Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jepang di Bulan Februari, dari Mori, Hashimoto, Sakamoto hingga Naomi Osaka

20 Februari 2021   19:11 Diperbarui: 20 Februari 2021   19:19 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jepang Di Pebruari, Dari Mori, Hashimoto, Sakamoto hingga ke Naomi Osaka.

Bulan Pebruari ini banyak yang menarik dari Jepang. Berita tentang Jepang sangat menarik dan penuh kontroversial. Mulai dari pengunduruan diri Yoshiro Mori sebagai Ketua Umum Olimpiade Jepang yang akan digelar bulan Juli 2021 ini. Disusul lagi terpilihnya Seiko Hashimoto menggantikan Yoshiro Mori. Lalu Perdana Menteri Jepang Yoshihide mengangkat Tetsushi Sakamoto menjadi Menteri Kesepian. Dan baru beberapa menit yang lalu, Naomi Osaka menjuarai Grand Slam Australia Terbuka.

Yoshiro Mori.

Ketua Umum Olimpiade Jepang Yoshiro Mori yang berumur 83 tahun mengundurkan diri pada tanggal 12 Pebruari 2021. Ini bisa dianggap sepele, tapi masalahnya menjadi bertele-tele. Hanya karena pernyataan yang seksis menuai protes global.

Mori mengatakan, keterlibatan banyak perempuan bisa memakan waktu karena semua akan meminta kesempatan bicara. Tidak salah ucapannya, mungkin, karena memang dimana-mana permpuan selalu ingin bicara. Mereka dua kali lipat berbicaranya dari laki-laki. Itu sih soal biasa.

Jika kita mengucapkan hal itu, apalagi di Indonesia, entah siapapun yang mengatakannya, belum tentu menjadi masalah. Hanya saja ini diucapkan di Jepang dan oleh seorang Ketua Umum Olimpiade Jepang. Makanya terjadi protes keras. Kalau protes keras seperti itu terjadi di Indonesia, belum tentu Ketua Umum mau mengundurkan diri.  Tapi karena kejadian itu terjadi di Jepang, maka dia harus mengundurkan diri.  Yoshiro Mori minta maaf dan mengundurkan diri.

Seiko Hashimoto.

Seiko Hashimoto, seorang Menteri Olimpiade dalam kabinet Jepang. Dia ditunjuk menjadi Ketua Umum Olimpiade Jepang menggantikan  Yoshiro Mori. Dia mundur dari jabatanya sebagai Menteri Olimpiade. Tidak boleh ada jabatan rangkap yang mungkin akan membawa konflik kepentingan.

Ini juga harus terjadi, karena kejadiannya di Jepang. Tidak boleh Menteri Olimpiade merangkap Ketua Umum Olimpiade. Jadi harus memilih. Dia memilih mundur dari Menteri Olimpiade menjadi Ketua Umum Olimpiade Jepang.

Coba kita bayangkan kalau ini terjadi di Indonesia. Belum tentu mundur dari jabatannya. Presiden dan atau wakil presiden dan menteri disini biasa rangkap jabatan. Kalau di awal pemerintahan periode pertama Jokowi melarang jabatan rangkap, namun ketika Airlangga sebagai menteri terpilih menjadi Ketua Umum Golkar tidak menjadi masalah. Era sebelumnya juga Jusuf Kalla merangkap sebagai Wakil Presiden dan Ketua Umum Golkar di era SBY menjadi presiden tidak masalah.

Tetsushi Sakamoto.

Perdana Menteri Jepang mengangkat Tetsushi Sakamoto menjadi Menteri Kesepian. Sakamoto akan mengurusi kementerian yang mengatasi kesepian dan isolasi yang menjadi semakin umum di Jepang selama masa pandemi ini. Angka bunuh diri tinggi di Jepang.

Di antara kasus bunuh diri tersebut jumlah mayoritasnya adalah wanita dan kaum muda sebagaimana dilansir World of Buzz, Jumat 19/2/2021 (Kompas.com, 19 Pebruari 2021).

Peneliti berpendapat, banyaknya wanita yang bunuh diri selama pandemi ini dikarenakan wanita cenderung lebih banyak bekerja di sektor ritel dan jasa. Sehingga saat pandemi seperti ini, mereka kehilangan pekerjaan dan menjadi depresi.

Inipun bisa terjadi karena di Jepang. Kalau di Indonesia seperti ini terjadi? Mau ada yang bunuh diri karena PHK, atau ada yang kesepian dan stress, itu urusan pribadi. Bukan urusan negara. Urusan bunuh diri, isolasi dan PHK itu adalah ranah pribadi. Membayangkan ada Menteri Kesepian di Indonesia? Sulit. Membayangkan saja sudah sulit, apalagi menjadi kenyataan. Itu hanya ada di Jepang sono.

Naomi Osaka.

Petenis wanita Jepang yang satu ini baru saja memenangkan Grand Slam Australia Terbuka. Dia mengalahkan petenis Amerika Serikat Jennifer Brady langsung dua set, 6-4 dan 6-3. Dengan senyum kebanggaan dia menaiki podium mengambil pialanya.

Dalam sambutannya, dia memuji lawannya di final Jennifer Brady dan timnya. Bayangkan Naomi Osaka memuji lawan yang dikalahkannya di final. Bukan hanya petenisnya, juga tim lawannya. Sebelumnya juga Jennifer Brady memuji Naomi Osaka. Baru saja mereka bertarung mati-matian untuk saling mengalahkan, namun sesudah selesai, mereka saling memuji. Luar biasa.

Coba bayangkan kalau itu terjadi di Indonesia. Yang kalah Pilpres saja tidak mau mengakui kekalahannya. 

Bahkan mengumumkan dia yang menang. Menggugat lagi ke MK. Kalah di MK. Dilantik lawannya yang menang. Diajak masuk kabinet, mau juga. Alasannya rekonsiliasi. Itulah uniknya Indonesia.

Naomi Osaka dan Jennifer Brady tidak ada isitilah rekonsiliasi. Mereka habis bertanding, selesai urusan. Tidak ada dendam, tidak ada gugat menggugat sebagai pemenang. 

Terima hadiah, langsung saling memuji. Mungin karena Naomi Osaka adalah orang Jepang? Bisa juga. Semua kita   memilki nilai dan semangat bahwa yang kalah tidak harus diejek. 

Pemenang juga tidak harus sombong. Yang terbaiklah yang menjadi juara. Apalagi sesama atlit professional. Naomi Osaka menghayati dan mengamalkan nilai dan sikap itu.

Pengunduran diri Yoshiro Mori akibat kesalahan pernyataan seksisnya menjadi nilai tersendiri untuk kita simak dan pelajarinya. Dia meminta maaf dan mengundurkan diri. Elegan. Tidak bertahan dengan kesalahannya sendiri.

Seiko Hashimoto yang menerima jabatan sebagai Ketua Umum Olimpiade Jepang dengan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Olimpiade patut disimak dan ditiru juga. Tidak mau menjabat rangkap untuk menjaga konflik kepentingan.

Tetsushi Sakamoto yang berlatar belakang politikus menerima diangkat menjadi Menteri Kesepian. Politikus yang biasa bermain dalam kancah politik harus segera mengurusi kementerian yang mengurus dan mengatasi kesepian dan isolasi. Menekan angka bunuh diri.

Naomi Osaka yang dengan jerih payah profesionalnya menjuarai Grand Slam Australia Terbuka 2021 mengulang suksesnya juara Australia Terbuka 2019 di podium kebanggaannya memuji lawan yang dikalahkannya di final. 

Juga memuji Tim lawannya. Kerendahan hati dan profesionalismenya membangun nilai persahabatan dengan saling memuji di podium yang megah dan menjadi tontonan di seluruh dunia. Contoh dan teladan yang baik.

Sebagai sebuah bangsa yang menginginkan kemajuan, patutlah kita sesungguhnya belajar dan memetik nilai dan contoh perbuatan yang baik dari siapapun dan bangsa manapun. 

Di bulan Pebruari ini, Jepang menunjukkan beberapa kejadian sebagaimana kami tuliskan diatas, tidak ada salahnya kita simak dan mengambil nilai kebaikannya.

Harapan kita, kini dan kelak, kita juga akan bisa menunjukkan kebanggaan dan kebesaran kita yang menjadi pelajaran bagi bangsa lain. Termasuk mimpi kita akan ada petenis kita seperti Naomi Osaka yang akan menjuarai Grand Slam Australia Terbuka atau kejuaraan manapun. Semoga.

Salam hangat.

Aldentua Siringoringo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun