Dalam wawancara di Kompas  TV Rabu 15 Juli 2020 Pengacara Djoko Tjandra,  menyampaikan bahwa Djoko Tjandra sakit hati dan melakukan pembangkangan terhadap putusan hukum yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Alasan sakit hatinya karena Kejaksaan Agung melakukan upaya Peninjauan Kembali terhadapnya.  Kenapa?
Peninjauan Kembali dan sakit hati.
Peninjauan Kembali adalah hak dari Terdakwa atau ahli warisnya. Bukan hak dari kejaksaan. Namun alasan yang dikemukakan Kejaksaan Agung melakukan hal tersebut, karena itu sudah menjadi jurispundensi dengan kasus Muchtar Pakpahan dulu di masa Orde Baru. Menurut Pengacara Djoko Tjandra bahwa kasusnya tidak sama dengan kasus Muchtar Pakpahan yang merupakan  kasus buruh dulu, demikian penjelasan Pengacara Djoko Tjandra sebagaimana disiarkan KOMPAS TV.
Menurut Pasal 263 KUHAP yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali (PK) adalah terpidana atau ahli warisnya. Tidak ada disebutkan bahwa Jaksa Penuntut Umum boleh mengajukan Peninjauan Kembali. Namun alasan Jaksa dalam mengajukan PK dalam kasus Djoko Tjandra adalah jurispundensi kasus Muchtar Pakpahan.
PK atas kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996 adalah sebuah kekeliruan. Ketika itu Muchtar Pakpahan dituduh sebagai dalang kerusuhan buruh di Medan. Karena dunia hukum dan peradilan kita masih dikuasai dan dikooptasi oleh penguasa. Muchtar Pakpahan yang dibebaskan Mahkamah Agung tidak berhenti. Â
Jaksa mengajukan PK dan akhirnya MA seakan menganulir hukuman bebas dan dijatuhi hukuman empat tahun. Nah kasus PK Muchtar Pakpahan inilah yang dijadikan dasar PK terhadap Djoko Tjandra. Inilah penyebab sakit hatinya, menurut keterangan Pengacaranya dalam wawancara dengan Kompas TV tersebut.
Bisakah alasan sakit hati karena PK diajukan oleh Jaksa yang bertentangan dengan pasal 263 KUHAP tersebut dijadikan alasan untuk pembangkangan dan tidak patuh kepada hukum? Bisakah seseorang  yang tidak mau menjalani hukuman yang dijatuhkan hukuman mengajukan upaya hukum luar biasa PK?
Tentu saja tidak bisa. Namun kenapa Djoko Tjandra berani melakukan pembangkangan terhadap putusan pengadilan dan berani mengajukan PK. Dan yang menarik lagi apa yang dikatakan pengacara Djoko Tjandra, kenapa sekarang diributin pelarian Djoko Tjandra. Sidang PK tanggal 11 Juni 2020 jelas ada panggilannya ke kejaksaan untuk hadir sidang PK di PN Jakarta Selatan. Dan Djoko Tjandra hadir.
DPO atas nama Djoko Tjandra baru dikeluarkan pada tanggal 27 Juni 2020. Pada tanggal 3 Juli 2020 baru dikirim surat untuk pencegahan. Padahal tanggal 8 Juni 2020 dia sudah mengurus KTP, tanggal 11 Juni 2020 sidang PK Â dan tanggal 23 Juni 2020 dia mengurus paspor. Pada waktu itu Djoko Tjandra bukan lagi status DPO atau dalam status pencegahan.
Kasus Djoko Tjandara ini mengandung beberapa kejanggalan yang mengundang pertanyaan. Pertama, kenapa DPO baru dikeluarkan Kejaksaan pada tanggal 27 Juni 2020 dan surat pencegahan pada tanggal 3 Juli 2020? Kenapa tidak ketika sidang PK berlangsung pada tanggal 11 Juni 2020 atau sesudahnya segera.