Dalam hiruk pikuk politik yang tak menentu pada tahun 1967, masa transisi yang masih menegangkan setelah peristiwa G/30/S/PKI, negeri ini dikelola dan dikendalikan oleh seorang Jenderal Soeharto. Penggunaan isu PKI menakut-nakuti seluruh elemen bangsa berhasil dalam rangka pemulihan kondisi keamanan dan ketertiban negara.
Dengan modal Supersemar yang kontroversial dengan berbagai versi itu, dia memimpin negara dan mengelola pemerintahan sesuai kehendaknya. DPR Gotong Royong bukan hasil pemilihan umum, MPRS yang bersifat sementara, karena bukan hasil pemilu telah diarahkan dan tunduk dengan segala keadaan waktu itu. Pemilu pertama sesudah krisi itu dilakukan pada tahun 1971 dan Sidang Umum MPR pada tahun 1973.
Mungkin karena ada tuntutan balas jasa dari pendukung pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno dengan isu PKI yang didukung negara lain, maka dimulailah politik balas jasa tersebut.
Presiden Republik Indonesia, menimbang, mengingat dengan persetujuan DPR Gotong Royong memutuskan dan menetapkan Undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing. Disahkan Presiden RI ttd Sukarno dan diundangkan Sekretaris Negara RI ttd Mohd Ihsan pada tanggal 10 Januari 1967.
Benarkah UU ini masih ditandatangani Sukarno sebagai presiden, sementara kekuasaan pemimpin bangsa sudah diambil alih dengan Supersemar 11 Maret 1966. Bukan itu yang mau kita bahas dalam tulisan ini. Nanti akan ada pembahasan tersendiri di artikel lain, sabar saja.
Apa indikator bahwa UU no 1 tahun 1967 ini sebagai balas budi kepada kepentingan asing dan kita menjadi antek asing pada tahun 1967 ini? Mari kita simak isinya sebagian saja. Tidak perlu semua.
Perusahaan yang menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia dengan perusahaan yang tunduk kepada hukum Indonesia diberikan pembebasan pajak dan keringanan pajak sesudah masa pembebasan.
Pasal 15 UU no 1 tahun 1967 mengatur sebagai berikut:
Kepada perusahaan-perusahaan modal asing diberikan kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan lainnya sebagai berikut:
a. Pembebasan dari :
1) Pajak Perseroan atas keuntungan untuk jangka waktu tertentu, 2) Pajak deviden, 3) Pajak perseroan atas keuntungan, 4) Bea masuk atas pemasukan barang-barang, 5) Bea meterai modal atas penempatan modal asing.
b. Keringanan
1) Atas pengenaan pajak perseroan dengan satu tarif yang proporsionil setinggi-tingginya lima puluh perseratus jangka waktu tertentu tidak melebihi 5 (lima) tahun sesudah jangka waktu pembebasan, 2) Dengan cara memperhitungkan kerugian yang diderita selama jangka waktu pembebasan yang dimaksud huruf a, dengan keuntungan yang harus dikenakan pajak setelah jangka watu tersebut diatas, 3) Dengan mengizinkan penyusutan yang dipercepat atas alat-alat perlengkapan tetap.
Pembebasan pajak  diberikan selama 5 (lima) tahun dan keringanan diberikan sebesar lima puluh perseratus atau setengah selama lima tahun sesudah masa pembebasan. Jadi para penanam modal asing tersebut menikmati fasilitas pajak atau tax holiday selama sepuluh tahun. Sampai bea meteraipun kita yang menanggungnya lho.
Semenjak itulah perusahaan asing datang bergelombang ke Indonesia menikmati fasilitas tersebut. Yang pertama menikmati itu adalah Amerika. Perusahaan tambang seperti Freeport mulai melakukan aksi pertambangannya pada tahun 1967 dengan perjanjian Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia. Tragedi kontrak karya, sebuah ironi juga. Itu urusan artikel lain lagi.
Emas dan tembaga dikuras dari bumi Cenderawasih. Hasil pembagian untuk Indonesia hanya secuil. Hasil tambang tersebut diangkut ke Amerika seakan kita tidak berkuasa atas areal tambang tersebut. Dari sana langsung dikapalkan. Berapa jumlah yang dikapalkan? Dari pelabuhannya sendiri lho.
Kita mungkin dapat pajak recehan dan hasil sedikit. Sebagian besarnya untuk Freeport. Perusahaan modal asing yang lain berdatangan. Tawaran buruh murah dan stabilitas keamanan yang terjamin mendatangkan gelombang penanaman modal asing tersebut.
Pinjaman luar negeri juga mulai digalakkan. Bantuan luar negeri juga. Dengan pendekatan keamanan, maka pengusaha dan pemodal asing mengeksploitasi bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalam perut ibu pertiwi dikuras. Yang seharusnya hal itu dimanfaatkan sebesar-besarnya kepada rakyat, dikuras dan dibawa ke luar negeri.
Apakah ini tidak mengingkari amanat konstitusi kita yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945? Ya, tapi siapa yang berani melawan ketika UU tersebut dibuat dan fasilitas itu diberkian kepada pihak asing? Siapa berani, ada resikonya. Banyak yang masuk penjara dan bahkan hilang nyawa dan mayat tak ketemu. Itu sebuah akibat.
Para pembaca budiman, dan para penuduh pemerintah sekarang antek asing, tulisan ini hanya mengingatkan kita bahwa kita menjadi antek asing itu sudah terjadi sejak tahun 1967 ketika diundangkannya Undang-undang nomor 1 tahun 1967 pada tanggal 10 Januari 1967.
Anda mau memprotes, silahkan alamatkan kepada pengambil keputusan dan yang menetapkan UU no 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing tersebut. Akibatnya dahsyat lo. Hasil kurasannya, fantastik.
Kerugian pajak selama sepuluh tahun tax holiday? Tak terhitung. Â Mangkanya, sampai saat ini banyak perusahaan asing yang ngemplang pajak dan bahkan tidak mempunyai NPWP, itu belajar daripada masa Orde Baru yang memberikan sorga bagi penanaman modal asing. Dan kitalah antek-anteknya. Selamat menjadi antek asing selama 53 tahun.
Terima kasih dan  salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H