"Halo kek. Selamat pagi," kata sang cucu sambil mengantar kopi kakeknya.
  "Selamat pagi, terima kasih kopinya," jawab kakek.
  "Begini kek. Ini saya mau menyampaikan protes keras sebagai orang cilik atau anak kecil," kata cucu.
  "Urusan apa protes ini?" tanya kakek.
  "Ini urusan pidato gadis cilik. Apa salahnya seorang gadis cilik berpidato atau menjadi orator?" tanya cucu.
  "Memang siapa yang keberatan?" tanya kakek.
  "Ini kan diributi di tweeter dan menjadi viral, " jelas cucu.
  "Yang diributi kan bukan soal pidatonya, namun karena diunduh di media sosial dan masuk media cetak. Itulah yang diikuti sang penggiat sosial itu." kata kakek.
  "Lho, untuk apa anak kecil yang pidato diributin?" tanya cucu.
  "Begini itu. Yang dikomentari sang penggiat media sosial itu kan karena pidato itu diunduh di media sosial. Yang disindirnya adalah partai dan sang ayah yang mengunduh itu. Bapaknya yang tidak bijak membawa anaknya ke ranah publik dan politik, lalu ditanggapi orang. Siapa suruh bawa anaknya ke ranah itu. Itu yang harus diprotes." kata kakek.
  "Keduanya saya protes. Ayahnya yang mengunduh tidak baik. Kok mengeksploitasi anaknya ke ranah publik dan politik. Apa tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk mengajukan usul. Kenapa harus anak cilik? Tetapi yang menyindir ini juga kurang bijak. Kenapa pas anak cilik disuruh pidato baru dia menyindir partai itu. Langsung saja ke partai dan pengurusnya disindir? Semua kekanak-kanakan dan memanfaatkan anak-anak sebagai bahan eksploitasi," kata cucu.