Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal "Kelong" Nelayan Bintan yang Seharga Mobil

10 Juni 2017   10:13 Diperbarui: 13 Juni 2017   10:47 3475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puluhan Kelong khas Bintan di Laut Bintan. Dok.Pribadi

Penulis sudah hampir lima tahun bertugas di Desa Malang rapat, Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Hari-hari menyaksikan puluhan kelong bertebaran di laut Bintan. Setiap pagi para nelayan menjemur ikan bilis sejenis ikan teri di sepanjang jalan desa hasil dari melaut dengan kelong. 

Bentuk Kelong milik nelayan tersebut di awal bertugas memang terlihat aneh, sebab tidak pernah dilihat di daerah lain. Hanya saja keunikan tersebut tidak begitu dihiraukan, dianggap saja suatu keunikan biasa masing-masing daerah. Seiring waktu, penulis mendengar perbincangan warga kalau ternyata harga kelong tersebut seharga mobil bisa mencapai 150 juta Rupiah! 

Penulis terkejut. Ah apa iya? Terus apa sanggup nelayan yang hidup seadanya tersebut mampu membeli Kelong seharga tersebut. Penulis pun tergerak untuk menelusuri lebih jauh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertama sekali ditemani salah seorng warga penulis berkunjung ke rumah pembuat Kelong Khas bintan tersebut. Pembuatnya Pak Wa bersaudara orang bersuku Tiongha yang tinggal di rumah sederhana di Desa Pengudang. 

Penulis bersama pembuat Kelong di Pengudang. Dok.Pribadi
Penulis bersama pembuat Kelong di Pengudang. Dok.Pribadi
Dari informasi yang diperoleh dari beliau, harga Kelong sekarang ini memang sudah mencapai seharga Rp. 150 juta,- penyebabnya adalah semakin langkanya kayu khusus untuk membuat Kelong. Kayu tersebut sudah tidak ada lagi di Pulau Bintan, karenanya musti di datangkan dari Pulau Lingga yang butuh berhari-hari sampai ke Pulau Bintan. Biayanya pun besar selain harga kayu yang mahal juga ditambah biaya mengurus administrasinya, pungutan di laut, upah kapal dan orang yang membawanya.  

Mereka pun sudah berbulan-bulan tidak lagi membuat Kelong, pasca penangkapan kayu yang didatangkan salah satu pengusaha Kelong yang ternyata ilegal atau tidak lengkap administrasi. Mereka yang memesan Kelong kini tidak bisa lagi dilayani. Mereka hanya menerima jasa perbaikan Kelong dari para pemilik Kelong. Puluhan kelong yang ada di laut sekarang itupun kebanyakan Kelong lama yang sudah berumur 3-7 tahun. 

Dari tempat beliau penulis berkunjung ke lokasi pembuatan kelong. Di lokasi tersebut sudah ada empat kelong yang naik ke darat untuk diperbaiki. Disana penulis berjumpa dengan Pak Mun yang sedang memperbaiki Kelongnya. Dari Pak Mun menulis mendapat cerita banyak tentang Kelong. 

berada-ditempat-pembuatan-kelong-593b5c54a71c8309a9172472.jpg
berada-ditempat-pembuatan-kelong-593b5c54a71c8309a9172472.jpg
Cerita Pak Mun, tidak semua orang bisa membuat kelong yang tahan hingga 5-8 tahun di laut. Pembuat Kelong adalah tukang-tukang khusus yang sudah terlatih dan berpengalaman. Kelong ini bahan dasarnya adalah kayu gelondongan berbagai ukuran yang diikat-ikat persegi empat, di bawahnya diberi drum-drum untuk mengapung, lalu dilengkapi mesin kapal dan jaring serta dipasang papan di atasnya, dipasangi lampu-lampu dan diberi rumah-rumahan untuk tempat memasak ikan hasil tangkapan sekaligus tempat istirahat nelayannya.

Untuk naik kelong banyak pantangan yang harus dijaga, di antaranya wanita yang lagi haid tidak boleh naik ke kelong, tidak boleh bawa sandal dari darat, kecuali sandal yang memang disiapkan dikelong, perbanyak berdoa, sebelum Kelong turun ada upacara khusus seperti menyediakan nasi kuning, daun-daunan khusus, air yang didoakan  dan lain sebagainya. 

Kelong-kelong yang ada dilaut sekarang ini ternyata sebagian besar bukan milik nelayan setempat, Kelong itu dimiliki oleh orang-orang tertentu saja karena harganya yang sangat mahal. Kebanyakan pemilik Kelong kalau tidak"Toke Tiongha" begitu masyarakat setempat menyebutnya, selebihnya adalah sebagian kecil milik nelayan setempat yang cukup berada. 

Kelong-kelong Milik Toke Tiongha dioperasikan oleh masyarakat setempat atau pendatang dari luar pulau Bintan dengan sistem bagi hasil 50:50, sedang yang milik nelayan setempat biasanya dikelola sendiri. Satu Toke Tiongha bisa punya 10 sampai dengan 20 buah kelong, sedang yang milik nelayan setempat paling hanya satu atau dua buah saja. 

Penulis, berkesempatan untuk menjajal kelong yang dikelola oleh Pak Mun ini ke tengah lautan. Sembari meluat beliau bercerita Kelong beliau ini adalah milik orang Kijang. Kelong ini dulu dibeli seharga Rp. 110 juta rupiah oleh pemiliknya. Selain itu kita juga harus punya kapal kayu untuk penarik kelong ke laut, harganya sekitar 30- 40 juta rupiah. Dalam satu tahun Kelong hanya beroperasi selama delapan bulan saja. Selama empat bulan Kelong istirahat melaut karena musim hujan dan badai. Tangkapan utama kelong adalah ikan bilis atau ikan teri, selebihnya bisa juga dapat ikan, sotong dan lain-lain.

Penulis ikut kelaut dengan Pak Mun dan keluarganya. Dok. Pribadi
Penulis ikut kelaut dengan Pak Mun dan keluarganya. Dok. Pribadi
Pak Mun bercerita Jika cuaca bagus, laut tidak dicemari oleh minyak dari kapal-kapal besar yang parkir ditengah laut, maka dalam satu malam Kelong bisa menghasilkan 20-100 ancak ikan bilis, satu ancak setara dengan 5 kg ikan bilis kering selesai dijemur. Harga satu kilo ikan bilis di toke adalah Rp. 40 ribu. Jika dapat 50 ancak saja semalam, maka 5 kg x 50 ancak = 250 Kg. Hasil ini jika dijaikan duit 250 kg x Rp. 40 ribu = Rp. 10 juta/malam. Bila sistem bagi hasilnya 50:50, maka Pak Mun dan pemilik kelong membawa duit pulang masing-masing Rp. 5 juta/malam!

Penulis nyeletuk, wah banyak juga hasilnya ya pak! Pak Mun tertawa, lalu beliau menjawab itu dulu, dua tahun terakhir ini hasil tangkapan Kelong jauh menurun. Hasil tangkapan yang banyak dulu itu hanya tinggal kenangan. Pak Mun tidak mengerti apa penyebabnya. Pak Mun sendiri sekarang ini hanya bisa membawa 5-10 ancak saja per malam. Pak Mun memprediksi penyebabnya karena banyaknya kapal -kapal besar ditengah laut yang mencemari lautan.  Kapal-kapal besar itu selalu kencing minyak hitam ditengah laut. Minyaknya sering dijumpai dipantai mengumpal-ngumpal dipantai. 

Di akhir cerita Pak Mun juga curhat bahwa menangkap ikan bilis dengan kelong banyak suka dukanya. Kalau rezki tidak bagus, kadang bermalam-malam tidak dapat apa-apa. Apalagi kalo laut dikotori minyak dari kapal-kapal besar yang parkir, alamat tidak melautlah hingga minyak itu habis menjadi gumpalan hitam ke darat, kadang perlu sebulan baru laut bersih kembali, keluh Pak mun.

Pak Mun berharap pemerintah setempat cepat tanggap melihat keadaan ini. Selain itu Pak Mun juga berharap pemerintah bisa membantu nelayan setempat bisa memiliki Kelong sendiri. Kemudian pengurusan kayu-kayu untuk membuat kelong juga jangan dipersulit sehingga harga Kelong bisa lebih murah.

Pengamatan penulis pekerjaan mengelola kelong ini ternyata sangatlah sulit dan harus terlatih. Penulis memperhatikan saja bagaimana pak Mun bersama anaknya bekerja, karena penulis tidak tahu mau bantu apa, apalagi dilarang pak Mun, bapak tidak usah ikut bantu-bantu ketika saya mencoba memegang tali kelongnya ikut menariknya, kata beliau dulu ada korban meninggal orang jatuh ke laut karena tidak paham menarik tali kelongnya.

Pak Mun bertindak sebagai pembawa kapal penarik kelong, sedang anaknya mengawasi tali kelong yang diikat ke kapal, Pak Mun harus tahu jalurnya, kalo tidak kelong bisa nyangkut di  batu cadas.  Sesampai ditengah laut jangkar kelong dilepas, lalu dipasang semua jaring, lampu dan sebagainya. Setelah itu kembali ke darat, kelong ditinggal begitu saja, di kejauahan nampak banyak sekali kelong yang sama. Kata Pak Mun jumlah kelong yang terdaftar hampir 80 an lebih yang terdaftar di koperasi desa. Sorenya baru Pak Mun dan anaknya kembali ke Kelong untuk berjaga semalaman menjaring ikan bilis.

Ikan bilis hasil tangkapan Pak Mun yang lagi dijemur. Dok. Pribadi
Ikan bilis hasil tangkapan Pak Mun yang lagi dijemur. Dok. Pribadi
Demikianlah cerita Kelong di Pulau Bintan, yang harganya seharga mobil. Yang ternyata sebagian besarnya dimiliki oleh Toke-toke orang Tiongha. Pak Mun dan nelayan setempat lainnya hanyalah pengelola dengan bagi hasil 50:50 atau jadi pekerja gajian biasa. Semoga kelak kelong-kelong tersebut bisa juga dimiliki sendiri oleh nelayan setempat. Tentunya kalo kayu sudah tidak lagi langka dan harga kelong terjangkau, tidak semahal sekarang.

Salam....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun