"Sikap yang kalah dan tidak mau menerima kekalahan, lalu mengancam akan melakukan kerusuhan. Dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi," jelas Sang Cucu.
  "Indonesia dengan AS itu berbedalah, jangan dibandingkan," sela Sang Kakek.
  "Mencekamnya sama. Ada aksi. Di Indonesia juga begitu. Mana tahu presiden yang kalah juga dengan demikian berharap direkrut menjadi menteri," kata Sang Cucu.
  "Itu mustahil terjadi, masa calon presiden yang kalah masuk kabinet dan menjadi menteri lawan tandingnya di Pilpres?" kata Sang Kakek.
  "Dalam politik tidak ada yang tidak mungkin kek. Katanya dalam dunia politik tidak ada kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Kawan bisa menjadi lawan kalau kepentingan berbeda. Lawan bisa menjadi kawan, jika kepentingan sama," kata Sang Cucu seakan memberikan kuliah politik kepada Sang Kakek.
  "Itu betul, tapi sulitlah itu," kata Sang Kakek.
  "Tidak sulit itu kek. Makanya kubilang tadi, mungkin dia belajar dari Indonesia membuat kerusuhan dan pendemo bayaran. Di Indonesia kan terjadi Kandidat Presiden masuk menjadi menteri. Dan bahkan terakhir, mantan cawapres juga masuk ke kabinet. Jadi empat orang kandidat yang bersaing di Pilpres, kini berada dalam kabinet. Dulu beda visi dan misi, sekarang kerja sama. Aneh tapi nyata. Mustahil tetapi terjadi," kata Sang Cucu.
  "Oh, itu yang mau kau bilang ya. Nggak usah mutar-mutar dari AS dulu. Langsung saja ke pokok masalah," kata Sang Kakek seperti kesal.
  "Kakek yang bilang itu musatahil dan berbagai argumentasi, ini kan hanya menjelaskan fakta yang terjadi di negeri ini," kata Sang Cucu.
  "Tapi perbedaan mereka cukup tajam dan dari dua kubu yang berseteru antara partai republik dan demokrat," kata Sang Kakek.
  "Yang disini kurang tajam apa pada waktu pilpres, toh bisa menjadi satu kok," kata Sang Cucu.