Sebagai seorang mahasiswa Hubungan Masyarakat (Humas), saya merasa resah melihat semakin banyaknya mahasiswa Humas yang tampak kebingungan memahami esensi ilmu yang mereka pelajari. Alih-alih memahami konsep-konsep dasar seperti branding, image management, dan crisis communication, mereka seolah terjebak dalam sekadar teori tanpa mampu mengaplikasikannya.
Sayangnya, ketidaktahuan ini seringkali terungkap dalam proyek-proyek yang dihasilkan—dari pengelolaan citra yang tak sesuai hingga strategi krisis yang gagal, bahkan dalam aspek fundamental seperti membangun identitas, yang menjadi basis setiap upaya citra.
Saat ditanya tentang bagaimana membangun citra atau mengelola krisis, respons yang sering saya dapatkan dari beberapa mahasiswa malah justru penuh keraguan. Mereka tahu teori bahwa “citra adalah kesan atau gambaran yang terbentuk dalam benak publik” atau bahwa “manajemen krisis bertujuan untuk meminimalisasi dampak negatif pada reputasi.”
Namun, ketika diminta untuk mempraktikkannya, mereka seperti menghadapi jalan buntu. Padahal, dalam dunia kerja, kemampuan mengimplementasikan teori ini secara efektif adalah hal yang krusial.
Jika kita mengacu pada Corporate Reputation Review, disebutkan bahwa “a solid corporate reputation enhances stakeholder trust and increases resilience during a crisis” (Coombs, 2007). Artinya, reputasi yang kuat bukan hanya menarik perhatian publik, tetapi juga menjadi tameng yang kokoh saat krisis datang.
Namun, bagaimana seorang mahasiswa bisa memahami aspek ini jika mereka tidak mengerti konsep membangun reputasi sejak awal? Mereka seolah luput dari esensi dasar peran mereka sebagai image builder—yang harus mampu bukan sekadar menjaga, tetapi membangun citra dari nol.
Mengapa Kebingungan Ini Terjadi?
Ada beberapa faktor yang saya rasa berkontribusi terhadap kebingungan mahasiswa Humas. Salah satunya adalah kurangnya pendekatan praktis dalam pembelajaran. Di ruang kuliah, mahasiswa sering kali dicekoki dengan definisi dan teori yang, meskipun penting, tidak memberikan wawasan tentang bagaimana konsep-konsep ini diterapkan dalam skenario nyata.
Misalnya, mereka bisa menjelaskan konsep brand identity, tetapi tak banyak yang benar-benar mengerti langkah-langkah praktis dalam membangun identitas tersebut agar memiliki nilai autentik di mata publik.
Teori Goffman tentang self-presentation misalnya, menyatakan bahwa individu atau organisasi memiliki serangkaian teknik untuk menampilkan diri mereka kepada publik sesuai dengan citra yang ingin mereka ciptakan. Ironisnya, banyak mahasiswa yang tidak paham bagaimana mengaplikasikan konsep ini dalam organisasi atau perusahaan yang nyata.
Mereka tampak terjebak dalam paham bahwa “citra” hanyalah slogan, padahal citra lebih dari sekadar tampilan luar; ia adalah reputasi yang konsisten dibangun dan dijaga dengan strategi komunikasi yang matang.
Pentingnya Pemahaman Manajemen Krisis
Kebingungan mereka dalam manajemen krisis juga patut dipertanyakan. Sering saya jumpai mahasiswa yang bahkan belum menyadari pentingnya perencanaan matang dalam menghadapi krisis. Dalam bukunya Crisis Management and Communications, W. Timothy Coombs menyatakan bahwa “krisis tidak bisa dihindari, namun dampaknya bisa diminimalisasi melalui persiapan.”
Jika mahasiswa Humas tidak memahami hal ini, bagaimana mungkin mereka bisa diharapkan untuk menangani situasi kritis yang memerlukan respons cepat dan terukur?
Manajemen krisis adalah tentang persiapan, respons, dan pemulihan, yang semuanya harus dikelola dengan teliti agar reputasi tetap terjaga. Krisis bukan hanya masalah teknis; ia adalah masalah reputasi. Dan jika mahasiswa tidak bisa mengaitkan teori dengan penerapannya dalam situasi nyata, maka mereka tidak hanya gagal sebagai praktisi Humas, tetapi juga sebagai profesional yang diharapkan bisa menjadi wajah representatif sebuah organisasi di mata publik.
Pentingnya Membangun Identitas dan Image
Lebih menyedihkan lagi adalah ketika mereka tidak bisa memahami esensi identity building dan perbedaan antara identitas dan citra. Sebuah identitas adalah cerminan dari values dan misi yang dipegang oleh perusahaan atau organisasi.
Tanpa pemahaman yang mendalam mengenai identitas, mereka akan sulit membangun image yang sejalan dengan nilai-nilai inti yang ingin disampaikan. Identitas bukan hanya sekadar logo atau slogan, melainkan juga bagaimana organisasi itu dikenal dan diingat.
Para mahasiswa Humas harus memahami, seperti yang diungkapkan oleh Dowling (2001) dalam Creating Corporate Reputations, bahwa “identity is what the organization believes it is, while image is how the organization is perceived by others.” Tanpa pemahaman akan konsep identitas ini, segala upaya membangun citra hanyalah upaya kosmetik tanpa pondasi.
Membangun Kompetensi Humas yang Kuat
Sebagai calon praktisi Humas, kita perlu bertanya, apakah sistem pendidikan yang ada sudah cukup membantu mahasiswa Humas memahami peran dan tugas mereka dalam menciptakan serta menjaga citra? Apakah mereka mendapatkan cukup latihan dan studi kasus nyata yang dapat membantu mereka mempraktikkan teori di kehidupan nyata?
Di tengah dunia yang terus berubah dan penuh tantangan reputasi, seharusnya kita tidak lagi hanya mengajarkan teori tetapi juga mengajak mahasiswa berpikir dan bertindak sebagai seorang praktisi yang profesional.
Mahasiswa perlu diajarkan untuk berpikir kritis, merancang strategi komunikasi yang kuat, serta memahami bahwa citra dan reputasi bukan sekadar tugas formalitas, melainkan tugas esensial yang akan menentukan bagaimana publik memandang suatu organisasi.
Jika mahasiswa Humas tak dapat memahami peran mereka dalam membangun, menjaga, dan mengembalikan citra—serta mengelola krisis—lalu siapa yang bisa diharapkan untuk menjaga reputasi organisasi di masa depan? Sudah saatnya kita serius dalam mendidik mahasiswa Humas bukan hanya sebagai penghafal teori, tetapi sebagai profesional yang siap menghadapi tantangan nyata di lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H