Sang Tunanetra bagi saya adalah sebuah sumber pembelajaran kehidupan. Dalam kisah "Saya Dituntun Sang Tunanetra", saya belajar mengagumi kekurangan menjadi kelebihan mereka. Dari pengalaman itu kami ingin meningkatkan pelajaran kepada sang tunanetra ke panti yang lain, yang lebih besar dan lebih jauh. Â Apa dan bagaimana lanjutannya?
Kami aktif di sebuah organisasi ekstra kurikuler kampus ketika mahasiswa. Setiap tahun, kami membuat program hidup bersama (Live In) dengan masyarakat. Dengan petani di desa, dengan nelayan, buruh dan berbagai kalangan masyarakat bawah.
Program ini kita buat untuk mendekatkan perhatian dan pikiran kita ke dalam realitas kehidupan masyarakat. Kenapa? Waktu itu baru dilahirkan konsep  Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang seakan membuat perguruan tinggi menjadi menara gading. Agak menjauh dari realitas kehidupan masyarakat. Jadi program hidup bersama ini menjadi sebuah program yang tetap memelihara kedekatan mahasiswa dengan masyarakat.
Ketika itu kami memilih live in dengan Tunanetra yang tinggal dalam satu Panti Karya. Â Kami harus menempuh perjalanan selama enam jam menuju tempat tersebut. Â Kami ada enam orang, laki-laki dan perempuan. Kami sudah menyurati pimpinan panti karya tersebut dan sudah oke dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik.
Mereka yang tinggal di panti ini ada yang sudah berkeluarga sesama tunanetra, ada yang masih anak-anak, pemuda, gadis dan yang tua tapi sendiri juga. Yang berkeluarga tinggal bersama dengan anaknya, yang lain diatur di asrama yang disedialan panti.
Rombongan kami tiba di tempat menjelang sore hari. Kami akan tinggal di tempat itu selama seminggu. Kami akan mengikuti segala aturan dan kebiasaan yang ada di tempat itu. Tinggal bersama mereka, makan bersama mereka dan mencoba mengikuti kegiatan sehari-hari mereka. Belajar tentang kehidupan mereka.
"Tolong dimengerti ya adek-adek. Disini fasilitas minim, tidak seperti kalian hidup di kota. Karena tujuan kalian mau belajar dan hidup bersama dengan sahabat kita tunanetra ini, maka nikmati saja apa adanya," kata pimpinan panti menyambut kami. Semua setuju dan semua mengangguk.
Kami dibagi kamar dan sesuai rencana, setiap malam,  sebelum tidur, kami akan melakukan evaluasi dari perjalanan seharian bersama mereka. Setiap peserta wajib menuliskan pengalamannya seharian dan kegiatan apa yang dilakukan, serta nilai kehidupan  apa yang bisa dipetik dan diperoleh. Di akhir kegiatan semua akan membuat laporan lengkap. Setelah kembali, kami harus membagi pengalaman tersebut dengan teman-teman mahasiswa yang tidak ikut ke panti.
Apa yang kami dapat pelajaran selama seminggu di panti karya itu dari teman tunanetra tersebut, antara lain sebagai berikut:
- Sejak kami tinggal bersama dengan mereka, kami tidak mau lagi menyebut mereka orang buta. Kami ganti namanya menjadi teman kita yang kurang bisa melihat. Bukan penghalusan bahasa, namun sebuah apresiasi dan penghargaan berdasarkan pengalaman kami dengan mereka. Mereka tidak buta. Mereka bisa melihat, tapi tidak dengan mata fisik. Dengan mata hati, perasaan dan pikiran.
- Ketekunan bekerja. Panti karya ini adalah sebuah tempat pelatihan ketrampilan untuk tunanetra agar bisa hidup mandiri. Mereka sangat tekun dalam menjalani latihan dan praktek. Ada yang bertenun, ada yang beternak, bertani, membuat keset kaki, membuat sapu dan berbagai kerajinan tangan. Semua ketrampilan diarahkan untuk membangun kemandirian dan hidup tidak tergantung orang lain. Ada sebuah ruangan seperti toko tempat hasil kerajinan mereka dipajang. Setiap pengunjung boleh membeli karya mereka untuk membantu mereka.
- Ketekunan berdoa. Mereka sangat tekun dan disiplin, mulai bangun sudah berdoa, membaca renungan harian dan saat teduh dulu, sebelum memulai kegiatan. Demikian juga pada malam hari mereka melakukan ritual itu sebelum tidur. Kami mengikuti kedua ritual tersebut.
- Bernyanyi memuji Tuhan sekuat tenaga. Ketika mereka bernyanyi dalam acara kebaktian, seakan berlomba suara keras. Ketika kami tanya, mereka menjawab, biar Tuhan bisa mendengar suara kami. Kami hanya bisa memanggil Tuhan. Mereka ingin suara mereka yang terbaik dan paling keras untuk menyanyikan pujian bagi Tuhan. Ini untuk menyenangkan Tuhan, demikian menurut mereka.
- Menjaga kebersihan dengan disiplin. Â Mereka dan anak-anaknya dilarang membuang sampah di sembarang tempat. Mereka keras menanamkan disiplin kepada anaknya dan memberikan contoh yang baik.
- Menjaga harga diri. Jangan sampai ada yang mengganggu anaknya. Sesekali terjadi perkelahian seperti pertandingan gulat. Mereka sulit dilerai. Kalau sudah berhasil dia pegang lawannya, maka dia tidak akan pernah melepasnya. Kenapa? Begitu lepas dia tidak bisa lagi melihatnya. Biasanya pimpinan panti turun langsung untuk meleraikan mereka. Ketika ditanya apa penyebabnya, anaknya diganggu membuat dia tersinggung dan mencari si pengganggu anaknya. Baginya anak adalah harta yang paling berharga, jadi jangan diganggu. Itu menyangkut harga diri. Sensitif.
- Mengasihi keluarga dan anaknya. Setiap dia mendapat sesuatu hadiah atau apapun dari tamu, anaknya selalu diutamakan dan  memberikan hadiah itu ke anaknya. Terkadang berlebihan kasih sayangnya kepada anaknya. Namun kami melihat sebuah ketulusan hati untuk mengasihi keluarganya.
- Melatih perasaan untuk tidak mudah tersinggung. Satu proses latihan pembinaan yang dilakukan panti kepada mereka adalah melatih untuk mengurangi gampang tersinggung. Mereka sangat sensitif dan mudah tersinggung. Namun seiring waktu mereka bisa mengatasi dan menguranginya. Menghilangkannya itu sulit.
- Kemampuan menghafal dan meguasai jalan-jalan di komplek panti dan ke luar panti sejauh berkilometer. Area lahan pertanian mereka berada di luar panti yang berjarak beberapa kilometer. Mereka pergi dan pulang sendiri dengan tongkatnya. Sekali mereka ingat, mereka tidak akan pernah melupakannya. Super sekali daya ingatnya. Tidak ada yang tersesat.
Dan sebenarnya dalam pengalaman kami seminggu disana, masih banyak pelajaran kehidupan  yang kami petik dari perjalanan hidup bersama mereka. Namun apa yang kami tuliskan diatas hanyalah sebagian dari pelajaran berharga yang kami peroleh dari mereka.
Ketika kami sudah kembali ke kampus dan menceritakan hasil perjalanan kami selama seminggu tersebut di hadapan teman-teman, banyak yang menangis terharu. Ada keinginan bisa ikut program tersbut untuk lebih memahami kehidupan kaum tunanetra tersebut.