Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dihadapkan dengan peningkatan kasus yang signifikan pada kasus bunuh diri dikalangan mahasiswa. Fenomena ini menjadi perhatian khusus karena melibatkan generasi muda yang merupakan masa depan bangsa. Dilaporkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan ini, termasuk tekanan akademik, isolasi sosial, masalah finansial, dan minimnya akses ke layanan kesehatan mental. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kasus-kasus ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi mencerminkan krisis kesehatan mental yang lebih luas di lingkungan pendidikan tinggi.
Mahasiswa sering kali dihadapkan pada harapan yang sangat tinggi dari keluarga dan masyarakat. Mereka dituntut untuk meraih prestasi akademik yang luar biasa. Tekanan ini dapat menyebabkan kecemasan, stres berlebihan, dan depresi jika tidak dikelola dengan baik. Menurut laporan yang diterbitkan oleh Journal of Educational Psychology, kecemasan terkait performa akademik merupakan salah satu penyebab utama gangguan mental di kalangan mahasiswa. Tekanan untuk mempertahankan nilai yang tinggi dan kekhawatiran tentang masa depan sering kali membuat mahasiswa merasa tidak mampu untuk mengatasi beban tersebut.
Tidak hanya itu, banyak mahasiswa merasa bahwa gagal akademik berarti gagal dalam hidup. Pandangan ini diperburuk oleh tekanan dari keluarga yang berharap anak-anak mereka dapat mencapai kesuksesan akademik sebagai jaminan masa depan. Keluarga sering kali tidak menyadari dampak dari harapan yang tinggi bagi anaknya yanng sedang menempuh pendidikan. Harapan yang terlalu tinggi tanpa disertai dukungan emosional dapat memicu perasaan tidak berharga, yang pada akhirnya mendorong mereka ke arah tindakan bunuh diri.
Isolasi sosial juga menjadi faktor yang penting terhadap krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang jauh dari keluarga sering kali mengalami kesepian, terutama jika mereka tidak memiliki jaringan sosial yang kuat di kampus. Studi dari WHO menyebutkan bahwa isolasi sosial dapat memperburuk kondisi mental mahasiswa, khususnya mereka yang sudah mengalami gejala depresi atau kecemasan.
Sementara itu, akses terhadap layanan kesehatan mental di banyak universitas masih sangat terbatas. Hanya sedikit kampus yang menyediakan konseling psikologis secara memadai, dan stigma terhadap gangguan mental membuat banyak mahasiswa malas mencari bantuan. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association, disebutkan bahwa 60% mahasiswa dengan gejala depresi dan kecemasan tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan karena rasa malu atau takut dianggap lemah.
Seperti pada kasus yang baru saja terjadi , di mana seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES) ditemukan tewas gantung diri di kamar kosnya pada Oktober 2024. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya kesehatan mental di tengah tekanan akademik dan sosial yang dihadapi mahasiswa. Tekanan yang dialami mahasiswa tersebut, seperti kekalahan dalam judi online dan rasa putus asa, mengungkap betapa rapuhnya kesejahteraan mental jika tidak ada dukungan yang memadai.
Krisis ini perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, baik universitas, keluarga, maupun pemerintah. Ketidakmampuan untuk mengelola tekanan seperti tugas akademik, ekspektasi keluarga, dan masalah pribadi memperparah kondisi mental yang akhirnya memicu tindakan yang tidak diinginkan. Pertama, universitas harus mengambil langkah dengan menyediakan akses yang lebih mudah dan luas ke layanan konseling psikologis. Pemerintah dan lembaga pendidikan harus berkolaborasi untuk memperkuat program kesehatan mental di kampus. Kampanye untuk mengurangi stigma terhadap gangguan mental perlu diperkuat, dan tenaga profesional di bidang kesehatan mental harus ditingkatkan jumlahnya, terutama di lingkungan pendidikan tinggi.
Selain itu, keluarga juga memegang peranan penting dalam mendukung kesehatan mental mahasiswa. Orang tua diharapkan tidak hanya memberikan tekanan akademik, tetapi juga dukungan emosional. Mahasiswa membutuhkan ruang untuk berbicara tentang kekhawatiran mereka tanpa takut dihakimi atau mengecewakan harapan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H