Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sang Buronan dan Coronan

20 Juli 2020   08:02 Diperbarui: 20 Juli 2020   08:02 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semangat Pagi Indonesia.

Sang Kakek dan Sang Cucu jalan pagi. Sambil menikmati kesegaran udara pagi, Sang Kakek yang mendapat giliran berkisah memulai ceritanya.


   "Sang Buronan yang bisa datang dan pergi kita tidak tahu. Kapan datang ke Indonesia dan kapan pulangnya kita tidak tahu. Sang Coronan atau virus Corona juga sama. Kapan dia datang ke Indonesia dan kapan pulangnya kita tidak tahu. Bagaikan siluman, eh tiba-tiba sang buronan sudah tinggal di negara jiran, yang katanya ada gedung propertinya di sana. Dan menurut pengacaranya, sang buronan sudah nyaman tinggal di sana. Tidak mau tinggal di Indonesia lagi. Dia datang ke Indonesia hanya meluruskan haknya saja. Setelah buronan pergi, semua pejabat saling membuang tanggung jawab. Jadi Sang Buronan telah berubah menjadi siluman. Kita tidak tahu lagi sekarang, dia ada dimana. Jangan-jangan sudah di Indonesia atau di negeri antah berantah, tidak ada yang tahu," kata Sang Kakek bercerita.

   "Sang Buronan dan Sang Coronan bagaikan siluman? Apa memang Sang Buronan tidak berwujud manusia lagi?" kata Sang Cucu.

   "Masih dong. Masa menjadi hantu," kata Sang Kakek.

   "Kakek bilang bagaikan siluman. Mana tahu dia bisa berubah menjadi hantu atau bayangan. Seperti manusia harimau. Bisa tiba-tiba dia menjadi harimau. Manusia serigala, bisa tiba-tiba menjadi serigala. Manusia ikan, bisa tiba-tiba menjadi ikan. Nah kalau dia sudah bisa seperti corona, berarti dia berubah wujud menjadi coronan," kata Sang Cucu.

   "Badannya masih manusia, tetapi permainannya seperti virus corona dan siluman. Datang dan pergi seolah tak kelihatan. Banyak yang membantunya dengan surat jalan sebagai konsultan. Ada yang menghapus red notice nya dari catatan Interpol. Ada yang pura-pura lupa memperpanjang red notice dan pemberitahuan DPO. Kejaksaan Agung mengatakan bahwa red notice selamanya sampai buronan tertangkap. Kepolisian bilang red notice sekali lima tahun. Semua saling lempar tanggung jawab," kata Sang Kakek.

   "Sebenarnya siapa yang harus bertanggung jawab untuk menangkap buronan ini kek?" tanya Sang Cucu.

   "Kejasaan Agung sebagai pihak eksekutor dalam kasus pidana," kata Sang Kakek.

   "Kenapa mereka tidak menagkap ketika berada di Indonesia?" kata Sang Cucu.

   "Kakek kan sudah bilang, datang dan perginya kita tidak tahu," kata Sang Kakek.

   "Menurut berita, dia mengurus e-KTP 8 Juni 2020. Mengajukan PK di pengadilan 11 Juni 2020. Surat jalan ke Pontianak tanggal 18 Juni 2020 dikeluarkan. Perjalanannya dari tanggal 19-22 Juni 2020. Kenapa baru tanggal 27 Juni Jaksa mengajukan DPO? Ini pembiaran dulu pergi baru dikirim DPO nya?" kata Sang Cucu.

   "Katanya setelah ketahuan mengurus e-KTP barulah surat tentang DPO nya dikirm lagi," kata Sang Kakek.

   "Apakah DPO itu harus diperpanjang juga kek?" kata Sang Cucu.

   "Tidak. Itu juga berlaku sampai buronan yang masuh DPO itu tertangkap," jelas Sang Kakek.

   "Kalau begitu kenapa persoalan buronan ini menjadi rumit. Kalau DPO berlaku selamanya, red notice juga selamanya sampai ketangkap. Kenapa tak bisa ditangkap? Apakah aparat penegak hukum kita tidak mampu menangkap buronan ini?" kata Sang Cucu seakan kesal.

   "Bukan tidak mampu, tapi tidak mau. Kenapa tidak mau? Nah disini banyak faktor bermain. Bayangkan seorang buronan mendapat surat jalan dari seorang jenderal pejabat di kepolisian. Dia disebut sebagai konsultan yang akan melakukan konsultasi dan kordinasi. Hebat kan?" kata Sang Kakek.

   "Kalau begitu bukan sang buronan yang jago bagaikan corona atau siluman. Pejabat penegak hukum kita yang berubah menjadi siluman dengan memberikan surat jalan agar buronan aman. Bukan buronan yang hebat, penegak hukum kita yang lemah dan berubah posisi. Seharusnya dia menangkap buronan, malah melindungi dan membiarkan buronan merajalela dan berkeliaran. Penegak hukumnya yang harus dimasukkan ke penjara dulu. Hukum seberat-beratnya," kata Sang Cucu.

   "Kapolri sih berjanji akan menjerat para jenderal yang membantu itu dengan hukum pidana," kata Sang Kakek.

   "Segera lakukan, kalau tidak nanti, sang jenderal ini juga ikut lari dan tinggal bersama dengan sang buronan kan sulit lagi mencarinya," kata Sang Cucu.

   "Itulah yang kita tunggu. Menko Polhukam juga mengatakan supaya buronan ini segera diburu dan ditangkap," kata Sang Kakek.

   "Nggak usah ribut di media, nanti buronannya kabur lagi. Lari entah ke mana," kata Sang Cucu.

   "Mana tahu maksudnya juga begitu. Ribut disini dan mengatakan akan memburu dan menangkap buronan, agar buronannya sempat lari dulu," kata Sang Kakek.

   "Kalau begitu, nggak usah diomongin lagi soal buronannya, corona saja kita bicarakan. Soal buronan berarti gelaplah," kata Sang Cucu.

   "Itulah kalau buronannya orang berduit. Semua seakan bisa diaturnya dan bisa dibeli. Jadi kita yang repot. Keadilan menjadi semu. Orang mengeluh dan berucap, hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas," kata Sang Kakek.

   "Sudahlah kek, kita pikirkan kesehatan kitalah kita jaga agar tidak kena virus corona. Saling membantu sesama anggota masyarakat. Buronan mau seperti corona atau siluman, urusannyalah itu," kata Sang Cucu.

Buronan dan coronan seperti siluman. Datang dan pergi tak pernah ketahuan. Kenapa para jenderal gampang takluk ya? Kenapa kejaksaan dan imigrasi saling melempar tanggung jawab. Kapan hukum bisa tegak, jika para penegak hukumnya takluk kepada buronan yang memiliki uang, gumam Sang kakek.

Terima kasih dan salam.

Aldentua Siringoringo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun