Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Juru Debat Utang Negara

12 Juni 2020   07:16 Diperbarui: 12 Juni 2020   07:44 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semangat Pagi Indonesia.

 Sang Juru Debat Utang Negara.

Sang Cucu seperti tidak sabar untuk berdiskusi dengan kakeknya. Dia seakan tergesa-gesa membawa kopi kakeknya. Hampir tumpah.

   "Selamat pagi kek, ini ada keributan besar lagi di negeri ini," kata Sang Cucu.

   "Keributan apa? Sepertinya aman-aman saja," jawab Sang Kakek kalem.

   "Ini soal debat utang negara. Ada Menteri yang menantang pengkritik utang negara untuk datang menemuinya, ada beberapa orang yang mau menjawab tantangan itu," kata Sang Cucu.

   "Itu biasa saja. Lebih seru di Facebook saling menantangnya. Sudah lama heboh. Tantangan inilah, itulah onolah, soal bukulah, soal kebayalah dan banyaklah. Itu lebih pusing," kata Sang Kakek.

   "Ini berbeda kek. Ini serius soal bangsa. Ada menteri pecatan yang mau ikut debat buat syarat. Kalau saya kalah, saya akan berhenti mengkritik pemerintah, tapi kalau menterinya kalah harus mundur, begitu katanya.  Sang menteri tidak terima. Harus ada sanksi yang sepadan dong. Begitu ramenya kek," kata Sang Cucu semangat.

   "Kau ini bagaimana sih. Nggak usah dipikirkan itu. Soal menteri dan pengangkatanya itu hak presiden. Bukan ditentukan debat. Apalagi usul dari menteri pecatan. Iri dengan menteri keuangan sekarang. Ingin memundurkan menterinya? Tahu dirilah semua mereka. Debat capres saja tidak menentukan pemenang. Itu hanya bagian dari kampanye. Pemilihan presidennya yang menentukan. Ini seperti debat mencari pemenang kalah," kata Sang Kakek kesal.

   "Ya. Ini ada yang ingin menjadi pelaksana dan moderatornya dan ingin ada juri yang menentukan siapa pemenangnya," jelas Sang Cucu.

   "Nah itukan. Berarti mereka ini kurang kerjaan, jadi debatpun seperti pakai panitia dan disiarkan langsung di TV. Malas kita dengarnya. Kalau mau debat dengan menterinya, pergi saja ke kantor menterinya. Bawa pisang goreng, menterinya menyiapkan kopi, bereskan? Gitu aja repot," kata Sang Kakek.

   "Kakek jangan anggap remeh, ini repot urusannya, kok dibilang gitu aja kok repot?" kata Sang Cucu.

   "Itu dulu bahasa guyonnya mantan presiden kita Gus Dur. Dan mereka berdua ini sama-sama menteri ketika Gus Dur presiden. Jadi istilah itulah yang pas kita sampaikan kepada mereka berdua. Debat gitu aja kok repot? Emangnya Gua Pikirin (EGP)? Begitu aja, nggak usah repot dan hempot," kata Sang Kakek.

   "Jadi kita nggak usah repot dan hempot?" kata Sang Cucu.

   "Betul. Kalau mereka mau debat utang luar negeri, itu sudah dimulai dari Orde Lama. Kita sudah utang dua miliar dolar Amerika. Ketika IGGI dibentuk sebagai konsorsium dana pinjaman multilateral kepada Indonesia. Pada tanggal 20 Pebruari 1967 IGGI pertama kali rapat di Amsterdam Belanda. Maka dimulailah utang luar negeri yang bertambah setiap tahun," kata Sang Kakek.

   "Jadi utang negara kita ini sudah sejak dulu?" tanya Sang Cucu.

   "Ya.Tahun 1992 IGGI dibubarkan karena peristiwa Santa Cruz di Timor Timur. Belanda menyetop bantuan ke Indonesia. Presiden Soeharto berang. Dia merasa tersinggung. Dia lalu menolak bantuan, khususnya dari Belanda. Kita masih perlu utang. Radius Prawiro mengusahakan dan terbentuklah Consultative Group on Indonesia (CGI) menggantikan Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI). CGI dibubarkan tahun 2007 oleh presiden ketika itu. Tahun 2014 utang yang ditinggalkan pemerintah waktu itu sudah mencapai USD 293,32 miliar. Jadi utang ini bukan utang yang baru kemarin atau tahun kemarin. Ini sudah dimulai dari Orde Lama dan meningkat pada tahun 1967 dengan pembentukan IGGI itu. Mau diperdebatkan mulai dari Orde Lama sampai sekarang. Debatnya bisa setahun tak ada habis-habisnya," kata Sang Kakek.

   "Wah panjang juga ceritanya ya kek?" kata Sang Cucu.

   "Makanya distoplah debat heboh seperti itu. Coba ganti bahan debatnya. Topiknya seperti ini, 'Bagaimana kita secepatnya menemukan vaksin corona biar bangsa kita cepat pulih.' Kalau itu dibuat lalu mereka menemukan soslusinya baru hebat. Debat utang tidak perlu, bayar utang itu yang perlu. Bagaimana menciptakan teknologi pertanian dan teknologi lainnya untuk memperbesar peluang ekspor  supaya kita mendapatkan devisa agar bisa bayar utang, itu juga menarik," kata Sang Kakek.

   "Wah mantap juga usulan topik dari kakek ini," kata Sang Cucu senang.

   "Makanya debat tentang utang tak berguna. Apakah utang itu akan lunas kalau mereka berdebat tentang utang? Kalau utangnya bisa lunas dengan debat, semua rakyat ini kita ajak untuk berdebat tentang utang," kata Sang Kakek.

   "Setuju kek. Debat utang ini pekerjaan percuma, pikirkan bayar utangnya saja," kata Sang Cucu.

Debat utang, berbeda dengan membayar utang. Kalau dengan berdebat tentang utang, bisa lunas utangnya, ya monggo. Tapi kalau hanya soal debat saja heboh, untuk apa? Kurang kerjaan? Gitu aja kok repot, gumam Sang Kakek.

Terima kasih dan salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun