Ada fenomena pemandangan baru yang ditampilkan media kita. Emak-emak pengantri minyak goreng. Hampir tiap hari media TV dan media sosial serta media cetak seakan berlomba membuat laporan foto para emak sedang antri untuk membeli minyak goreng.
Tak kalah serunya juga di DPR. Dua kali DPR melalui Komisi VI mengundang Menteri Perdagangan, yang diundang tak kunjung datang. DPR mengancam akan memanggil paksa menteri. Wow. Untunglah panggilan ketiga Menterinya datang dan jadilah rapat kerjanya. Terungkap masalah bahwa Menteri Perdagangan tak bisa mengendalikan distribusi minyak goreng, karena masalah yang dihadapi adalah sifat manusia yang rakus untuk menimbun dan mencari keuntungan.
Tidak berhenti disitu saja, Ketua Umum PDIP Megawaty juga berkomentar. Menyalahkan ibu-ibu yang mau mengantri demi minyak goreng. Berbagai respon dan komentar kepada Megawaty yang dianggap tidak peka dan tidak memahami masalah bagi para ibu.
Menjawab tudingan dan respon yang demikian, PDIP membuat pameran masak memasak tanpa minyak goreng. Minyak goreng telah menjadi isu yang hangat dan seluruh jagat Indonesia raya bergemuruh dengan berita tentang minyak goreng.
Lalu muncullah pertanyaan kritis. Apakah benar bahwa perdagangan dan distribusi ini tidak bisa diatur dan dikendalikan pemerintah? Kenapa Indonesia sebagai penghasil CPO alias minyak sawit terbesar di dunia tidak bisa membuat produksi minyak goreng melimpah dan lebih? Apakah kita ini bagaikan perumpamaan seperti tikus mati diatas beras?
Jawaban Menteri Perdagangan di depan Rapat kerja DPR menunjukkan indikasi lemahnya pengawasan distribusi dan bahkan ada dugaan bahwa terjadi kartel dalam perdagangan minyak goreng. Enam produsen utama minyak goreng sepertinya ada dugaan melakukan kartel yang sangat menguntungkan mereka. Lalu kenapa para emak masih sibuk mengantri untuk membeli minyak goreng?
Ada beberapa gejala yang membuat para emak ini mau dan sibuk mengantri untuk membeli minyak goreng.
Pertama, ketergantungan. Para emak di Indonesia seakan sudah tergantung dengan minyak goreng. Anak yang selalu dimanjakan dengan gorengan seakan kehilangan rasa kalau hidup tanpa minyak goreng dan gorengan. Goreng pisang mau direbus? Bisa saja goreng pisang menjadi pisang rebus. Namun karena sudah sangat tergantung dengan kebiasaan goreng menggoreng, hidup tawar tanpa minta goreng. Dengan demikian minyak goreng harus dikejar.
Kedua, panik. Para emak seakan panik jika di rumahnya tidak ada minyak goreng. Kepanikan ini segera disebarkan dengan mengajak teman-temannya untuk mengantri. Ditambah berita media yang gencar, maka kepanikan itu menyebar bagaikan virus dan merasuk dalam hati para emak.
Ketiga, ketamakan. Ketamakan para penimbun minyak goreng telah menginspirasi para emak juga untuk melakukan persiapan dengan membeli minyak goreng sebagai cadangan dan simpanan, Â seandainya minyak goreng hilang dari pasar. Ditambah lagi menjelang bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri, maka menyatulah semua faktor tersebut. Sudah ada rumah yang memiliki cadangan minyak goreng untuk satu dua bulan. Seakan pabrik minyak goreng sudah tutup.
Bagaimanakah para emak dan masyarakat kita menghadapi masalah minyak goreng ini?