Yang membuat masalah ini lebih heboh adalah para pengurus partai yang lebih baper. Kesempatan mengambil hati atau cari muka dimanfaatkan. Setelah perdebatan pro kontra untuk mengadukan kasus ini ke polisi, sebagian berangkat ke kantor polisi. Tidak jadi melaporkan entah karena apa, tapi ditunggu tiga hari agar cuitan itu dihapus.Â
Apakah ini somasi? Adakah dibuat tertulis? Ternyata tidak dihapus, apakah akan dilanjut ke pengaduan? Aduh pusingnya polisi untuk menangani dan mencari bukti untuk melanjutkan kasus ini. Tapi sebagai abdi negara mereka pastilah akan mengurus pengaduan itu itu jika dilanjutkan.Â
Kalau tidak dilanjutkan, ancaman harus mencabut tiga cuitan itu harus kita anggap sebagai ungkapan hati alias baper sesaat dan simpati kepada pimpinan. Tidak terlalu masalah.
Cuma lain kali jangan bereaksi berlebihan dan menyampaikan istilah tiga kali dua puluh empat jam yang limitatif, sementara orangnya tidak berpikir limitatif, bahkan peragu dan mengambang.
Contoh kedua kita bisa lihat sebuah partai politik yang sudah menjalankan kongresnya. Pertarungan ketat terjadi. Sang pendiri partai versus besannya. Koq bisa besanan menjadi konstestan politik yang berkompetisi?Â
Yah namanya partai politik, siapapun bisa ikut sepanjang memenuhi syarat. Dengan gagah berani setiap konstestan merasa paling unggul dan yakin maju terus. Lalu sang pendiri kalah dari besannya. Dan celakanya salah seorang anak ikut dalam susunan pengurus pemenang. Baper? Sudah pasti.Â
Siapa yang tidak sakit hati dikalahkan besan yang diajaknya ikut ke partainya? Manusiawi toh? Seiring proses waktu, si anak mengundurkan diri dari pengurus dan dari parlemen. Lho kok anggota parlemen dan jabatan ketua fraksi ditinggal? Masuk akal nggak? Tentu saja tidak bagi awam politik.Â
Namun dengan logika politik, adagium tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Bercampur dengan baper, maka demikianlah adanya kisah itu.
Kenapa harus demikian tragis kejadian politiknya. Sekiranya baper tidak masuk dalam kejadian itu, maka itu adalah peristiwa biasa saja. Kalah menang dalam pertarungan politik untuk menjadi pimpinan partai politik, itu soal biasa. Namun masalahnya bukan kalah dan menangnya. Bagimana pemenang bersikap? Apakah pemenang mengambil semuanya? Apakah ada politik akomodasi terhadap yang kalah? Bagi yang kalah, apakah bisa menerima kekalahan dengan legowo?
Disini seringkali masalah besar muncul. Apalagi kalau baper berperan besar, maka hal sepele bisa menjadi bertele-tele. Menuduh curang, menghalalkan segala caralah, campur tangan penguasalah serta berbagai alasan bisa ditumpahkan. Kekalahan tidak bisa diterima, lalu dirancanglah segala upaya mengganggu kemapanan para pemenang.Â
Termasuk anak yang sudah ikut dalam barisan pemenang harus digoyang dengan harapan akan membuat satu partai yang baru. Tidak salah, namun apakah kekalahan dalam pertarungan menjadi pimpinan partai politik harus membuat pecah dan munculnya partai baru?Â