Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden Jokowi di Antara Pertarungan Politik PDIP vs Luhut Panjaitan

19 April 2022   07:53 Diperbarui: 19 April 2022   08:01 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertarungan politik antara PDIP vs Luhut Panjaitan seakan tak pernah berujung. Ketegangan terus terjadi, memanas dan bahkan kini sudah menuju kepada pelaporan Masinton Pasaribu anggota DPR dari PDIP ke MKD DPR. Masinton dilaporkan oleh Koordinator Relawan Indonesia Bersatu Risman Hasibuan ke MKD DPR pada Senin 18/4/2022, (Kompas.com 18/04/2022).

Sebelumnya juga pertarungan ini sudah sengit. Masinton bahkan menyatakan tidak takut terhadap ancaman dari kubu Luhut Panjaitan, menurutnya, dia rela mewakafkan nyawanya. Wow, sampai kerelaan mewakafkan nyawa. Kenapa sih sampai rela mewakafkan nyawanya? Apa sih persoalan Masinton Pasaribu dengan Luhut Panjaitan? Apakah ini masalah pribadi atau masalah PDIP dengan Luhut Panjaitan?

Jika kita telisik mundur ke belakang, sesungguhnya masalah ini sudah lama terjadi sejak awal periode kepemimpinan Jokowi 2014 sampai sekarang. Indikasinya bukan masalah pribadi antara Masinton Pasaribu dengan Luhut Panjaitan, namun antara PDIP dengan Luhut Panjaitan. Bahkan ketika itu Luhut Panjaitan masih menjabat sebagai Kepala Staf Presiden (KSP).

Ketua Umum PDIP Megawati mengatakan bahwa Jokowi adalah petugas partai. Dan memang mereka memperlakukan Jokowi sebagai petugas partai. Dalam sebuah acara PDIP mereka memperlakukan Jokowi sebagai petugas partainya, bukan sebagai presiden. Jokowi tidak membantah pernyataan dengan pernyataan, namun dengan cara bertindak gaya Jawa.

Adalah sebuah fakta bahwa  Jokowi itu dicalonkan dan diusung oleh PDIP bergabung dengan partai lain menjadi calon presiden. Jokowi menang dan menjadi presiden. Kemenangan itu tidak hanya hasil kerja PDIP, namun kekuatan relawan juga sangat menentukan kemenangan Jokowi. Baik dalam Pilpres 2014 dan 2019. Bahkan jika relawan Jokowi tidak militan, kemenangan itu tidak mungkin diraih. Masih ingat kita di saat genting, konser salam dua jari menjelang pilpres 2014 yang dramatis itu.

Presiden setelah terpilih tentu saja memilih para menteri sebagai pembantunya. Ini adalah hak prerogatifnya sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Siapapun boleh mengusulkan calon menteri, namun yang menetapkan dan memutuskan adalah presiden sendiri. Disini mulai muncul masalah.

Pemikiran Megawati yang menganggap Jokowi sebagai petugas partai mulai terasa dalam penentuan dan pengangkatan para menteri dan pembantunya. Berita yang panas di awal periode pertama Jokowi Presiden cukup membuktikan itu.

Benarkah Mega dorong Jokowi copot Trio Macan? Demikian judul sebuah berita (detiknews.com 04-02-2015). Trio macan yang dimaksud adalah Seskab Andi Widjayanto, Menteri BUMN Rini Soemarno dan Kepala Staf Presiden (KSP) Luhut Panjaitan.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu ketika itu melontarkan pernyataan dan berani menuding ada orang-orang istana yang ingin menjauhkan Presiden Jokowi dari PDIP.

   "Saya nggak paham bagaimana menjauhkannya," kata Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjayanto. (detik.com 04/02/2015).

Apa yang dikemukakan diatas sudah membuktikan bahwa dari tahun 2015 ketegangan dan pertarungan politik itu terjadi. Trio Macan yang diusulkan dan didorong Mega agar dicopot dulu sudah hampir tuntas. Andi dan Rini sudah tidak ada lagi sebagai pembantu Presiden Jokowi. Dari Trio Macan itu tersisa satu lagi menjadi solois bukan lagi Trio Macan tapi Satu Macan, yaitu Luhut Panjaitan. Satu macan ini saja cukup memusingkan PDIP. Jadi kadernya Masinton Pasaribu harus marah dan maju tak gentar walapun harus mewakafkan nyawanya. Luar biasa loyalnya ke partai. Loyalis Megawati sejati.

Kemarahan PDIP kepada Luhut bukanlah muncul sesaat. Topik kemarahan kini dengan isu big data tentang penundaan pemilu hanyalah alasan menyerang Luhut Panjaitan. Ancaman dari kubu Luhut Panjaitan juga dibalas. Dan pelaporan Masinton Pasaribu ke MKD juga pasti akan dibalas. Bagaikan berbalas pantun.

Bagaimana  sikap Presiden Jokowi dalam hal ini? Dimana posisinya? Dan memihak siapa? Apakah dia memihak PDIP, partai asal dan yang mengusungnya menjadi calon preiden? Atau dia memihak kepada Luhut Panjaitan yang diangkatnya sebagai menteri dan pembantunya? Disinilah kita lihat gaya Jokowi yang sulit ditebak.

Dalam banyak hal, Presiden Jokowi kita lihat marah-marah kepada para menterinya dan acara diliput dan disiarkan oleh sekretariat presiden melalui akun Youtube. Kemarahan itu seakan dibuka untuk umum. Banyak yang mengkritik dan menganggap itu sebagai kelemahan. Bahkan ada seorang anak mantan presiden mengkritik Jokowi dan menyarankan Jokowi meniru dan meneladani ayahnya yang tidak pernah marah kepada menterinya di tempat terbuka.

Bagaimana Jokowi mau meniru itu? Kalau gaya itu ditiru, mungkin juga hasilnya sama, mangkraknya berbagai proyek. Marah-marah saja, masih banyak proyek dan program pemerintah yang belum berjalan dengan semestinya, apalagi diam dan tidak marah.

Presiden Jokowi tidak membantah pernyataan-pernyataan dari PDIP. Menyebutnya petugas partai. Mempertahankan posisi Luhut Panjaitan sebagai menteri sampai sekarang merupakan bentuk perlawanan Jokowi terhadap Megawati dengan gaya Jawanya. Bahkan Jokowi memberikan kepercayaan kepada Luhut untuk berbagai urusan yang tidak selesai diurus oleh pembantunya yang lain.

Penanganan Pandemi Covid-19 untuk Jawa dan Bali contohnya. Sesungguhnya sudah diangkat dan ditunjuk Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto untuk menangani Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Lalu kenapa khusus Jawa dan Bali harus diserahkan kepada Luhut? Dan bagaimana seandainya hal itu tidak diserahkan kepada Luhut? Disini rahasia hubungan antara Jokowi dengan Luhut Panjaitan yang sulit ditebak.

Presiden Jokowi tidak mengomentari ketegangan dan pertarungan partai asalnya PDIP dengan Luhut Panjaitan sebagai menteri yang membantunya. Namun dia bertindak dan memberi kepercayaan kepada Luhut Panjaitan berbagai urusan. Inilah makanya banyak tudingan bahwa Luhut Panjaitan bagaikan Perdana Menteri. Padahal  kita tidak mengenal istilah perdana menteri.

Presiden Jokowi juga tetap menghormati Megawati dan memberikannya beberapa posisi dan jabatan termasuk di BRIN eks LIPI dulu, yang menurut pakar kurang pas karena Megawati bukan ahli atau pakar riset. Jadi demikianlah gaya Presiden Jokowi menghormati Ketua Umum partainya, PDIP.

Sebagai presiden dia  memberikan kepercayaan dan tugas  pemerintahan kepada Luhut Panjaitan. Siapapun tidak bisa menglangi atau mencampurinya. Lalu jika kader partainya PDIP Masinton Pasaribu mengambil posisi sebagai loyalis partai dan ketua umumnya, menyerang menterinya? Ya dibiarkan saja. Itulah dinamika politik. Mungkin Jokowi menganggapnya sebagai dinamika politik dan seperti drama politik yang layak ditonton sebagai hiburan politik.

Sudah terlalu lama bioskop ditutup dan konser musik dilarang. Padahal Jokowi senang menonton konser.  Minimal drama pertarungan politik PDIP dan Luhut Panjaitan ini bisa kita nikmati sebagai bioskop politik dan konser politik yang menghibur dan mengurangi stress presiden Jokowi dan kita sebagai Presidensi G20 yang pusing menghadapi AS dan NATO di tengah perang Rusia Ukraina. Selamat menonton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun