Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Revisi Kesadaran Hukum yang Urgen, Bukan Revisi UU ITE

17 Februari 2021   07:56 Diperbarui: 17 Februari 2021   08:00 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revisi Kesadaran Hukum Yang Urgen, Bukan Revisi UU ITE.

Pernyataan Presiden Jokowi tentang revisi UU ITE mendapat perhatian dan diskursus yang hangat.  UU ITE yang dianggap memiliki pasal karet yang bisa digunakan pemerintah untuk membungkam para pengritik seakan mendapat angin segar untuk melepaskan dari tuduhan pasal karet tersebut.

Pertanyaan kritisnya adalah, apakah benar UU ITE sumber ketidak adilannya? Apakah pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE yang sering digunakan pemerintah untuk membungkam orang yang memberikan kritik kepada pemerintah? Mari kita simak pernyataan presiden yang mengawali dengan kata 'kalau'.

   "Kalau Undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-undang ini," kata Presiden Jokowi dalam Pengarahan kepada peserta Rapim TNI-Polri di channel YouTube Sekretariat Presiden 15 Pebruari 2021.

Sebelumnya Presiden menjelaskan bahwa TNI-Polri harus mendisiplinkan masarakat dengan protokol kesehatan 3 M dan 3 T. Juga menegaskan perlunya TNI Polri menjaga stabilitas politik dan keamanan serta ketertiban. Menghormati demokrasi dan membuat kepastian hukum yang seadil-adilnya.

Sesudah pernyataan itulah disebutkan masalah UU ITE. Dengan UU ITE semakin banyak warga yang saling melaporkan dengan menggunakan UU ITE. Presiden memahami bahwa UU ITE yang dibuat tahun 2008 di era SBY menjadi presiden agar masyarakat digital kita sehat, agar bersih, agar beretika, dan penuh sopan santun. Namun dalam implementasinya seringkali terjadi multi tafsir yang mengakibatkan masalah tersendiri.

Lalu kita bertanya, apakah UU ITE ini yang menjadi sumber ketidak adilan itu? Apakah jika warga yang merasa dirugikan boleh melaporkan orang yang diduga telah melakukan pencemaran nama baik atau penghinaan atau berita bohong terhadap dirinya atau kelompoknya?

Apakah betul seperti yang disampaikan Presiden Jokowi masalahnya adalah dalam implementasi UU ITE yang sering multi tafsir? Semua pihak bisa berpendapat dan bisa berbeda pendapat juga tentang hal ini. Tetapi sesungguhnya, apakah keberatan masyarakat, termasuk yang menamakan dirinya dalam kelompok oposisi kepada pemerintah agar UU ITE ini direvisi? Yang mana yang perlu direvisi? UU ITE? Implementasi? Atau dibumihanguskan UU ITE ini?

Akar masalahnya bukan di UU ITE ini. Baik isi dan implementasinya. UU ITE ini dibuat untuk menjaga ruang digital kita menjadi bersih, agar sehat, agar beretika dan penuh sopan santun, tata krama dan produktif.

Bagaimana dulu kasus Saracen dan berbagai kasus yang membuat isu SARA dalam Pilkada dan Pilpres yang menghiasi ruang digital kita menjadi kotor, jorok dan sangat menjijikkan. Saling memaki, mencaci dan dipenuhi ujaran kebencian. Politisasi agama dan berbagai ragam.  Inilah yang mau ditertibkan dengan UU ITE ini.

Demokrasi, yang sering dibuat sebagai tameng untuk melakukan segala hal sebebas-bebasnya adalah salah kaprah. Kebebasan berpendapat  sering dipakai untuk sebebas-bebasnya memaki dan mencaci serta menyampaikan ujaran kebencian di ruang digital kita. Itukah demokrasi dan kebebasan berpendapat yang kita anut di negeri ini? Bukan.

Kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 1945 jelas sekali memberikan hak kebebasan berserikat dan berpendapat, tetapi dengan syarat tidak mengganggu kebebasan orang lain. Kebebasan yang bertanggung jawab. Batasannya adalah tidak boleh melanggar hukum dan kebebasan orang lain.

Akibat reformasi dan kejatuhan Orde Baru yang dianggap mengekang kebebasan berserikat dan berpendapat, masyarakat kita eforia tentang kebebasan berpendapat ini. Bagaikan kuda liar yang lama terkekang dan terpenjara, begitu lepas ingin berlari dan tidak perduli menginjak siapa dan menendang siapa. Yang penting berlari sesukanya dan menendang siapa sesukanya. Kebebasan yang sebebas-bebasnya. Itulah gambaran masyarakat kita di ruang digital pasca reformasi.

Akibat keadaan itu adalah anakhis. Orang yang ingin sebebas-bebasnya akan melahirkan anarkhisme. Negara demokrasi hanya bisa berjalan, jika  kesadaran hukum tinggi. Untuk melahirkan kesadaran hukum, perlu penegakan hukum yang tegas, lugas dan tidak pandang bulu. Jika penegakan hukum lemah, maka anarkhisme itu akan berkembang. Itu akan mengundang otoriterisme dan diktatorisme. Lihat Myanmar. Junta militer selalu mengintip demokrasi yang terlalu bebas.

Itulah tontonan kita selama ini. Bisa demo berjilid-jilid, bisa menggunakan isu agama dalam Pilkada dan Pilpres. Kapal negara seakan akan karam. Jika ada ulama yang kerjanya memaki dan mengucapkan kebencian ditangkap. Pemerintah dituduh melakukan kriminalisasi ulama. Padahal ucapan dan tindakannya yang membuat dia dipanggil dan diperiksa polisi. Apakah kalau sudah memiliki status ulama boleh memaki dan mencaci seenak perutnya di ruang digital dan dalam demo?  Ingat, Tuhan tidak suka kalau ulama berkata kasar dan menghasut.

Kebebasan berpendapat harus diringi dengan kesadaran hukum dan tanggung jawab kepada kebebasan orang lain. Itulah pentingnya rambu-rambu hukum untuk memberikan batasan. Tujuan hukum adalah adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Hukum harus bisa menjaga ketertiban masyarakat. Untuk itulah hukum itu ada.

Hukum dan tujuan hukum harus dipahami setiap anggota masyarakat dan pemerintah juga. Kesadaran hukum masyarakat harus tumbuh kuat untuk bisa hidup dalam negara demokrasi yang sehat. Ruang digital harus dijaga dan dibatasi hukum. Semua ada batasnya, termasuk kebebasan berpendapat. Hukum publik itu sifatnya memaksa. Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang sifatnya memaksa.

Masalah kita bukan  UU ITE dan implementasinya. Jadi bukan UU ITE yang perlu direvisi. Kesadaran hukum kita yang lemah dan ingin kebebasan yang sebebas-bebasnya yang perlu direvisi. Baik kesadaran hukum masyarakat maupun kesadaran hukum para penegak hukum. Penegakan hukum yang tegas, lugas dan adil menjadi sebuah kebutuhan dalam situasi masyarakat yang ingin hidup berdampingan dalam masyarakat. Jangan dipengaruhi kepentingan politik. Harus adil. Tugas hukum yang  menjaga ketertiban masyarakat yang harus ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Kepentingan hukum, bukan kepentingan penegak hukumnya.

Meminjam istilah Presiden Jokowi dengan kata 'kalau'. Kalau UU ITE ini direvisi, apakah persoalan menjadi selesai? Selesai apanya? Apakah masyarakat dan warga bisa lagi secara leluasa melakukan pencemaran nama baik orang lain, menghina atau memfitnah? Bisa melakukan kritik tanpa batas ke pemrintah? Belum tentu. Kenapa?

Sesungguhnya pasal-pasal yang ada di UU ITE tentang pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah, hoaks atau kabar bohong hanyalah kutipan atau mengambil dari UU no 1 tahun 1946 yang kita kenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 310-315 KUHP membahas tentang pencemaran nama baik, fitnah , penghinaan dan penyebarluasan berita bohong. Lengkap diatur di dalam pasal tersebut. Kenapa penyusun UU ITE memuat itu, tentu ada dasar dan pertimbangannya.

Sesungguhnya hal itu tidak diperlukan. Cukup mengacu kepada KUHP. Namun karena para penyusun RUU di DPR dan pemerintah sering melanggar prinsip-prinsip penyusunan legal draft baik menyangkut prinsip dan isi, yah jadinya begitu. Bisa kita lihat sebuah Peraturan pemerintah seperti UU. 

Padahal PP itu adalah aturan pelaksanaan UU. Tidak taat asas dalam penyusunan perundang-undangan membawa akibat terjadinya duplikasi hukum dan salah tempat. Namun seakan tidak lengkap sebuah Undang-undang kalau tidak dibuat dengan sanksi pidananya. Padahal seharusnya tidak perlu demikian. Bisa mengacu kepada KUHP saja sudah cukup.

Nah, kalau UU ITE ini direvisi atau dihilangkan, bagaimana dengan kasus pencemaran, fitnah, penghinaan dan hoaks yang diatur di dalamnya? Ya, kembali ke Pasal 310-315 KUHP tadi. Jadi masalah kita bukan di Revisi UU ITE. Jika UU ITE direvisi atau dihapus, pasal 310-315 KUHP menanti anda untuk dihukum juga.

Kesadaran hukum kitalah yang mutlak harus kita revisi. Revitalisai Kesadaran hukum yang penting, bukan revisi UU ITE. Menempatkan kebebasan berpendapat harus pas. Kita tidak menganut demokrasi yang sebebas-bebasnya. Kita menganut demokrasi Pancasila yang bertanggung jawab. Kebebasan yang bertanggung jawab. Gunakan hak dan kebebasan berpendapat, tapi harus sadar hukum dan menghormati hukum.

Jika menggunakan kebebasan tanpa menghormati hukum, maka anda akan berhadapan dengan hukum, dan anda harus siap dihukum. Bukan pemerintah atau penguasa yang menghukum, tapi hukum itu sendiri yang menhukum melalui aparatur penegak hukum tentunya. Aparat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan korupsi juga dihukum. Jadi masyarakat yang menyalahgunakan kebebasan berpendapatnya juga bisa dihukum. Semua sama dihadapan hukum. Equality before the law.

Ayo menggunakan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab sekaligus memiliki kesadaran hukum untuk menghormati hukum. Kalau begitu keadaannya, maka ruang digital kita akan bersih, sehat, beretika, penuh sopan santun, tata krama dan produktif. Indah sekali ya. Semoga.

Salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun