIDS. Ini bukan AIDS penyakit yang mematikan, namun AIDS ini hanya demam musiman Ketika menjelang pengangkatan dan pengumuman nama Menteri. AIDS itu singkatan dari Aku Ingin Ditelepon Soeharto (AIDS). Hanya dengan ditelepon Soehartolah seseorang bisa menjadi Menteri. Itulah gaya Presiden Soeharto.
Nah, kini kita melihat gaya Presiden Jokowi untuk mengangkat dan mengganti Menteri. Bukan menelepon, tetapi memanggil calon Menteri. Calon Menteri diajak diskusi. Topik diskusi bisa mengindikasikan calon Menteri di bidang mana orang yang dipanggil.
Tentu saja hal ini sudah didahului dengan penjajakan dan penyaringan calon Menteri ini berdasarkan kapasitas profesionalnya. Terkadang yang menonjol dan yang paling utama bukan profesionalisme saja, namun juga kapasitas politik dan keterwakilan politik dalam konteks akomodasi politik.
Demikian juga yang mau diganti. Presiden Jokowi juga memanggil Menteri yang mau diganti. Diajak juga diskusi tentang tugas yang sudah dilakukan dan yang belum bisa dilakukan. Dengan menjelaskan kekurangan dan kelebihannya, maka Menteri yang akan diganti bisa memahami dan menerima pergantiannya.
Walaupun secara subjektif sulit orang menerima pencopotan atau pergantian, namun proses pemanggilan dan diskusi tersebut sudah menjadi sebuah cara, gaya atau etika yang baik. Ketika calon Menteri mau diangkat, dipanggil dan diajak diskusi, maka menggantinyapun, dipanggil dulu dan diajak diskusi. Datang tampak muka, pergi tampak punggung. Itulah gaya Presiden Jokowi.
Perbedaan gaya dari Presiden Soeharto dan Presiden Jokowi ini tentu saja banyak dipengaruhi oleh karakter presidennya, waktu dan keadaan zaman. Dan perbedaan gaya ini bukan untuk dikutuki, namun ini hanyalah sebagai gaya yang bisa dipelajari untuk mencari bentuk gaya bagaimana yang terbaik dan cocok bagi setiap presiden. Setiap presiden memiliki gaya tersendiri. Setiap masadan orang  memiliki gaya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H