Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Serentak Itu 2024, Bukan 2022! Kecuali...

6 Februari 2021   20:03 Diperbarui: 6 Februari 2021   20:17 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana tentang Pilkada Serentak telah memnuhi debat publik dan media kita. Para pakar dan pengamat politik mengumbar pendapat dan argumentasi. Ada yang mengatakan Pilkada Serentak tahun 2022 ditunda pemerintah adalah untuk menjegal Anies. Ada yang mengatakan Jokowi ada agenda sehingga menunda Pilkada Serentak 2022 ke tahun 2024. Dan masih banyak lagi komentar pakar dengan segala kepentingannya.

Terkadang lucu juga mendengar dan mengamati perbedaan pendapat dan wacana tersebut. Beda pendapat sih boleh-boleh saja. Dan sah-sah saja. Namun kalau sampai melakukan plintir dan membalikkan fakta serta aturan yang sudah ada, kita patut prihatin. Mengajukan jagoannya, itu oke. Namun perlu memahami aturan dan Undang-undang yang berlaku menjadi sangat penting.

Pilkada Serentak itu akan dilakukan pada bulan Nopember 2024. Bukan tahun 2022. Lho, kenapa bisa begitu? Aturan hukum atau Undang-undang yang sudah ditetapkan di dalam UU no 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU no 1 tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang yang menetapkannya tahun 2024.

Dalam pasal 201 UU no 10 tahun 2016 tersebut dalam ayat 8 dan 9 diatur seperti ini.

Ayat (8): Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan Nopember 2024.

Ayat (9): Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana diatur dalam ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional tahun 2024.

Pasal 201 UU no 10 ini masih berlaku sampai sekarang sebagai hukum positif di Indonesia. Dan perlu dicatat dan diingat bahwa Pilkada serentak yang dilakukan pada tahun 2017, 2018 dan 2020 yang lalu adalah pelaksanaan dari UU no 10 tahun 2016 tersebut yang diatur dalam pasal 201 ayat (1) sampai ayat (7) serta pasal-pasal lain dalam UU no 10 tahun 2016 tersebut. Jadi UU no 10 tahun 2016 inilah dasar hukum dan payung hukum pelaksanaan Pilkada Serentak tersebut.

Jika Pilkada Serentak 2017, 2018 dan 2020 berdasarkan UU no 10 tahun 2016 ini, kenapa untuk Pilkada Serentak 2024 yang diatur pasal 201  ayat (8) dan ayat (9) ini tiba-tiba mau diubah di tengah jalan dan seakan-akan Pilkada Serentak selanjutnya adalah tahun 2022 dan 2023?

Wacana dan isu Pilkada Serentak 2022 dan 2023 hanyalah atau masih sebatas usulan dari DPR yang akan mengajukan Revisi UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dan harus dicatat pula ini. DPR menggunakan hak inisiatif untuk Revisi UU Pemilu tahun 2017. Bukan Revisi UU no 10 tahun 2016. Hanya alasannya, bahwa Pilkada mau disatukan dengan UU Pemilu.

Disini muncul kerancuan pola pikir DPR yang mengajukan Pilkada disatukan ke UU Pemilu. Pilkada bukan termasuk rezim pemilu. Bagaimana mungkin menyatukannya dengan sim salabim ala DPR sekarang? Dari sudut anggaran juga berbeda. Pemilu dibiayai APBN, Pilkada dibiayai oleh APBD. Memadukan Pemilu dan Pilkada yang berbeda rezim dan anggaran terlalu disederhanakan oleh DPR sekarang yang mengajukan inisiatif Revisi UU Pemilu. Sekali lagi revisi  UU Pemilu, bukan UU tentang Pilkada sebagaimana diatur dalam UU no 10 tahun 2016 tersebut. UU Pilkada mau dileburkan ke UU Pemilu? Wow, luar biasa idenya, namun sulit menggabungkannya.

Bagaimana menggabungkan dua rezim UU yang berbeda  menjadi satu. Apa dasar, alasan dan argumentasinya? Apakah sudah didasari dengan sebuah kajian ketatanegaraan dan legal draft yang benar, sehingga DPR dengan gagah berani mengajukan ini? Naskah akademisnya sudah adakah? Memang Fraksi di DPR belum sepakat.

PDIP, PKB, PPP dan Gerindra memang sepakat tidak setuju revisi UU Pemilu dan apalagi mempercepat Pilkada Serentak menjadi 2022 dan 2023. Terakhir, Partai Nasdem yang getol ingin merubah UU Pemilu dan Pilkada Serentak ke 2022 dan 2023 kini berubah.

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menginstruksikan partainya di DPR untuk tidak melanjutkan Revisi UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Selain tak melanjutkan Revisi UU Pemilu, Paloh juga menginstruksikan jajarannya mendukung Pilkada Serentak 2024.

"Cita-cita dan tugas Nasdem adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kepentingan dan masa depan bangsa yang lebih baik," kata Surya Paloh dalam keterangan tertulis Jumat, 5 Pebruari 2021. (Tempo.Co, 6 Pebruari 2021)

Dengan perubahan sikap Partai Nasdem tersebut, maka kemungkinan besar revisi UU Pemilu ini sulit dilaksanakan. Apalagi untuk menggabungkan Pilkada ke dalam rezim Pemilu bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan pengkajian yang mendalam.

Kita sangat setuju bahwa Pilkada Serentak 2024 tidak diubah atau dipercepat ke tahun 2022 dan 2023. Ada beberapa  hal penting yang menjadi pertimbangannya.

Pertama, bangsa kita sedang menghadapi pandemi Covid-19. Vaksinasi sedang berjalan sampai dengan tahun 2022. Oleh karena itu biarkanlah bangsa ini fokus menghadapi masalah ini dan bisa menjalankan vaksinasi dengan baik.

Kedua, jika pilkada serentak dilakukan pada tahun 2022 dan 2023, maka polarisasi dan keterbelahan masyarakat akan mempengaruhi kita untuk melakukan vaksinasi ini. Tidak ada Pilkada juga masih banyak yang menolak vaksinasi dengan berbagai alasan. Apalagi dengan Pilkada yang kemungkinan bisa membelah masyarakat.

Ketiga, jika Pilkada dilakukan pada tahun 2022 dan 2023, maka anggaran untuk menjalankannya harus dipikirkan. Padahal sekarang pemerintah sedang melakukan realokasi anggaran untuk memprioritaskan penanganan Pandemi Covid-19.

Keempat, jika Pilkada serentak dilakukan pada tahun 2022 dan 2023, yang pada masa tersebut diharapkan akan dilakukan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pasca vaksinasi, maka PEN tersebut juga akan terganggu.

Memang, kekhawatiran akan ada kevakuman dan kurang baiknya para Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walokota untuk menjalankan tugas pemerintahan di tahun 2022 dan 2023 sebagaimana diatur dalam UU no 10 tahun 2016 tersebut. Namun hal ini akan  bisa diatasi sebagaimana diatur dalam pasal 201 ayat (9) UU tersebut .

Biarkanlah UU no 10 tahun 2016 dijalankan sampai selesai mulai dari Pilkada 2017, 2018, 2020 dan pilkada serentak 2024 sebagaimana diatur dalam pasal 201 ayat (8) dan (9) tersebut. Jadi Pilkada serentak itu dilakukan pada bulan November 2024, bukan 2022. Kecuali. Kecuali apa?  UU no 10 tahun 2016 ini jadi direvisi atau dibatalkan dan dimasukkan dalam UU Pemilu. Tapi sepertinya hal itu sangat sulit sekali.

Para anggota DPR yang terhormat kita ini sebaiknya memikirkan kepentingan bangsa yang lebih luas dan penanganan Pandemi Covid-19 menjadi prioritas. UU no 10 tahun 2016 yang mengatur Pilkada Serentak tidak usah dulu dirubah ya. Semoga.

Salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun