Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

(FFA) Bunga dan Ilalang

18 Oktober 2013   12:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:22 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya : Mustafa Kamal (Nomor peserta: 111)

Namaku mawar. bentuk tubuhku langsing dan ada duri-duri tajam yang unik disekujur tubuhku. Jika ada orang yang tak hati-hati menyentuhku maka tangannya akan terluka oleh duri tajam itu. Hebat kan? Lebih hebat lagi ibu dan kakak-kakakku, mereka punya mahkota berupa bunga yang indah berwarna merah. Kata ibuku kami adalah bungan kesayangan dewi venus, dewi cinta yang terkenal itu. hihi...keren dah. Makanya tak heran, setiap orang yang melihat keluarga kami selalu berdecak kagum.

Di suatu pagi yang cerah aku bersama ibu, serta kakakku sedang asyik memasak di dapur menggunakan sinar matahari. Berfotosintesis, itu istilah kerennya. hehe. Ketika masakan dah selesai kamipun dengan riang gembira menyantap makanan enak hasil racikan ibuku. Ibuku memang hebat, tiada tadingannya. Kami cinta ibu selalu.

Tiba-tiba, kami dikejutkan dengan suara ribut-ribut. Ibu Edi pemilik lahan yang kami tinggali ini, datang menuju ketempat kami bersama seorang nenek berkacamata yang sudah renta. Oiya aku ingat namanya nenek Marul. Neneknya ibu Edi.  "Potong aja batangnya, nek? Tinggal tanam saja, bisa hidup kok walo  tanpa akar."

Mata kami terbelalak. Teringat kakakku yang dulu yang juga dipotong oleh saudaranya Ibu Edi yang lain, tak salah namanya Buk Niken, entah bagaimana nasib kakakku itu sekarang. Kabar terakhir dari sang angin, kakakku bahagia dengan anak-anaknya di rumah bu Niken. Waa..aku dah punya keponakan. Jadi kangen mereka. Pasti asyik bermain dengan ponakanku  yang lucu-lucu.  Hiks... !

Lamunanku terhenti, ketika melihat wajah ibu yang penuh kecemasan, juga kakak-kakakku.  Aku menoleh kearah pandangan mata mereka. Sebuah gunting menjepit tubuhku. Aku pucat, keringat dingin mengucur deras ditubuhku. Aku berteriak minta tolong."toolooooong...ibu...kakak!"

Tapi, ibu dan kakakku tak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya bisa menggoyangkan tubuhnya, berusaha menarikku. Goyangan itu  ternyata berakibat melukai tangan nenek itu. "Aduh...durinya tajam juga ya? teriak nenek Marul.Tapi sayang, tubuhku sudah terpotong berpisah dari tubuh ibuku. Aku menangis sejadi-jadinya. "huuuuaaa.......!  Kulihat, Ibu dan kakak-kakakku juga ikut menangis. Aku dimasukkan kedalam kantong plastik hitam, setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi, aku pingsan karena kekurangan udara segar.

Aku baru tersadar ketika air menyirami tubuhku. Pelan-pelan kubuka mataku, kulihat nenek Marul merapikan tanah disekelilingku. Kuperhatikan disekeliling, aku ditempatkan disebuah di sebuah pot yang cantik terbuat dari keramik putih. Aku diletakkan dipojok teras, tidak jauh disampingku ada lagi pot-pot dengan bunga lain yang cantik, ada melati, kamboja, dan lain-lain. Mereka semua tersenyum kepadaku.

Akhirnya aku mulai terbiasa hidup mandiri walau susah. Aku belajar memasak sendiri, menggunakan sinar matahari dan air yang selalu disirami ketubuhku setiap pagi oleh nenek Marul. Ketelatenan Nenek Marul merawatku sedikit demi sedikit menghilangkan rasa tak sukaku kepadanya karena telah memisahkanku dengan keluargaku.

Waktupun berlalu. Setiap saat aku selalu mendoakan agar ibu dan kakak-kakakku baik-baik saja sepeninggalku. Aku selalu titip pesan kepada angin agar mengatakan kepada ibu bahwa aku baik-baik saja. Jangan biarkan mereka cemas akan keadaanku,  Kabarkan juga pada mereka aku dah bisa memasak sendiri dan kini sedang menunggu mahkota bunga yang sebentar lagi akan mekar. Mereka pasti gembira mendengar kabar itu.  Aku ingin ibu tak khawatir denganku.

Suatu pagi, aku melihat ada makhluk kecil aneh keluar dari tanah disampingku. "Hei, kamu siapa? Tanyaku. Makhluk itu diam saja dan sepertinya ketakutan. "Hei, kenapa kamu bisa sampai disini?" tanyaku heran. Tiba-tiba dia menangis. "hei..cup..cup..maapkan aku. Jangan menangis dong..." Aku merasa bersalah. Aku memeluknya.

"Ow...huaaaaa...sakiit! Makhluk itu menangis lebih kencang. Aku tersadar, duri tajam ditubuhku mengenai tubunya. "Ups, maap-maap...! kataku. "Cup..cup..Jangan menangis, mulai hari ini aku menjadi kakakmu, kita saudara! okey." Aku terus membujuknya, hingga tangisnya reda. Aku belum tahu jenisnya, apakah dia sejenis bunga sepertiku atau tidak.

Hari-hari berlalu, kami saling berbagi. Sama-sama memasak memanfaatkan air, dan mineral bergizi dari kompos yang diberikan Nenek Marul dengan bantuan sinar matahari yang selalu setia datang pagi untuk membantu kami.  Makhluk kecil itu mulai tumbuh besar. Aku mulai mengenalnya. Ya, tubuhnya mirip-mirip ilalang tetanggaku dahulu.

Keluarga Ilalang  yang selalu hidup merana, mereka tak bisa tumbuh besar,  selalu dicabutin, dijemur dibawah sinar mentari hingga kering lalu dibakar oleh Ibu Edi pemilik lahan dimana kami tinggal. Mengerikan.Untung kami punya bunga yang indah, sehingga selalu dipeliahara dengan baik oleh Ibu Edi. Apakah nasib teman kecilku ini akan sama dengan saudara-saudaranya itu? Mataku berkunang-kunang. Aku sedih jika membayangkannya.

Kutatap lekat teman kecilku ini. Aku tidak ingin menceritakan perihal itu kepadanya.  "Hei, kamu makin besar aja...kamu makin cantik aja...ya? Godaku padanya. Pujianku membuatnya tersipu-sipu. Matanya berbinar. Aku bermaksud merangkulnya. Dia menghindar menunjuk duri tajamku. Kami tertawa bersama. Jika angin datang, dia sangat senang sekali menari menggoyang-goyangkan tubuhnya. Aku semakin tak ingin kehilangannya.

Siang ini sangat panas. Kumelihat nenek marul membuka pintu dan duduk diteras. "Ufh..panas kali ya cuacanya!" Mataku berserobok dengan matanya. Nenek Marul memperhatikanku.  "Wah....dah tumbuh pula ilalang di pot ini. Ufh! " Jantungku berhenti berdetak. Terbayang nasib ilalang kecil, temanku itu. Aku harap-harap cemas jangan sampai nenek Marul mencabutnya, membuangnya, akhirnya mati mengering karena cuaca yang sangat panas ini. Aku berdoa lirih."Ya, Tuhan..selamatkanlah temanku ini. Aamiin..!"

Doaku ternyata dikabul Tuhan.  Nenek Marul mendapat telepon, sepertinya dari Nek Icha yang cerewet itu yang hari-hari selalu mengerumpi dengan nek Marul.  'Terimakasih, Tuhan.." Nenek Marul terlihat masuk kerumah, sayup-sayup terdengar sesakali mereka ketawa cekikikan. Entah apa yang mereka obrolkan.  Yes!

Aku berpikir keras untuk menyelamatkan Ilalang cantik ini. " Lang, kamu harus segera pergi dari sini!" bisikku padanya. Ilalang kecil heran. "kenapa, kak? Tanyanya heran. "Kakak, tak bisa menjawabnya.  Kamu harus melanjutkan hidup, kamu harus bisa mandiri, seperti yang pernah kakak alami. Nanti sore angin akan datang bersama hujan, mereka akan membawamu ke suatu tempat! Jaga diri baik-baik ya dik?" Aku mengusap kepalanya dengan kelopak bungaku. Kulihat dia menangis.

Sesuai kesepakatanku dengan angin dan hujan, mereka datang tepat waktu. Angin berhembus kuat. Aku menggoyang-goyangkan tubuhku hingga menjatuhkan pot yang kami tempati ke tanah. Tanah tempat kami berpijak terburai. Hujan lalu turun dengan derasnya. Menghanyutkan sebagian tanah. Aku dan Ilalang jadi kotor. Tubuh kami penuh lumpur. Perlahan Ilalang mulai terseret air hujan, begitu juga aku. Ilalang mencoba menggapaiku. Aku ingin meraihnya. Tapi, demi kebaikannya aku urungkan. Ku menahan diriku dengan memelintangkan diri ke pagar.  Kumelihat ilalang jatuh ke sungai kecil depan rumah, timbul tenggelam. Air mataku jatuh. "Selamat jalan dik!" bisikku.

Setelah angin dan hujan pergi. Cuaca cerah kembali. Nek Marul terlihat tergopoh-gopoh menyelamatkanku. Menanamku kembali ke pot. Membersihkan tubuhku. Aku tersenyum. Untung ada Nek Icha yang menelepon nenek Marul, sehingga aku bisa menyelamatkan ilalang kecil sahabatku.

Ku mendengar kabar dari Angin kalau Ilalang kecilku sudah berjumpa saudara-saudaranya di sebuah padang yang indah yang disana ada sungai mengalir indah. Ilalang kecilku hidup di pinggir sungai, kini dia sudah berbunga kata angin. Bunganya berwarna coklat dan berujung runcing. Dia berpesan, ingin sekali membalas mencubitku dengan ujung runcingnya itu.  Aku tersenyum-senyum sendiri.

Perbuatan baik selalu membahagiakan.

NB.

Untuk membaca karya peserta lainnya silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul Inilah Perhelatan dan Hasil Karya Peserta Event Festival Fiksi Anak

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun