Moeldoko, Brutalitas Demokratif Dan Ketakutan Kubu Cikeas (SBY).
Moeldoko dan KLB Sibolangit ternyata menjadi gempa dan tsunami politik bagi Partai Demokrat. Segala cara dilakukan untuk menghempang, toh terjadi juga. Berbagai isu, tudingan dan bahkan surat yang dikirm AHY sebagai Ketua Umum ke Presiden Jokowi juga tak bisa menghentikan rencana KLB tersebut.
Pasca KLB, Kubu Cikeas lebih bringas lagi. Menuding pemerintah begini, pemerintah begitu juga dilakukan, sampai Menkumham Yasonna Laoly mengingatkan salah satu pengurus Partai Demokrat untuk tidak menuduh pemerintah begini dan begitu. Mungkin Menkumham tidak merumuskan apa yang dimaksudkan dengan tudingan begini dan pemerintah begitu.
Tiba-tiba Kubu Cikeas membentuk Tim Kuasa Hukum, ada 13 orang yang dipimpin Bambang yang sering dipanggil BW. Rumusan pemerintah begini, pemerintah begitu semakin jelas. BW mengatakan bahwa jika pemerintah mengakomodir KLB Sibolangit dan Moeldoko diakui pemerintah, maka ini bukan sekedar abal-abal, tetapi brutalitas demokratif di era pemerintahan Jokowi.
Apa yang bisa kita lihat dari perkembangan terakhir kisruh partai Demokrat ini? Kubu Cikeas sangat panik. Gempa dan tsunami politik berupa KLB Sibolangit yang memilih Moeldoko sebagai ketum ternyata membuat penguasa kubu Cikeas tak bisa lagi tidur nyenyak. Gempa dan tsunami ini bagaikan hari kiamat yang membuat mereka tamat.
Pengurus KLB Sibolangit belum dilaporkan dan didaftarkan di Kemenkumham, AHY membawa 5 kontainer berkas dan dokumen untuk menunjukkan keabsahan dan legalitasnya. Bersafari lagi ke KPU dan Menkopolhukham, dan berkicau terus bagaikan burung pipit yang sedang tumbuh dan baru bisa berkicau, lalu berkicau sepanjang hari melalui media massa dan media sosial.
Konprensi pers dibuat teratur sehabis sebuah safari politik. Tak habis disitu, juga dipersiapkan gugatan kepada 10 orang yang menggagas KLB Sibolangit. BW dan kawan-kawannya didapuk menjadi kuasa hukum untuk menggugat para penggagas KLB yang mendudukkan Moeldoko sebagai ketua umum.
Baru saja menjadi kuasa, BW juga langsung tancap gas. Melontarkan istilah baru, brutalitas demokratif. Istilah yang paradoks menggunakan kata brutalitas dan demokratif. Entah apa arti dan maknanya, masih kurang jelas. Apakah gugatannya berisi defenisi brutalitas demokratif tadi, kita akan menunggu persidangannya. Bagaimana nanti para tergugat menghadapinya? Siapakah yang akan ditunjuk sebagai kuasanya untuk menghadapi gugatan ini? Kita akan segera tahu. Ini tontonan menarik.
Dugaan bahwa kisruh dan konflik Partai Demokrat ini akan berlangsung berjilid-jilid bagaikan sinetron, bukan mengada-ada. Kini sinetron baru telah hadir. Gugatan di Pengadilan yang akan disidangkan segera. Tontonan menanti di bioskop panggung politik. Lumayanlah ada tontonan baru, karena bioskop film belum kunjung ramah menerima kehadiran penonton.
Seberapa dalam dan besarkah ketakutan SBY kepada Moeldoko sehingga membuat strategi perang habis-habisan ini dijalankan? Apakah ada juga ketakutan baru diatas ketakutan lama, sehingga gugatan harus segera dilayangkan, sementara Moeldoko, mungkin masih ngopi-ngopi menyusun nama untuk didaftarkan sebagai pengurus versi KLB?
Sengketa dan konflik partai politik di Indonesia biasa saja dan lumrah terjadi. Partai Golkar juga pernah mengalaminya. Bagaimana perseteruan Kubu Aburizal Bakrie dengan kubu Agung Laksono. Dua tahun lalu disambung lagi persaingan kubu Airlangga dan Bamsoet. Tak sehiruk pikuk dan ketakutan seperti ini. Partai PPP juga baru saja menuntaskan islah dan sepakat bersatu setelah berapa tahun terakhir mereka konflik, gugat menggugat dan kini bersatu kembali. SK Menkumham baru saja dikeluarkan dan mereka bersatu mempersiapkan diri menuju Pemilu 2025.
Ada juga perseteruan di PKB antara Gus Dur almarhum dengan Muhaimin di era SBY presiden. Saling menggugat juga. Ramai juga. Ujungnya yah selesai dengan waktu juga. PKB tidak runtuh. Bahkan bisa bertumbuh juga dengan belajar dari konflik tersebut.
Ada juga konflik di Partai Hanura. Anatar OSO dan Wiranto pendirinya. Akhirnya Wiranto sang pendiri juga terdepak keluar dan Partai Hanura dikuasai oleh OSO. Indonesia tidak kiamat politik karena kisruh dan konflik partai politik itu. Jadi Partai Demokrat tidak usah khawatir bahwa konflik partai ini akan menenggelamkan demokrasi di Indonesia. Nggak separah itulah. Itu pelajaran dari konflik berbagai partai politik diatas loh.
Apakah ketakutan SBY dan kubu Cikeas sudah memuncak dan sampai diubun-ubun sehingga perlu segera menggugat para penggagas KLB Sibolangit ke pengadilan? Jika ini dilayani 10 orang tersebut dan sidang berlanjut sampai ke tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK), berapa lama sidang ini akan berlangsung? Bisa tiga, empat atau lima tahun? Kalau para tergugat menggunakan teknik mengulur kasus ini dan bahkan melakukan gugatan balik, berapa lama lagi kisruh partai ini akan berjalan?
Kelihatannya kepanikan dan ketakutan SBY dan kubu Cikeas semakin tidak masuk akal. Hal ini patut diduga akan sangat membahayakan masa depan AHY sebagai pemimpin muda yang sesungguhnya kita harapkan menjadi pemimpin masa depan. Dengan strategi SBY, ayahnya untuk melakukan perang habis-habisan akan membuat posisi AHY dan mungkin  prospeknya terganggu.
Kita boleh cemas, panik dan takut, tetapi hal itu tidak perlu diumbar dan ditunjukkan dengan vulgar. Gugatan yang dilakukan kubu Cikeas ini adalah hak mereka. Namun pemerintah saja belum menerima laporan dan susunan pengurus KLB, lalu kubu Cikeas sudah kebakaran jenggot dan marah. Gugatan ini merupakan indikatornya.
Kampanye keabsahan dan legalitas itu perlu, tetapi cukup seperlunya saja atau secukupnya. Jangan berlebihan, lebay dan bahkan bisa menjadi alat penghancur diri sendiri. Kenapa? Kita ambil contoh tentang gugatan ini. Dalam proses peradilan kita, jika ada gugatan ke pengadilan, maka tugas pembuktian ada di pihak penggugat. Penggugat wajib membuktikan segala isi petitum gugatannya. Tergugat hanya melawan atau menangkis gugatan tersebut. Apakah buktinya sudah cukup?
Jika penggugat berhasil membuktikan gugatannya, maka gugatannya akan diterima. Jika gugatannya tak bisa dibuktikan, maka gugatannya akan ditolak. Atau bisa juga gugatan tidak bisa diterima, karena kurang pihak atau kurang bukti dan berbagai hal yang menjadi pertimbangan hakim yang mengadili perkara gugatan tersebut.
Gugatan kubu Cikeas dan pernyataan BW sebagai kuasa hukum kubu Cikeas tentang brutalitas demokratif bisa membawa kubu Cikeas kepada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang prihatin, karena istilah brutalitas demokratif adalah sinetron lanjutan playing victim. Memang sangat disayangkan bahwa pengacara kubu Cikeaspun terjebak dengan gaya playing victim SBY. Kemungkinan kedua, publik dan pemerintah tidak menyukai tuduhan tersebut. Akhirnya, Moeldoko bisa saja diterima dan diakui melalui SK Kemenkumham.
Kubu Cikeas yang ketakutan seperti bangkit dan marah, lalu ingin menebarkan ketakutan kepada pemerintah. Tudingan baru berupa istilah brutalitas demokratif menjadi salah satu indikasinya. Apakah pemerintah akan takut dituduh melakukan tindakan brutalitas demokratif yang belum jelas diksi dan maknanya ini? Ataukah pemerintah sudah kesal, sebal dan berada di tingkat kesabaran yang mencapai titik nadir?
Apakah publik menilai partai yang kisruh ini masih dianggap menjadi pilihan dalam Pemilu 2024? Apakah semua tindakan partai politik ini bisa dianggap sebagai sebuah tindakan yang terpuji atau tercela sebagai dasar pertimbangan untuk memilihnya? Ini tentu saja hak para pemilih untuk menilai dan menentukan sikapnya.
Kita berharap, bahwa Partai Demokrat bisa menyelesaikan kisruh dan konflik ini secara bijak. Kepala harus dingin, walau hati panas, bisa mencari solusi, bukan mengobarkan api.  Mencari damai bukan perang tanpa tepi. Kenapa tidak menyediakan meja untuk makan nasi goreng dan ngopi? Tidakkah SBY bisa membuat nasi goreng yang enak untuk Moeldoko seperti nasi goreng untuk Prabowo dan tamu lainnya?
Nasi goreng dan ngopi sesama lelaki bisa menyelesaikan banyak masalah. SBY mungkin bisa mencobanya. Modal nasi goreng dan kopi itu murah meriah dan santai. Menggugat ke pengadilan membutuhkan fakta dan data untuk bukti. Butuh dana yang tidak sedikit untuk biaya sidang dan pengacara. Butuh waktu lama dan ongkos berupa ketegangan pikiran menunggu hasil sidang.
Dalam proses berperkara, ada pameo yang menyatakan, 'habis arang, besi binasa.' Habis waktu, pikiran dan uang membeli arang mengurus perkara, eh ternyata hasilnya membinasakan. Tak ada manfaat, yang tumbuh adalah musuh. Menang kalah dalam perkara adalah biasa. Namun dampaknya seringkali tidak menyenangkan. Kenapa.
Yang menang tak bisa langsung bersukaria. Yang kalah masih bisa mencari celah untuk menggugat lagi. Terkadang ada proses gugat menggugat, gugat balik dalam satu perkara menghabiskan waktu dan uang tak terkira, sampai nilai harta atau apapun yang diperkarakan tak cukup lagi membiayai perkara tersebut. Berdamai itulah sesungguhnya solusi sejati. Kompromi, itulah awal dari solusi.
Sebelum sidang perkara dimulai, nanti ada proses mediasi. Disitu diuji, apakah para pihak bisa berkompromi atau tetap berkonfrontasi. Jika mau kompromi, maka damai akan tercapai. Damai itulah solusi guna menghindari kelanjutan konfrontasi. Harapan kita, Partai Demokrat bisa berdamai, karena damai itu indah. Semoga.
Salam hangat.
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H