Partai Abu-abu, Berdebu Dan Kelabu
Partai Demokrat seringkali dianggap sebagai partai yang abu-abu. Kenapa? Karena sifat keberpihakannya tidak jelas. Tidak ikut koalisi partai pendukung pemerintah, tidak juga ikut partai yang mengambil sikap oposisi ke pemerintah. Tidak hitam, tidak putih, yah abu-abu.
Partai Demokrat menganggap dan menempatkan dirinya sebagai penyeimbang. Wow, keren istilah itu. Tetapi apakah benar posisi partai berlambang Mercy ini bisa menjadi penyeimbang? Jika kekuatan partai koalisi pendukung pemerintah terlalu besar, apakah partai ini bisa memberi bobot berat untuk menyeimbangkan posisi tawar antara kedua kubu? Tidak juga. Suara 7,77 persen di DPR tidak mungkin menjadi penyeimbang.
Kalau disebut poros tengah seperti kelompok Amien Rais di era 1999-2004? Tidak pas juga. Karena keadaan di era 1999-2004 sudah sangat berbeda dengan kondisi politik sekarang ini. Lalu, apalah namanya posisi partai ini? Itu tadi, menjadi partai abu-abu. Dan sikap itu menuai hasil sekarang ini. Maksudnya?
Partai yang sedang kisruh ini sudah berteriak dan melakukan konprensi pers sebagai korban ketidak adilan, kok tidak ada satu partaipun yang membelanya? Kalau tidak membela ya mencela juga tidak ada. Kenapa semua partai seakan berlomba diam? Untuk apa mencampuri urusan internal ini? Lho, kan Partai Demokrat sudah bilang ini bukan masalah internal, tetapi intervensi penguasa dan istana. Partai lain pun bisa dapat giliran.
AHY sudah berteriak dan bersafari kemana-mana. Ke Menkumham, ke KPU, ke Menko Polhukham, ke mana lagi ya? Entah kemanalah. Siapapun yang patut diduga akan mendukung pengurus hasil KLB Deli Serdang dikunjungi. Membawa massa lagi, tak perduli apakah rombongan ini kerumunan yang melanggal prokes 5 M bukan lagi pertimbangan. Semua orang harus tahu, SBY dan AHY lagi galau. Show force.
Sekarang Ibas, Ketua Fraksi Partai Demokrat juga tidak tinggal diam. Sejak dikunjungi abangnya AHY, Â anak sulung dari ayahnya SBY, dia pun ikut berteriak. Â "Ayo selamatkan demokrasi." Wow, lebih keren lagi ini. Demokrasi sedang dipertaruhkan. Jika Kelompok Cikeas ambruk dari Partai Demokrat, maka demokrasi Indonesia akan amblas. Begitukah? Apakah demokrasi Indonesia identik dengan Kelompok Cikeas? Bagaimana seandainya yang diakui pemerintah adalah versi KLB, lalu mereka mengelola partai abu-abu ini lebih demokratis? Eit, jangan sembarangan membandingkan ya. Hanya Ibas yang boleh membandingan SBY dengan Jokowi soal ekonomi melesat.
Damrizal, salah seorang deklarator dan inisiator KLB yang merupakan kader senior Demokrat sampai menangis tersedu-sedu waktu jumpa pers. Dia menyesal mendukung SBY menjadi Ketua umum. Dia juga minta ampun dan akan mempertanggungjawabkan hal itu nanti di akhirat. Wah, gawat ini partai. Semua urusan dihubungkan dengan Tuhan. Ada pameo Tuhan tidak suka, ada pula nanti pertanggungjawaban di akhirat. Seharusnya partai ini diubah menjadi partai agama.
Apa yang disampaikan Damrizal adalah soal kutipan dan upeti yang harus disetorkan Fraksi Tingkat dua dan fraksi tingkat satu. Hal ini diatur dalam Peraturan Organisasi sejak SBY menjadi  ketua umum. Lha, ini kan sekedar iuran dan urunan. Apa salahnya para anggota DPRD tingkat dua dan tingkat satu ikut setoran ke SBY, sang pemiliki partai? Anggap saja biaya pemeliharaan agar tidak di PAW atau dipecat. Tapi ini seakan menjadi debu yang mengotori pandangan orang terhadap partai ini.
Ada lagi kisah tentang AD/ART yang bertentangan dengan UU Partai Politik. Adalah Rasman Nasution dari kelompok KLB juga yang memaparkan dalam jumpa pers setelah mereka menyampaikan hasil KLB ke Menkumham secara diam-diam. Silent operation gaya intel. Kedudukan Majelis Tinggi yang menjalankan putusan strategi bertentangan dengan isi pasal 23 UU Parpol tentang fungsi Ketua Umum. Ada lagi posisi pengambilan putusan tertinggi di partai adalah di Muktamar, Munas atau Kongres. Itu dipasung oleh Majelis Tinggi. Ada lagi cerita Mahkamah Partai yang menurut UU Parpol putusannya final dan mengikat, namun di AD/ART Partai Demokrat, Mahkamah Partai hanya merekomendasi.
Berbagai hal tersebut menambah debu yang mengganggu pandangan orang tentang partai Abu-abu ini. Bagaimana adu kuat dan adu argumentasi ini akan berjalan dan siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Pemenang di mana dulu? Kalau keluar SK Menkumham menerima atau menolak keabsahan KLB, pasti dilanjutkan ke Pengadilan. Kalah di tingkat pertama, lanjut ke tahap berikutnya sampai ke Mahkamah Agung. Itu bisa berapa lama? Sampai 2024 atau lewat 2024? Bagaimana persiapan 2024?
Wah, kalau begini bisa menjadi drama berjilid-jilid nih, demikian orang bertanya. Butuh energi besar nih, kata orang lain lagi. Nah, mari kita lihat sajalah. Kalau ibarat sinetron, kalau suka tonton, tak suka ya ganti ke channel lain, itu tak merepotkan kok. Tapi pemain panggung atau sinetron yang ditonton pasti tidak suka. Mereka manggung kan untuk ditonton. Tapi kalau tontonan tidak suka dan ceritanya terlalu bertele-tele, kok dipaksa penontonnya harus setia? Para pemainnya saja tidak saling setia, kenapa penonton harus setia? Siapa pemain yang tidak setia?
Mereka-mereka yang berantam ini kan sebagian berasal dari masa lalu partai ini. Hanya Ketua umumnya ini yang dulu belum ikut partai ini. Itu juga yang disesalkan banyak orang. Seandainya ketua umum KLB ini kader senior yang dipecat, maka mungkin rumusan masalah internal akan cukup ampuh. Ini ketumnya dari istana lagi, presidennya diam lagi. Sulit ditebak. Daripada main tebak-tebakan, lebih baiklah menuduh dan menuding. Biar lebih terpojok presidennya, kirim surat. Gitu aja repot.
Tetapi apa daya, surat tak digubris. Surat tak berbalas. Tuduhan ke Moeldoko yang berbalas. KLB balasnya. Wow, tragedi deh. Bukan hanya berdebu, berkabung dan kelabu. Dan dalam keadaan kelabu seperti itulah tak ada partai yang membantu. Yang datang hanya mantan pentolan GAM dari Aceh. Partai Daerah. Tak tahu pula kita apa riwayat kisah mereka. Partai yang ada di Jakarta seakan menjadi penonton yang baik.
Tapi apa pula yang mau dibantu. Biasanya yang saling membantu itu adalah teman, sohib kita. Partai abu-abu, siapa temannya? Ya tak ada. Lawannya, juga tidak ada. Makanya tidak ada partai yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tawar saja, datar tak ada reaksi.
Lalu lawannya ini siapa? Ya teman separtainya. Tujuh kader senior yang dipecat, mereka bergerak cepat. Jadilah KLB bim sala bim. Seakan semalam jadi. Belum hadir calon ketum, sudah terpilih. Biasanya calon ketum yang ditanyai, ini Calon ketum yang bertanya kepada peserta KLB. Lucu, aneh tapi nyata. Semua serba abu-abu. Sekarang, bagaimana keluar dari situasi kelabu ini?
Berobahlah, ubah haluan. Rheinald Kashali dalam sebuah bukunya berjudul Change mengatakan, Tidak perduli sesesat apaun kondisi anda sekarang ini, saatnya memutar haluan. Maukah AHY dan SBY memutar  haluan? Dari playing victim ke arah sikap gentlemen. Maukah AHY dan SBY terbuka menerima para pelaku KLB ini? Seperti Jokowi menerima Amien Rais Cs yang selalu memaki-makinya di luar istana? Bahkan ada yang merancang untuk meminta mundur Jokowi ikut dalam pertemuan itu. Jokowi menerimanya.
Apakah pertemuan Jokowi dengan Amien Rais Cs bisa menjadi pelajaran bagi SBY dan AHY? Atau tetap ngotot dengan pidato legalitas dan keabsahan dirinya dengan lima kontainer dokumen itu? Dan pameo KLB tidak sah, illegal dan inkonstitusional? Tak bermoral?
Dimanakah letak demokrasi di Partai Demokrat, jika tidak bisa berbeda pendapat? Bagaimana SBY dan AHY mau menuntut keadilan, sementara mereka main pecat terhadap kader senior dan bahkan sebagian pendiri partai? Bagaimana SBY bicara demokrasi dan keadilan, sementara jabatan strategis dikuasai trah Cikeas. Mulai dari Ketum, Waketum, Majelis Tinggi, Wakil Ketua Majelis Tinggi dan ketua Fraksi di DPR. Kemana mereka mengadu dengan kebuntuan masalah yang harus menghadap keluarga Cikeas itu di semua posisi strategis. Ya, karena buntu, lahirlah KLB. Itu menurut Damrizal.
Titik penyelesaian konflik dan kisruh partai abu-abu ini tidak boleh bersikap abu-abu lagi. Harus jelas. Maukah saling mendengar dan kompromi, minimal duduk bersama, walau hasilnya sepakat untuk tidak sepakat? Pertemuan Jokowi dengan Amien Rais Cs tidak sepakat. Tapi sejarah mencatat, Presiden Jokowi mau menerima orang yang berbeda pendapat dengannya, yang mencacimakinya, dan bahkan yang ingin memakzulkannya.
SBY dan AHY kan masih sah dan legal, kenapa takut bertemu dan mengundang peserta dan penggagas KLB? Tidak berkenan dan mau menang sendiri? Yah sudah. Setiap orang akan menuai apa yang ditaburnya. Tabur pemecatan, tuailah KLB. Tabur monopoli jabatan di partai, hengkanglah para kader senior. Tabur tudingan dan tuduhan ke Moeldoko, tuailah Ketum baru tandingan.
Kini setelah partai abu-abu ini penuh debu dan kelabu, apakah SBY dan AHY akan mengigau playing victim atau melanjutkan perang terbuka dan menyerang semua lini termasuk pemerintah? Atau melakukan cooling down, mencoba mendekati beberapa orang pelaksana KLB untuk mencari solusi? Atau memilih mediator yang bisa memediasi para pemangku kepentingan partai ini? Semua itu hanya pilihan. Pilih mana yang cocok dan  suka. Selamat memilih.
Salam hangat.
Aldentua Siringoringo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H