Air Susu Presiden Jokowi-SBY Â Dibalas Air Tuba Panglima Moeldoko-Gatot?
Air susu dan air tuba adalah dua air yang sangat bertentangan. Seharusnya dan sebaiknya air susu hendaklah dibalas dengan air susu, bukan air tuba. Perumpamaan tentang air susu dibalas dengan air tuba disematkan kepada orang yang menerima kebaikan, namun membalaskan ketidakbaikan.
Istilah ini sekarang ini seakan menyengat dan membahana lagi. Dialamatkan kepada Moeldoko mantan Panglima TNI yang diangkat ketika Presiden dijabat SBY. Juga hal ini dialamatkan kepada Gatot yang menjadi panglima TNI ketika Presiden dijabat Jokowi.
Jenderal (Purn) Moeldoko memang menjadi pusat sorotan sekarang. Kenekatannya untuk menembus tembok Partai Demokrat sampai KLB Sibolangit 2021 telah menjadi buah bibir dan topik politik terhangat. Isu kudeta berubah menjadi sebuah kerja nyata. Apakah dia terpengaruh gaya Jokowi yang harus kerja,kerja dan kerja, tak perduli apapun kata orang? Apakah ini mau mengulang sejarah perpolitikan dimana partai politik  harus dipimpin jenderal?
Apakah target Moeldoko untuk Partai Demokrat? Apakah dia benar mau maju sebagai Capres 2024 dan Partai Demokrat menjadi perahunya? Ataukah dia hanya mau menikam dan menusuk Partai Demokrat dari dalam agar tak berdaya pada tahun 2024? Apa untungnya kalau hanya sekedar menusuk dan menikam Partai Demokrat dari dalam? Apa sesungguhnya skenario dan tujuan pengambilalihan ini?
Tetapi sangat jelas, sikap dan perbuatan Moeldoko ini sangat mengejutkan dan mendukakan SBY sebagai mantan presiden dan pejabat yang mengangkat Moeldoko menjadi Panglima TNI. Moeldoko dianggap SBY sebagai orang yang pernah dipercayakan menjadi pejabat di era SBY sebagai anak durhaka. Air susu kok dibalas dengan air tuba?
SBY sampai minta ampun kepada Tuhan karena kesalahannya pernah mempercayakan dan mengangkat Moeldoko sebagai  Panglima TNI. Bisa dibayangkan kalau sampai SBY menyesal mengangkat Moeldoko sebagai Panglima TNI dan minta ampun kepada Tuhan? Walaupun penyesalan selalu datang terlambat, tindakan yang terlambat itupun dilakukan SBY. Menyesal.
Lain lagi cerita tentang Gatot dan Jokowi. Jenderal (Purn) Gatot diangkat menjadi Panglima TNI tatkala Presidennya adalah Jokowi. Ini adalah salah satu hak prerogatif presiden sebagai kepala negara. Gatot memang diberhentikan ketika dia masih jenderal aktif. Biasanya memang Panglima TNI dijabat jenderal sampai pensiun. Tetapi tidak ada aturan yang mengatakan bahwa panglima TNI harus dijabat jenderal sampai pensiun. Sekali lagi, itu adalah hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara. Apakah masa jabatannya setahun atau dua tahun atau tiga tahun.
Kenapa pemberhentian sebelum pensiun menjadi persoalan? Inilah uniknya Indonesia itu. Hak prerogatif presiden, tetapi seakan harus sesuai dengan selera pejabat yang diangkat. Mana hak prerogatif lagi namanya itu? Sama halnya dengan mengangkat menteri sebagai pembantu presiden. Â
Katanya hak prerogatif presiden. Tetapi banyak yang mencampuri, mempengaruhi bahkan memaksa presiden untuk memilih orang tertentu atau dari partai tertentu. Bahkan ada partai yang seakan mematok harus menjadi menteri di kementerian tertentu. Seakan kementerian itu sudah menjadi jatah tetap partai tersebut.
Suka tidak suka, hal itu menjadi sebuah realitas. Demikianlah Gatot mengembangkan playing victim. Dia seakan dizolimi presiden dengan memberhentikannya sebelum pensiun militer. Dan dia melakukan akrobat politik. Membentuk sebuah jaringan relawan  yang ada di seluruh nusantara. Berharap ada partai politik yang akan mengusungnya dalam Pilpres 2019. Namun segala akrobat dan upaya tersebut kandas, bagaikan kapal yang kandas di batu karang. Tak laku jualannya. Apa daya?
Tak berhasil dengan Pilpres 2019 dengan cara yang baik dan konstitusional, dicobalah jalur penyelamatan bangsa melalui KAMI. Dia menjadi salah satu anggota Presidium KAMI. Berkeliling nusantara untuk mendeklarasikan KAMI. Mendapat hambatan di berbagai tempat, tak diperdulikan. Misalnya di Jawa Timur, oleh Kapolda disuruh turun dari panggung. Di Jambi juga demikian. Di berbagai tempat mendapat hambatan, namun terus berjalan.
Beberapa pentolan KAMI ditangkap. Sang Habib yang pulang sempat memberi harapan untuk memperjuangkan para pentolan KAMI yang ditangkap. Sempat dilontarkan tawaran rekonsiliasi dengan Presiden Jokowi dengan syarat semua pentolan KAMI yang ditahan harus dibebaskan. Gatot yang mantan panglima TNI seakan tidak dianggap Polri. Gagal membebaskan pentolan KAMI. Bahkan ormas sang habib juga menjadi terlarang. Gelap dan suram.
Apa yang dilakukan Gatot ini mungkin juga membuat hati Jokowi sedih. Mungkinkah Jokowi juga menyesal mengangkat Gatot menjadi Panglima TNI? Tidak ada pernyataan resmi Jokowi seperti SBY yang mengeluh dan menyesal lewat pernyataan dan cuitannya. Apakah Jokowi juga menganggap bahwa dia memberikan air susu ke Gatot, tetapi dibalas dengan air tuba dari Gatot? Sulit ditebak, karena tidak ada pernyataan terbuka.
Padahal melihat fakta persidangan pentolan KAMI, terungkap sebuah rencana pemakzulan Jokowi dengan membentuk Tim Kecil yang akan menghadap ke istana untuk memaksa Jokowi mundur, jika demo melahirkan kerusuhan. Gaya Supersemar memaksa Soekarno mundur dari jabatan Presiden. Sayangnya  usaha tersebut gagal.
Hasil kudeta memang berbeda. Rencana pemakzulan dan pemaksaan Jokowi mundur gagal total. Demo dan aksi bisa dikendalikan. Tidak berlanjut kerusuhan, bahkan pentolan KAMI yang ditangkap dan kini disidangkan. Sementara Moeldoko dengan isu kudeta Partai Demokrat berjalan seakan sim salabim. Belum sempat tiba di lokasi KLB, Moeldoko sudah terpilih Ketum PD versi KLB.
Kenapa Jokowi bisa menggagalkan pemakzulan atau kudeta terselubung yang ingin dilakukan untuk memaksa dirinya mundur dari jabatan Presiden. Jokowi tidak ribut, tetapi berbuat. Perhitungannya seksama dan akurat. Jalan keluar atau solusi dirancang dan dibuat untuk mencegah pemakzulan. Walau akhirnya dia marah, memerintahkan POLRI TNI untuk bertindak. Kapolda diganti. Pangdam Jaya bergerak menurunkan baliho, maka tamatlah riwayat rencana pemakzulan.
SBY dengan playing victimnya menghiba dan menduga. Lalu menuding Moeldoko dan membuat surat ke Presiden Jokowi. SBY tidak sabar kalau hanya AHY yang memberikan pernyataan. Bahkan kesannya Ketum AHY hanya sebagai pion, lalu dilanjutkan dengan Ketua Majelis Tinggi. Menuduh kader senior dan para pendiri berkonspirasi. Bukan hanya menuduh, malah memecat 7 orang kader senior.
Ternyata perpaduan kader dipecat dan tudingan ke Moeldoko berbuah KLB. Moeldoko seakan tak perduli dengan tudingan, tuduhan dan apapun kata orang. Kalap dan membabi buta. KLB terjadi, dan dia terpilih. Tragedi politik terjadi lagi. Konflik dan pecahnya partai terjadi lagi. Demokrat terbelah. Moeldoko melakukan tindakan yang dianggap sebagai tindakan yang tidak tahu berterima kasih. Air susu dibalas dengan air tuba?
Kita sangat prihatin dengan kondisi ini. Moeldoko dan Gatot yang tidak membalas kebaikan presiden yang mengangkatnya sebagai panglima TNI. Mungkin patut disesali. Tetapi sudah terjadi. Semoga semua pihak bisa mengambil hikmah dari kejadian ini. Namun perlu diingat, sebaik-baik orang tua mendidik anak, selalu ada anak yang nakal, bandal bahkan durhaka. Kita anggaplah itu yang terjadi di dalam keluarga kita, Negara Indonesia. Â Sang orang tua bijaksanalah menghadapi anak nakal, bandal dan durhaka tersebut.
Untuk para orang tua, jangan pernah menuduh, menuding dan mempermalukan anak di depan umum. Ajarlah dia di rumah dan jika perlu di kamar tersembunyi. Hukuman perlu, tetapi jangan diumbar ke luar rumah. Sang anak, janganlah menjadi anak nakal, bandal apalagi durhaka. Kalau orang tuamu salah, berikan masukan di rumah atau di kamar tersembunyi. Orang tua harus dihormati bukan untuk dilawan, apalagi dikudeta, itu kualat namanya.
Salam hangat.
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H