Mohon tunggu...
Aldea Noor Alina
Aldea Noor Alina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

HIMAGE - ITS, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan Sesama Jenis: Bagaimana Menyikapinya

14 Agustus 2014   06:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:36 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini saya baca sebuah artikel yang memberitakan berita luar negeri, tentang seorang bocah laki – laki yang menyurati salah seorang perdana menteri yang menentang pernikahan sejenis. Dia tuliskan, “kenapa pernikahan ibu – ibu saya yang lesbian dilarang, apakah hubungan itu menyakiti anda?”. Well, itu kalimat yang cukup membekas. Karena biasanya kalimatnya anak kecil itu representasi hati kecil yang paling jujur, namun juga mungkin yang paling mentah karena kurangnya garam hidup. Percaya atau tidak, semakin dewasa kita, maka semakin buram bentuk benar dan salah bagi kita. Itulah mengapa, saya tumbuh dewasa menjadi orang dengan paham fungsional. Yang ada sudah bukan lagi salah atau benar, yang ada adalah apa yang paling bisa diterapkan dan apa yang paling bisa kita terima akibatnya. Rokok tidak bisa salah, rokok tidak bisa benar, tergantung apakah kita ini dokter atau budayawan slengek yang paham benar jalan kerja otaknya. Pelacur bisa salah, pun bisa benar, tergantung apakah kita ini istri – istri yang takut suaminya bejat, ataukah kita yang berpikir “kalau hanya ingin makan nasikenapa harus repot buat dapur”. Kebenaran yang hakiki adalah apa yang kita percayai masing – masing, maka wajar jika muncul kalimat klise “nang ndunyo iku ra ono sing sempurno”. Sama juga dengan regulasi, peraturan hukum, maupun undang – undang, tidak akan pernah dia menjadi sempurna bulat di mata tiap anggota dewan yang ikut merumuskan. Itulah kenapa, baiknya regulasi adalah yang tidak menyangkut pautkan dengan prinsip moral yang mampu memicu “benar” dan “salah”. Contohnya, UU Pornografi yang ternyata memicu bias pandangan masyarakat yang sulit bertemu. Moral itu perspektif dan dinamis. Bandingkan dengan isu kenaikan BBM atau penghapusan UNAS. Kalau isu ini (seharusnya) tidak rumit kita temukan titik mufakat, karena ini isu logis, bisa dihitung dan ditafsirkan akibatnya dengan angka.

Cepat atau lambat, bukan tidak mungkin muncul wacana kebutuhan regulasi maupun payung hukum tentang pernikahan sesama jenis. Dan tidak perlu kita hindarkan, karena pada dasarnya, semua isu – isu di atas adalah ujian kedewasaan bagi kita sebuah Negara demokrasi, termasuk juga isu yang menyangkut pautkan dengan moral sebagai pertimbangan.

Beberapa aturan dan regulasi cukup banyak yang menjadikan Kitab dan pandangan dalam agama tertentu sebagai pedoman implikasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Alasannya tentulah bukan karena anggota dewannya malas merumuskan aturan perdana perdata, melainkan bisa karena suatu Kitab agama memuat nilai falsafah hidup yang memjadi landasan berperilaku masyarakat dan dianggap baik sejak lama sehingga nilai hidup yang baik itu mendapat stigma sebagai nilai yang “benar”, juga bisa karena pada dasarnya tujuan kitab agama dan tujuan hukum dalam bernegara sebenarnya mampu bersinggungan untuk menciptakan kehidupan sosial yang teratur dan memungkinkan tiap manusianya memperoleh keamanan diri, hanya yang satu banyak didapatkan dari hubungannya dengan Tuhan sementara yang satu dijamin dengan adanya lembaga penegak hukum.

Bagaimanapun pandangan agama, katakanlah Islam sebagai agama mayoritas, maupun agama yang lain menempatkan hubungan sejenis sebagai sesuatu yang dilarang dan tidak diperkenankan terjadi apalagi legalnya dalam bentuk pernikahan. Negara yang menggunakan paham Islam sebagai landasan negaranya sekaligus akan bertindak lebih tegas dalam melakukan pelarangan – pelarangan hubungan sejenis. Tidak hanya sanksi sosial namun juga sanksi hukum. Menjadi tegas bagi masyarakatnya untuk turut memperingatkan para pelaku hukuman sejenis, termasuk turut serta juga menghukumnya sebelum sampai di tangan lembaga hukum. Tapi benturkanlah isu ini dengan istilah “hak asasi” maka akan muncul pendapat lain lagi sebagai akibatnya.

Perasaan kasih dan cinta manusia memang rahasia Tuhan yang lain lagi, kita bisa cinta mati dengan laki – laki yang menyakiti kita pun mati – matian, kita mencintai suami dari saudara kita sendiri, atau lagi kita mencintai yang jenis kelaminnya sama dengan kita. Sama jenis kelamin, artinya alat reproduksinya pun tidak memungkinkan terjadinya hubungan intim, tapi ternyata manusia memang pandai mencari celah, celah dalam hati, celah juga dalam hubungan badan. Dan kita akan sulit memahami ini, karena kebetulan kita tidak mengalami perasaan yang rumit – rumit seperti itu. Cinta pun ternyata ada moral dan aturan mainnya.

Negara kita bukan Negara Islam, tapi benar jika dikatakan Negara kita adalah Negara dengan penganut Islam terbesar, terdapat peraturan Negara yang didiferensiasi dari kitab agama. Lalu bagaimana baiknya sikap Negara mengenai wacana Pernikahan sesama jenis?

Saya hentikan dulu pada bagian ini, karena saya ingin menekankan bahwa ini adalah pendapat saya pribadi.

Kita adalah Negara demokrasi dan menghormati hak tiap warga Negara untuk mengungkapkan pendapat dan diakomodasi kebutuhannya. Maka kita sekalipun masyarakat sebagai bagian eksekutif lapis bawah tidak berhak melakukan penghakiman atas saudara kawan sejawat kita yang melakukan dan memilih hidup sebagai pasangan sejenis. Sikap ini harus diakomodasi oleh Negara, dalam artian Negara mendukung masyarakatnya yang hidup sebagai pasangan sejenis untuk memperoleh rasa aman terhadap hajat hidupnya selama tidak menimbulkan gangguan ketertiban pada masyarakat dan menindak segala tindak intimidasi pada kaum pecinta sesama jenis. Saya pikir selama ini Negara sudah cukup memberikan contoh baik dengan tidak menyetujui adanya tindak diskriminatif.

Namun, untuk pernikahan sesama jenis. Maka harus dipahami bahwa hajat pernikahan adalah untuk menjamin legalisasi hukum dua pasangan, termasuk di dalamnya nanti pengaturan status anak maupun materi. Kita tidak seharusnya memaksakan pemerintah melakukan penerimaan legal terhadap yang melanggar apa yang tertulis pada kitab agama. Karena artinya Negara itu sendiri telah melakukan penistaan agama yang selama ini dilarang dalam hukum. Pada dasarnya setiap agama tidak dipercaya untuk memasung hak asasi namun turut menjadi pedoman dalam memperoleh perdamaian. Sehingga mungkin, ada benarnya pemerintah memilih sikap yang netral dalam menanggapi pernikahan sejenis. Tidak memfasilitasi, namun juga tidak tegas melarang.

Legalisasi pernikahan sejenis nantinya berpotensi mengakibatkan bias nilai sosial pada kehidupan bermasyarakat.

Tapi, kitab agama adalah sebuah pedoman ideal untuk menjamin kehidupan manusia yang lebih baik. Namun, seperti yang saya katakan itu adalah pedoman ideal, jika kita memilih jalan yang lain, yang bukan ideal, mengapa jalan itu harus menjadi salah. Yang satu memilih jalan berputar-putar berlumpur tapi dia rasakan senang karena selama berjalan dia temui banyak toko. Yang satu berjalan di atas aspal lurus namun ah, jurang besar ada di depannya. Ya, selama tujuan kita sama, kita akan tetap bisa bertemu. Di keabadian surgawi.


--Calon MT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun