Makan Pecal Di Korea Jauh Lebih Nikmat, Saat Dijamu Orang Indonesia.
Catatan dan Kenangan Delegasi Indonesia dalam Acara ASEAN WEEK, Seoul, 14-16 Juni 2019 (seri-6)
Ketika kordinasi delegasi dengan KBRI Seoul dua minggu sebelum berangkat, salah satu atase di KBRI meminta Komunitas Gondang Saurdot  bisa mengatur kunjungan ke sebuah komunitas orang Indonesia di Seoul. Ada sebuah gereja di Seoul yang kebaktiannya berbahasa Indonesia. Dan sepertinya satu-satunya gereja yang menggunakan bahsa Indonesia.
Kami tidak bisa memastikan, karena kami harus minta izin dari panitia. Kami menyampaikan tidak keberatan sepanjang waktunya bisa disesuaikan dan izin panitia ada. Maka begitu tiba di Seoul, hal ini juga diminta kembali.
Setelah melihat jawal bahwa pada hari ketiga atau Minggu, 16 Juni 2019, delegasi Indonesia tampil pagi menjelang siang, ketika jadwal kebaktian mereka juga. Jadi benturan waktu. Namun mereka menyatakan sehabis tampil saja. Biasanya mereka habis kebaktian tidak langsung pulang. Mereka biasanya makan bersama, ramah tamah baru pulang.
Kami kordinasi dengan panitia, sekaligus minta izin. Kenapa harus minta izin? Alat musik kita di bawah pengawasan panitia yang akan membawa ke bandara besoknya. Jadi kami sifatnya meminjam alat sendiri untuk di bawa keluar dari tempat penyimpanan alat musik semua delegasi. Izin diberikan, namun alat angkut bagaimana?
Ternyata mereka sudah kordinasi dengan KBRI. Para staf KBRI yang beragama Kristen, pada umumnya bergereja dan kebaktian di gereja ini. Namanya GPDI Hati Elok Seoul. Tempatnya agak jauh ke pinggiran kota. Staf KBRI menghubungi kami, bahwa sebuah mobil disiapkan untuk membawa delegasi ke gereja tersebut. Satu mobil tidak cukup, kami menyewa satu taksi untuk membawa perangkat gondang yang lumayan memakan tempat.
GPDI Hati Elok Seoul ini dipimpin seorang ibu pendeta orang Korea. Suaminya orang Indonesia tinggal di Semarang. Jadi gereja mereka ini sebuah cabang dari Semarang. Jemaatnya orang Indonesia. Ada juga pasangan Korea Indonesia. Ada yang suami orang Korea yang isterinya orang Indonesia. Atau sebaliknya Suami orang Indonesia yang isterinya orang Korea seperti ibu pendeta tersebut.
Kami tiba di area gereja, ketika kebaktian hampir usai. Setelah kebaktian usai, kami dipersilahkan masuk. Karena mereka meminta harus tampil dan memainkan musik gondang, maka segera persiapan alat musik dilakukan secepat mungkin.
Setelah perkenalan, anak-anak memainkan musik yang ditampilkan di panggung ASEAN WEEK. Mereka semua antusias. Minta tambah lagi, sampai dua kali lagu permintaan. Dan akhirnya ditutup pertunjukan dilanjutkan dengan makan siang. Acara makan siang jadi mundur karena pertunjukan, namun tidak ada yang protes, semua senang.
Nah acara makan inilah yang tak kalah serunya. Menunya pecal dan ikan. Wow, keren. Sudah tiga hari makan ala Korea, kini makanan pecal ala Indonesia. Ibu pendeta bercerita bahwa setiap minggu mereka makan bersama. Setiap anggota jemaat per keluarga mendapat giliran tiap minggu menyediakan makanan ala Indonesia. Jadi mereka seakan berada di tanah air setiap hari Minggu. Akrab dan nikmat.
Semua delegasi bergembira dan makan dengan senang sekali. Ikan dan pecal. Dan rasa pecalnya terasa lebih nikmat. Mungkin karena berada di luar negeri, jauh dari negeri sendiri? Mungkin juga. Namun semua yang makan dengan lahap dan penuh keriangan dan keakraban menjadi penambah nikmat juga.
Para jemaat yang terdiri dari berbagai suku dari Indonesia. Yang kebetulan orang Batak juga ada. Maka jadilah bercengkerama dan bertutur sapa mencari hubungan kekerabatan. Pasti ketemu kekerabatannya dengan Dalihan Natolunya.
Kemi memberikan souvenir kaus delegasi. Dan ternyata mereka juga memberikan uang jajan kepada setiap anak delegasi berupa amplop untuk bisa makan-makan di Korea, kata ibu pendeta mewakili jemaat. Anak-anak senang karena diberikan uang jajan. Ya, namanya remaja dan pemuda yang masih sekolah dan mahasiswa, diberikan uang jajan, senangnya meluap-luap.
Kenangan yang baik. Ternyata, diamanapun orang Indonesia, semangat melayani dan menjamu tamu sebangsa dan setanah air itu tidak pernah padam. Kami senang sekali dijamu oleh orang Indonesia teman sebangsa di negeri orang.
Bukan hanya dijamu, tapi jamuannya juga makanan Indonesia, pecal yang jauh lebih nikmat rasanya di Seoul. Keramah-tamahan dalam penjamuan, rindu sebangsa dan setanah air, ternyata menyatu membuat jamuan dan pertemuan itu penuh sukacita. Rasa pecal jauh  lebih nikmat di Seoul.
Terima kasih ibu pendeta dan seluruh jemaat GPDI Hati Elok Seoul Korea Selatan. Â Salam untuk kalian semua.
Terima kasih dan salam.
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H