Baper, kini menjadi sebuah istilah dalam pusaran politik Indonesia. Baper seakan menjadi sebuah  gejala fenomenal dalam sikap politik. Kenapa bisa demikian? Bukankah politik itu seharusnya memiliki pola pikir rasional, intelek, berbasis ilmu pengetahuan dan juga diwarnai oleh filsafat politik dan memiliki etika dan moral politik?Â
Ah terlalu panjang pertanyaan dan syarat itu membuat tulisan ini bisa ngalor ngidul dan ngawur. Padahal kita mau membahas satu istilah saja yaitu baper. Baper atau bawa perasaan, apa itu salah? Siapa bilang salah? Ini bukan soal salah dan benar, namun penempatanya yang harus tepat dan akurat.
Baper dalam menjalin hubungan asmara dan cinta sangat strategis peranannya. Apakah kita mempunyai perasaan tertentu seperti bergetar batin melihat seseorang dalam pandangan pertama? Adakah melihat matanya yang bening, hatiku terasa hancur lebur? Ataukah senyumnya membuatku bertekuk lutut, atau apalah kejadian yang bisa membuat kita baper ke seseorang dan membuat kita jatuh cinta atau melahirkan cinta terhadap seseorang.
 Baper dalam konteks ini berada di tempat yang tepat dan baik adanya. Namun dalam hal inipun penempatan dan penggunaan baper sudah diingatkan untuk tidak berlebihan atau monopolis. Serang penasehat atau konselor cinta mengingatkan pasiennya untuk tidak terlalu baper atau baper seratus persen. Sang Penasehat atau Konselor menasehati pasiennya seperti ini.
  "Jangan pernah menggunakan atau baper melulu. Dalam menjalin asmara yang sehat, kita harus menggunakan perasaan dan logika secara berimbang. Hanya menggunakan perasaan, maka kamu akan naif dan irrasional. Taik gigipun terasa cokelat. Baper bisa menghilangkan akal sehat. Begitu akal sehatmu hilang, tindakanmu akan kehilangan kendali. Itulah orang yang sedang mabuk asmara melangkah lebih jauh dan akhirnya kecelakaan. Berhubungan badan sebelum waktunya. Akhirnya penyesalan datang kemudian. Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Sesuatu yang terjadi tidak bisa dihapus bekasnya. Makanya hati-hati menggunakan perasaan." Demikian Sang Konselor Cinta itu menasehati pasiennya.
Jika di tempatnya yang tepatpun baper harus diimbangi dengan logika dan agar tidak mematikan akal sehat, apalagi di tempat lain seperti lapangan politik. Nah berarti baper tidak boleh terlalu dibawa ke ranah politik ya?
Dengan pemahaman seperti itulah mungkin bisa kita paham, bahwa baper itu kurang baik berada di lapangan politik. Apalagi kalau sampai menguasai para politisi kita dan  politisi itu menjadi elite politik atau pimpinan partai politik, bagaimana jadinya ya? Salah kaprah dan amburadul, itu kemungkinan besar akan terjadi.
Banyak kejadian politik di tanah air teranyar bisa kita pahami kenapa menjadi topik yang hangat dan bahkan panas. Misalnya hanya soal pidato seorang anak gadis kecil yang menjalankan tugas sekolahnya bisa ramainya minta ampun. Kenapa? Sang ibu yang secara naluri harus melindungi anaknya dari bully di medsos.Â
Dia baper sampai ngetweet ke presiden dan Komisi Perlindungan anak. Sebagai ibu tindakannya harus melindungi anaknya. Masalahnya, kenapa ketika suaminya ingin mengunduh di medsos, sang ibu tidak mengingatkan suaminya dengan kemungkinan reaksi orang lain? Nah, inilah pentingnya keseimbangan berpikir dan perasaan harus digunakan.Â
Ketika hendak melakukan aksi, tak  ada kalkulasi atau perhitungan akan timbul reaksi. Dan kurang menyadari juga bahwa sebagai sebagai figur publik, sekecil apapun tindakan kita pasti mendapat sorotan.Â
Berada di panggung politik berbeda dengan sang sutradara yang bersembunyi tak kelihatan di belakang panggung politik. Makanya kalau sedang berada di panggung, hati-hati berakting dan berucap, karena mata penonton melotot ke arah kita serta telinga penonton juga sensitif karena panggung dipasangi mikrofon yang bisa menangkap bisikan halus sekalipun.