Presiden jengkel dan marah. Ini seakan sebuah peristiwa penting di negeri ini, kini. Presiden Jokowi yang biasanya kalem, senyum, walau sudah dihujat, dituduh PKI, antek Asing dan Aseng, namun kini tiba-tiba seakan murka. Walau penyampaian kejengkelan dan kemarahannya masih terkendali, namun isi pesan dan mimik penyampaiannya cukup meyakinkan kita bahwa Sang Presiden sedang marah besar.
Kenapa Sang Presiden jengkel dan marah besar? Apa dasarnya marah? Kalau memang menterinya mengecewakan dan tidak mempunyai kinerja yang baik, ya ganti saja. Reshuffle itu hal biasa. Periode pertama presiden Jokowi 2014-2019 melakukan reshuffle dua kali tidak setegang ini. Dan tidak ada penyampaian jengkel dan marah. Cukup dipanggil satu persatu, dijelaskan kekurangan dan kelemahannya, Â diganti, lalu selesai.
Lalu kenapa sekarang harus didahului dengan kemarahan dan kejengkelan yang dipublikasikan? Tentu saja pasati ada alasan, dasar dan latar belakangnya sehingga video itu harus dipublikasikan. Tulisan ini tidak mau membahas publikasi video tersebut, tapi siapa menteri dan apa tanggung jawabnya terhadap pemerintah dan negara, sehingga dia harus dimarahi Sang presiden kepala negara dan kepala pemerintahan itu?
Jabatan menteri dan siapa yang mengangkatnya diatur dalam UUD 1945. Menteri-menteri adalah pembantu presiden. Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan? Apakah menteri pembantu presiden sebagai kepala pemerintahan saja? Jawabnya tidak. Juga pembantu presiden sebagai kepala negara juga.
Hal tersebut diatas memang tidak bisa kita baca dari pasal 17 UUD 1945 yang mengatakan bahwa Menteri-menteri adalah pembantu presiden. Sebab Wakil presiden juga diatur dalam pasal 6 UUD 1945 sebagai pembantu presiden. Tentu posisi wakil presiden dan menteri sebagai pembantu presiden itu berbeda.
Penjelasan tentang jabatan menteri dan siapa menteri sesungguhnya ada diatur dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 yang sudah almarhum karena dihapus tanpa kejelasan dalam Sidang MPR tahun 1999-2002 yang melakukan empat kali amandemen. Dengan tidak adanya penjelasan UUD 1945 tersebut, maka ada kekosongan penjelasan secara konstitusional tentang beberapa hal dalam jabatan kenegaraan, termasuk jabatan menteri.
Dalam tulisan ini kami mengutip penjelasan UUD 1945 dalah penjelasan umum tentang kedudukan menteri yang masih tetap kita anut dengan sistim presidentil sekarang ini. Demikian isi penjelasan tersebut.
"Menteri-menteri bukan pegawai tinggi biasa.
Meskipun kedudukannya Menteri Negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir executief) dalam praktek.
Sebagai pemimpin departemen, Menteri mengetahui seluk-beluknya hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu Menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai departemennya. Memang yang dimaksudkan adalah, para menteri itu pemimpin negara.
Untuk menetapkan politik pemerintah dan kordinasi dalam pemerintahan negara, para Menteri bekerja bersama, satu sama lain, seerat-eratnya di bawah pimpinan Presiden."
Penjelasan tentang posisi dan jabatan menteri yang disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut cukup menggambarkan bagi kita, bahwa menteri adalah pelaksana kekuasaan pemerintah (pouvoir executief). Sebagai pelaksana kekuasaan pemerintah, maka dia harus berada di garis terdepan untuk mengeksekusi segala keputusan pemerintah. Bukan menunggu perintah dari presiden.
Presiden sudah mengeluarkan PERPPU tentang sistim keuangan untuk menghadapi virus corona, tinggal dilaksanakan saja. Ucapan presiden yang mengatakan kalau masih diperlukan PERPPU, Perpres atau apapun, dia siap mengeluarkannya. Tapi kalau peraturan menteri yang dibutuhkan, ya menteri harus mengeluarkan peraturan menterinya.
Menterilah pelaksana kekuasaan pemerintahan sebagai pembantu presiden. Apakah presiden harus turun tangan langsung seperti pendapat beberapa politisi? Tentu saja tidak. Menterilah yang harus melaksanakan dibawah kepemimpinan presiden.
Dalam penjelasan tersebut dijelaskan bahwa seharusnya menteri yang memimpin departemen atau kementeriannya memberi pengaruh besar kepada presiden untuk politik negara yang  mengenai departemen atau kementeriannya. Menteri adalah pemimpin negara, bukan hanya pemimpin pemerintahan di departemen atau kementeriannya.
Dalam pengarahannya, presiden mengatakan, apapun akan dilakukannya untuk 267 juta rakyat dan untuk negara dengan mempertaruhkan reputasi politiknya. Presiden  sebagai kepala negara dia mau melakukan untuk 267 juta rakyat dan negaranya. Menteri sebagai pemimpin negara harus juga melakukannya. Disini berperan sebagai pembantu kepala negara.
Dengan posisi sebagai pemimpin kementerian yang merupakan pelaksana kekuasaan pemerintah, layaklah para menteri ini harus berbuat segala upaya keras dan cerdas untuk bisa menghadapi pandemi Covid-19 ini. Karena ini adalah krisis dunia, bukan hanya di Indonesia, tentu penanganan krisis ini hanya bisa berhasil jika para pemimpin negara menanganinya dengan sense of crisis.
Menurut presiden sense of crisis ini yang belum dimiliki para menteri. Masih ada yang menganggap biasa-biasa saja. Masih ada yang cuma lumayan, belum seratus persen. Perlu kerja extra ordinary. Â Kejengkelan dan kemarahan presiden semakin kita mengerti dengan memahami jabatan, posisi dan tanggung jawab menteri diatas.
Alasan dan dasar presiden menuntut para menteri untuk bekerja dan bisa menjalankan tugasnya sebagai pelaksana kekuasaan pemerintah (pouvoir executief) sangatlah kuat.
Posisi menteri sebagai pemimpin negara juga harus bisa menunjukkan bahwa mereka seharusnya menjadi negarawan yang bertanggung jawab terhadap 267 juta rakyat dan untuk negara Indonesia. Jangan tenggelam dulu negara ini, baru para menteri sebagai pemimpin negara bertindak.
Harapan kita, kejengkelan dan kemarahan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan kepada menteri sebagai pelaksana kekuasaan pemerintah dan sebagai pemimpin negara hendaklah dimaknai sebagai peringatan untuk bisa sadar, memiliki sense of crisis dan bertindak extra ordinary untuk mengatasi masalah dampak pandemi Covid-19 dan bisa mencegah keterpurukan bangsa ini lebih dalam lagi.
Masih perlu PERPPU, Perpres, menteri bisa meminta ke presiden. Perlu peraturan menteri, keluarkan sendiri saja, perlu terobosan extra ordinary, sikat saja. Sudah didukung pemimpinya sendiri, ya jangan ragu. Hambatan aturan dan birokrasi, tembus dan terobos saja. Takut resiko, jangan menjadi pemimpin. Menteri itu pemimpin negara, bukan pegawai tinggi biasa. Karena bukan pegawai tinggi biasa, maka kinerjanya harus luar biasa, extra ordinary, tidak boleh biasa-biasa. Cukup rakyatnya yang biasa-biasa saja. Semoga.
Terima kasih dan salam.
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H