"Itu menurut pemerintah. Menurut kalkulasi politik  orang yang sedang mempersiapkan parpol baru, itu sesuatu yang kurang baik. Maunya pengangguran meningkat terus, ekonomi ambruk, jumlah hutang negara bertambah terus, lalu negara akan chaos, lalu rusuh, ada kesempatan memimpin demo lagi seperti tahun 1998 yang lalu," kata kakek.
  "Untuk apa berharap rusuh lagi? Apakah tidak rugi negara ini harus rusuh padahal negara sudah susah," kata cucu.
  "Kalau rusuh kan ada kesempatan demo dan membuat reformasi jilid dua dan mendirikan parpol jilid dua, lalu menjadi ketua MPR jilid dua lagi," kata kakek.
  "Ah bosan soal jilid melulu. Dulu demo berjilid-jilid, sekarang jilid dua. Nggak ada lagi yang bisa dipikirkan selain jilid?" tanya cucu.
  "Kamu itu tidak ada simpati dan empati ya. Orang yang dipecat dari parpol yang didirikannya itu sangat mengerikan. Ibarat kita membangun sebuah kampung, lalu kita mengajak orang lain dan besan kita tinggal di kampung itu. Eh, ternyata kemudian kita diusir dari kampung yang kita dirikan itu. Yang mengusir besan yang kita ajak tinggal di kampung itu lagi. Sakit sekali. Bukan hanya sakit, malu sekali. Masa kalian tak mau mengerti perasaan orang sih?" kata kakek.
  "Oh, begitu ya kek. Berarti penolakan dan ogah new normal ini menyangkut suasana hati dari orang yang seperti tergusur dari kampung yang didirikannya ya kek?" cucu balik bertanya.
  "Makanya kalian itu maulah paham sedikit perasaan orang. Masa penolakan istilah new normal kalian persoalkan. Kalau dia tidak ribut dengan hal seperti ini, namanya tenggelam, apa nggak kalian pikirkan itu?" kata kakek.
 "Namanya memang kapal yang bisa tenggelam kek?" tanya cucu nakal.
  "Kalian memang orang yang kurang hormat sama orang tua ya. Mendirikan partai baru itu perlu ongkos besar. Kalau tidak ada toke, berarti biaya harus urunan. Siapa tokoh kunci yang layak dipercaya supaya orang mau urunan? Harus orang terkenal dan layak dipercaya. Kalau nama sudah tenggelam, bagaimana meminta orang untuk urunan membangun parpol baru?" kata kakek.
  "Susah deh, kalau sudah begini. Kita bicara new normal untuk menghidupkan ekonomi, eh malah ditarik ke masalah politik. Rusak negara kita kalau begini terus. Bukan kepentingan negara yang didahulukan, selalu kepentingan politik masing-masing. Membangun parpol baru, urunan biaya, padahal urunan untuk melawan pandemi tidak mau. Membangun solidaritas dengan korban pandemi tidak mau. Kapan berhenti keributan ini, kalau semua mementingkan diri sendiri atau golongannya?" kata cucu seakan menggugat.
  "Makanya, kalau mau aman, jangan dipikirkan apa yang diributin, pemerintah jalan saja terus dengan new normal itu. Biarkan orang ini cuap-cuap dan ribut, sehingga terus muncul di media dan namanya tidak tenggelam. Pemerintah berlayar saja terus dengan kapal layar new normal," kata kakek.