Ini kisah tentang Cahaya. Mahasiswi cantik di Universitas biasa. Seorang perempuan yang telah lama memendam luka dalam hatinya. Ia selalu bercerita keluh kesah kepada Bunda dan sahabat-sahabatnya Er dan Santi. Ia barangkali, sangat susah bercerita kepada orang yang baru ia kenal, tak ada yang tahu, seberapa dalam kesakitan yang ia derita. Namun Cahaya telah berjalan bertahun-tahun dan luka itu tumbuh menjadi memori.
"Hanya ada satu cara memaafkan" begitu kata Santi. Wanita berkacamata yang selalu ada untuk Cahaya.
Cahaya diam dan menunduk.
"Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas, kita hanya mengikuti alurnya, sementara yang menentukan hanya semesta" begitu kata Er. Wanita bertubuh mungil yang senyumnya manis mengalahkan gula jawa.
   Cahaya hanya bisa diam dan menangis berseduh-seduh. Inikah sebuah arti kehilangan? Selalu pergi dan tak kembali. Kenapa selalu ada kata "di setiap pertemuan mengharuskan perpisahan". Kenapa harus ada kata itu? Ku berdiam diri pesisir pinggiran danau, dahulu kita sesekali bermain dan berceita di tempat ini, apakah kau ingat tempat ini? Sempat menjadi tempat pengaduan bagi air matamu.
"Bunda kenapa orang-orang yang ku sayangi selalu pergi dari dengkapan ku? kenapa aku selalu, bahkan harus merelakan mereka semua pergi".
"Ini semua takdir yang telah semesta ciptakan untuk Cahaya, semesta tidak akan lakukan ini kalau memang yang telah pergi itu menjadikan Cahaya lebih kuat dan tabah" begitu kata Bunda. Tangannya Sambil mengelus rambut Cahaya.
"Bun apa aku bisa, mengalami ini lagi?"
Bunda mengangguk dan langsung memeluk Cahaya sambil berkata "Belajar memaafkan, menerima dan melupakan nak Cahaya"
   Lelaki itu datang membawa gadis yang cantik, hatiku hancur, sebelumnya ku tak tau apakah gadis itu hanya sebuah teman atau sebaliknya. Dan kita berkenalan di sebuah kantin kampus. Di antara rasa hening dan kerinduan yang memekak, aku telah menyukaimu. Akan selalu ada satu cerita dalam kehidupan yang begitu sulit untuk dilupakan. Kesunyian tidak akan pernah berarti jika kau adalah seseorang yang ku tunggu. Rasa sepi tidak akan pernah bisa untuk ku nikmati jika kesendirian adalah hal yang paling ku benci.
Dua Minggu berlalu, kita kembali bertukar sapa lewat chat yang begitu singkat. Awalnya ku ragu tentang dirimu tapi tiap mendengarkan ceritamu entah kenapa, hadirmu mengisi kekosongan di ruang sepi yang sudah lama ku tunggu.
   Pertemuan ke dua dengan dirimu begitu semangat dan hati ini mengebu-gebu, apakah kau merasakannya? Kita yang berbeda, kita yang tak sama. Pertemuan yang telah menghadirkan cerita-cerita rahasia yang kita miliki terbuka dengan perlahan hinggap di sebuah pemilik hati yang seharusnya ia singgahi. Tapi ku tak yakin bisa memiliki mu karna perbedaan dan pertemuan yang singkat yang telah kita lalui.
"Aku bahagia telah mengenal mu"
"Trima kasih" kata ku sambil tersenyum kepadanya
"Kenpa kamu begitu baik kepada ku dan semua orang yang baru saja mengenal mu?"
"karna tidak ada alasan untuk membenci pertemua yang baru saja di pertemukan, sudah kewajiban ku untuk baik ke semua orang, bahkan orang yang baru saja ku kenal, sama seperti mu"
"Kamu suka bertemu dan berkenalan dengan orang baru?" sambil menatap bola mata lebih dalam kepada Cahaya.
"Aku suka dan aku senang, berkenalan dan memulai lembaran baru kepada semua orang"
"Perbedaan ku terlihat jelas bahwa kita sangatlah berbeda, aku tidak suka itu dan bagi ku itu hal yang tidak perlu dan satu hal lagi, kau berhijab" sambil membuang muka melihat jalanan.
Aku terdiam dan hanya bisa terdiam, ku memberanikan diri untuk bertanya.
"kenapa?" kata ku
"Aku mempunyai sisi untuk menyendiri, dan tidak suka bertemu orang banyak, teman-teman ku bilang sih aku mempunyai kepribadian introvert. Mungkin benar. Dan kamu berhijab menandakan kamu seorang muslimah, dari tutur bicara mu dan pakaian mu. Sungguh berbeda dengan kalangan wanita yang ku lihat. Tapi setelah bertemu dan mengenalmu aku tertarik untuk pergi dari zona nyaman yang menurut orang-orang ini aneh" sambil menatap mata Cahaya dengan dalam.
"Ajari aku untuk seperti mu dan temani aku"
    Kebahagiaan dan kesedihan tidak pernah memandang keaadan. Ia kerap hadir pada waktu yang kadang tidak kita inginkan. Mengenalimu sekaligus memilikimu suatu anugrah yang semesta kirimkan untuk ku, sudah lama kepergian Papah tidak ada lagi dengkapan dan kehangatan untuk anak perempuan yang masih butuh akan hal semua itu. Perbedaan kita yang selalu muncul di pikiran mu tetapi tidak bagi ku. Kita akhirnya pun bersama. Perasaan cinta yang datang setelah kita melewati hari singkat bersama. Kehangatan mu menggantikan sosok dulu yang ku nantikan. Kau yang nyata.
Tiga bulan berlalu kita masih diberi kesempatan untuk memegang janji untuk bersama tapi juga tiga bulan ini kau hempaskan aku ke macam mana arah. Yang terbuai oleh angin hingga diriku terhempas dan sembunyi.
"Ada apa?
"Engga ada apa-apa"
   Aku bingung tentang dirimu, kau secepat itu dengan mudah meluluhkan hati dan perasaan ku, tapi tidak dengan kau. Entah kenapa, perbedaan yang selalu engkau pertanyaakan. Kenapa harus itu. Kau seolah-olah meratapi kesalahan mu, ku tak mengerti semua yang kau pikirkan itu baik menurut mu tapi tidak dengan ku. Waktu itu kau baru saja menemui ku, kamu mencoba berbicara, berjalan setap demi setapak. Barangkali, ada yang kamu sampaikan kepada ku.
"Sebentar saja" Cahaya memohon.
"Maaf jika ini membuat mu terluka"
"Bukan kah seharusnya kita kompromi dulu? Bukan nya lari."
   Saat itu, ia hanya mengucapkan maaf yang berulang-ulang. Sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Cahaya sendirian. Namun Cahaya tak tinggal diam. Perempuan itu kini bersimpu di hadapan ibunya.
"Bu Restui aku bu," ucapnya
"Tentang laki-laki itu?"
Aku menunduk "Iya bun"
"Jangan, nak".
"Bunda tidak menyukai laki-laki itu?"
"Bukan." Wanita itu mengelus-ngeluskan rambut Cahaya
"Tak baik bersama menjalanin cinta dengan laki-laki yang berbeda agama dengan kita."
"Tapi bun,"
"Lebih baik jangan nak."
    Seperti ada ombak pecah membentur dada Cahaya. Ia baru sadar Cinta berbeda keyakinan pun tidak bisa di satukan, Cahaya hanya memohon kepada Allah yang Maha Baik. Kirimkan laki-laki yang baik untuknya, agar kelak menjadi imam yang baik untuk Cahaya nanti. Dia mendekati Bunda nya itu dan langsung memeluk erat sambil berkata.
"Maafkan aku bun, aku sungguh-sungguh minta maaf, ternyata Allah benar, laki-laki itu tidak baik untuk Cahaya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H