Wajah Pendidikan, Kekurangan Guru Di Tengah Perkembangan Kecerdasan Buatan.
Ketika kasus guru honorer yang dipecat menjadi viral, tiba-tiba kita seakan tersadar untuk melihat wajah pendidikan kita. Berbagai persoalan seperti UN yang akan disetop Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mas Menteri Nadiem. Lalu muncul tes semacam PISA Programme for International Student Assesment). Â Tes pengujian dengan objeknya adalah anak sekolah berusia rata-rata 15 tahun. Kita tertinggal jauh dalam tes tersebut.
Kekurangan guru di Indonesia cukup fantastik. Data Kemendikbud tahun 2020 kekurangan guru sejumlah 1.020.921. Guru yang pensiun 72.976. Tahun 2021, kekurangan guru 1.90.678 dan guru yang pensiun. Kekurangan guru 2022 sejumlah 1.167.802, tahun 2023 kekurangannya 1.242.997 dan pada tahun 2024 kekurangannya 1.312.759. Hal ini diungkapkan Direktur Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Praptono (CNNIndonesia,06/10/2020).
Bagaimanakah kita berbicara tentang perkembangan pendidikan dan mengejar ketertinggalan pendidikan dengan kondisi kekurangan guru tersebut. Apakah angka kekurangan guru kita ini cukup signifikan? Mari kita lihat lagi lebih jauh. Jumlah guru kita 3.168.293 mengajar di 434.483. Jumlah siswa 52.543.935. Rata-rata 1 guru mengajar 16-17 orang siswa.
Dari jumlah guru 3.168.293, kekurangannya di atas satu juta. Kurang lebih sepertiga kekurangannya. Itulah yang kita prihatinkan. Sementara jumlah guru honorer mencapai sekitar delapan ratus ribu orang. Kegagalan kita membuat kebijakan yang bisa menyelaraskan antara kekurangan guru dengan keberadaan guru honorer saja membuat wajah pendidikan kita masih buram.
Dengan kondisi wajah pendidikan kita, bagaimana kita mau mewujudkan salah satu tujuan negara kita yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyebut "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" yang menjadi amanat konstitusi? Kapankah kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa dengan wajah pendidikan kita yang masih kekurangan guru? Kita masih berkutat dalam wacana pro kontra UN dan masalah guru honorer. Mutar-mutar dan bolak-balik seperti arus listrik.
Dunia kita sekarang ini sudah diwarnai dengan temuan dan pengembangan kecerdasan buatan. Perkembangan teknologi robot dan berbagai aplikasi yang membuat kecerdasan buatan telah menghiasi dunia kita masa kini. Era digitalisasi dan ruang digital dengan media sosial yang begitu radikal-dinamis perkembangannya semakin menguak ketertinggalan pendidikan kita.
Bagaimana bangsa kita akan bisa berperan dalam perkembangan ilmu dan teknologi kecerdasan buatan, sementara kekurangan guru sampai 2024 masih diatas satu juta? Bagaimana kita mau bercerita kecerdasan buatan, kecerdasan yang alami dan standard dengan guru saja kita masih kesulitan.
Hal ini, misalnya bisa kita lihat ketika masa Pandemi Covid-19 ini. Ketika vaksinasi dengan vaksin impor sudah kita mulai, vaksin merah putih dan vaksin Nusantara baru masuk tahap penelitian. Kita selalu tertinggal. Kapan vaksin merah putih dan vaksin Nusantara ini akan selesai diteliti dan akan dikembangkan? Mungkin setelah vaksinasi kita selesai dengan vaksinasi kepada penduduk sejumlah 182 juta penduduk dan sudah tercapai kekebalan komunal.
Lalu untuk apa dikembangkan vaksin merah putih dan vaksin Nusantara, jika Pandemi Covid-19 sudah bisa diatasi dan sudah tercapai kekebalan komunal itu? Semua pasti ada gunanya. Kalaupun tidak mengatasi Pandemi Covid-19, nanti kan bisa dimuat di jurnal dan sebagai kenangan dimasukkan di museum. Di museum itu kita buat kisahnya, bahwa kita pernah membuat vaksin merah putih dan vaksin Nusantara. Miris ya.
Ilustrasinya ibarat seorang yang sedang kelaparan dan minta makan kepada ibunya. Jika dia tidak diberi makan. Si anak yang kelaparan pergi ke luar rumah atau warung untuk makan. Setelah selesai dia makan dan pulang ke rumah barulah masakan ibunya tersedia. Dia tidak makan lagi masakan ibunya. Karena si anak sudah menghabiskan uang yang dimilikinya untuk makan di warung. Uangnya habis, makanan di rumah menjadi sia-sia. Keterlambatan melahirkan ongkos dan kesia-siaan.