Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai Demokrat Butuh Problem Solver (Bukan Problem Maker)

9 Maret 2021   06:00 Diperbarui: 9 Maret 2021   06:01 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kisruh dan konflik Partai Demokrat semakin meningkat eskalasinya. Pasca KLB, AHY merapat ke kantor Kemenkumham. Menemui Dirjen AHU Kemenkumham membawa dokumen berjibun. Ingin membuktikan sebagai DPP yang sah dan konstitusional dan KLB illegal dan inkonstitusional.

Perahu partai telah pecah. Kini akan ada adu kuat. Johny Allen Marbun yang merupakan penggagas KLB dan terpilih menjadi Sekjen versi KLB menyatakan bahwa mereka yang sah. 

Argumentasinya jelas. Bahwa AD/ART Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan UU Partai Politik. UU Partai Politik lebih tinggi dari AD/ART Partai. Apakah ini mengindikasikan bahwa isi AD/ART Partai Demokrat ada yang bertentangan dengan isi UU Partai Politik? Ini tentu menarik untuk dikaji dan diikuti.

Dua kubu versi AHY dan versi KLB telah memasuki arena pertandingan, perseteruan dan bahkan peperangan. Apakah perang ini akan menjadi perang hidup mati atau akan ada kompromi dan rekonsiliasi? Ini juga menarik untuk diuji.

Kecenderungan mana yang lebih besar terjadi? Apakah perang hidup dan mati atau rekonsiliasi? Jika Partai Demokrat ingin melakukan perang hidup dan mati, maka inilah riwayat tamatnya Partai Demokrat. 

Namun, jika Partai Demokrat bisa menyelesaikan konflik ini dengan rekonsiliasi, maka kemungkinan besar pamor Partai Demokrat akan naik seiring keberhasilannya mencapai rekonsiliasi.

Menjelang Munas Partai Golkar Desember 2019, ada dua kubu yang bersaing dan hampir membuat partai Golkar pecah. Kubu Airlangga berhadapan dengan Kubu Bamsoet sangat keras dan tajam. 

Jika tidak ditemukan rekonsiliasi, maka Partai Golkar akan pecah dan suhu politik bangsa akan memanas dan akan mengganggu kehidupan politik bangsa.

 Kelompok Bamsoet pada waktu itu bahkan mengancam akan membuat partai baru. Jika itu terjadi, maka peta partai politik akan ramai dan berdampak kepada konstalasi politik di tanah air. 

Namun Golkar sebagai partai yang sudah dewasa dan matang tidak jadi pecah. Pertemuan di Kantor Luhut binsar panjaitan dengan dihadiri Aburizal Bakrie, Airlangga dan Bamsoet berdamai. Ada problem solver yang menengahi. Berhasil. Rekonsiliasi.

Dalam Munas tersebut, Bamsoet mengundurkan diri dari pencalonan. Apakah dia dibuang atau dipecat? Tidak. Airlangga sebagai formatur tunggal meminta kesediaan Bamsoet menjadi Wakil Ketua Umum. 

Oke, konsolidasi mantap, partai Golkar berjalan dengan baik. Airlangga aman di kementerian Perekonomian, Bamsoet tetap aman di jabatan Ketua MPR.

Kenapa Golkar bisa melakukan rekonsiliasi di tengah persaingan yang tajam menjelang Munas 2019 tersebut? Padahal sudah sempat partai mau pecah? Ada kedewasaan berpikir dan kematangan berorganisasi. 

Ditambah dengan hal penting, ada problem solver, yaitu Luhut Binsar panjaitan yang bisa mendamaikan Airlangga dan Bamsoet. Menjadi pemecah masalah dan akhirnya masalah selesai. Semua orang happy.

Partai Demokrat kini kisruh dan konflik. Partai Demokrat juga sekarang ini, jika mau selamat membutuhkan Problem Solver, pemecah masalah, bukan problem maker atau pembuat masalah. Siapakah figur yang bisa memecahkan masalah di partai Demokrat sekarang ini? Nyaris tidak ada atau kalau mau jujur mengatakan tidak ada.

Salah satu syarat yang bisa menjadi problem solver adalah, dia tidak boleh menjadi bagian dari problem. Inilah yang sulit dicari di Partai Demokrat. SBY, seandainya dia tidak menjadi bagian dari problem akan bisa memainkan peran sebagai problem solver tersebut. 

Namun sangat disayangkan bahwa SBY adalah bagian dari problem. Penempatan anaknya sebagai Ketum dengan sedikit pemaksaan menjadi faktor konflik dan problem. Posisinya sebagai Ketua Majelis Tinggi yang diciptakan mereka juga menjadi bagian dari problem tersebut.

Salah satu yang diputuskan dalam KLB adalah kembali ke AD/ART 2005 dan menghapus Majelis Tinggi. Kenapa harus dihapus? 

Alasannya adalah Majelis Tinggi bisa memberangus hak dari pemilik suara DPD dan DPC. Walaupun DPD dan DPC sudah sepakat, jika Majelis Tinggi tidak merestui, maka niat atau keputusan DPD dan DPC bisa digagalkan.

Dengan demikian Partai Demokrat tidak memiliki problem solver. Bahkan AHY dan SBY cenderung menjadi problem maker. Tindakan pemecatan terhadap tujuh kader senior menjadi salah satu masalah baru dalam tubuh Partai Demokrat. Pernyataan dan cuitannya yang menuding dan menuduh orang lain seperti Moeldoko juga menambah keriuhan dan persoalan di Partai Demokrat.

Nah pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana  Partai Demokrat menyelesaikan masalahnya tanpa ada problem solvernya? Apalagi kalau SBY dan AHY telah menjadi bagian dari problem tersebut dan bahkan pembuat masalah baru? Yah, mungkin saja tenggelam dalam lautan masalah mereka sendiri.

Mangkanya, Partai Demokrat harus mencari solusi dan problem solvernya sendiri. Kalau tidak bisa seorang figur, ya menciptakan kolektivitas atau kolega atau sebuah presidium. 

Membujuk Subur Budi Santoso, Ketua Umum pertama Partai Demokrat mungkin menjadi pertimbangan. Apakah kubu AHY dan kubu KLB mau berdamai ditengahi Subur Budhi Santoso? 

Jika mau, maka peluang rekonsiliasi mungkin akan tercapai. Jika tidak, maka siap-siaplah tenggelam dalam lautan masalah itu sendiri.

Salam hangat,
Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun