Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

(FFA) Bunga dan Ilalang

18 Oktober 2013   12:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:22 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ow...huaaaaa...sakiit! Makhluk itu menangis lebih kencang. Aku tersadar, duri tajam ditubuhku mengenai tubunya. "Ups, maap-maap...! kataku. "Cup..cup..Jangan menangis, mulai hari ini aku menjadi kakakmu, kita saudara! okey." Aku terus membujuknya, hingga tangisnya reda. Aku belum tahu jenisnya, apakah dia sejenis bunga sepertiku atau tidak.

Hari-hari berlalu, kami saling berbagi. Sama-sama memasak memanfaatkan air, dan mineral bergizi dari kompos yang diberikan Nenek Marul dengan bantuan sinar matahari yang selalu setia datang pagi untuk membantu kami.  Makhluk kecil itu mulai tumbuh besar. Aku mulai mengenalnya. Ya, tubuhnya mirip-mirip ilalang tetanggaku dahulu.

Keluarga Ilalang  yang selalu hidup merana, mereka tak bisa tumbuh besar,  selalu dicabutin, dijemur dibawah sinar mentari hingga kering lalu dibakar oleh Ibu Edi pemilik lahan dimana kami tinggal. Mengerikan.Untung kami punya bunga yang indah, sehingga selalu dipeliahara dengan baik oleh Ibu Edi. Apakah nasib teman kecilku ini akan sama dengan saudara-saudaranya itu? Mataku berkunang-kunang. Aku sedih jika membayangkannya.

Kutatap lekat teman kecilku ini. Aku tidak ingin menceritakan perihal itu kepadanya.  "Hei, kamu makin besar aja...kamu makin cantik aja...ya? Godaku padanya. Pujianku membuatnya tersipu-sipu. Matanya berbinar. Aku bermaksud merangkulnya. Dia menghindar menunjuk duri tajamku. Kami tertawa bersama. Jika angin datang, dia sangat senang sekali menari menggoyang-goyangkan tubuhnya. Aku semakin tak ingin kehilangannya.

Siang ini sangat panas. Kumelihat nenek marul membuka pintu dan duduk diteras. "Ufh..panas kali ya cuacanya!" Mataku berserobok dengan matanya. Nenek Marul memperhatikanku.  "Wah....dah tumbuh pula ilalang di pot ini. Ufh! " Jantungku berhenti berdetak. Terbayang nasib ilalang kecil, temanku itu. Aku harap-harap cemas jangan sampai nenek Marul mencabutnya, membuangnya, akhirnya mati mengering karena cuaca yang sangat panas ini. Aku berdoa lirih."Ya, Tuhan..selamatkanlah temanku ini. Aamiin..!"

Doaku ternyata dikabul Tuhan.  Nenek Marul mendapat telepon, sepertinya dari Nek Icha yang cerewet itu yang hari-hari selalu mengerumpi dengan nek Marul.  'Terimakasih, Tuhan.." Nenek Marul terlihat masuk kerumah, sayup-sayup terdengar sesakali mereka ketawa cekikikan. Entah apa yang mereka obrolkan.  Yes!

Aku berpikir keras untuk menyelamatkan Ilalang cantik ini. " Lang, kamu harus segera pergi dari sini!" bisikku padanya. Ilalang kecil heran. "kenapa, kak? Tanyanya heran. "Kakak, tak bisa menjawabnya.  Kamu harus melanjutkan hidup, kamu harus bisa mandiri, seperti yang pernah kakak alami. Nanti sore angin akan datang bersama hujan, mereka akan membawamu ke suatu tempat! Jaga diri baik-baik ya dik?" Aku mengusap kepalanya dengan kelopak bungaku. Kulihat dia menangis.

Sesuai kesepakatanku dengan angin dan hujan, mereka datang tepat waktu. Angin berhembus kuat. Aku menggoyang-goyangkan tubuhku hingga menjatuhkan pot yang kami tempati ke tanah. Tanah tempat kami berpijak terburai. Hujan lalu turun dengan derasnya. Menghanyutkan sebagian tanah. Aku dan Ilalang jadi kotor. Tubuh kami penuh lumpur. Perlahan Ilalang mulai terseret air hujan, begitu juga aku. Ilalang mencoba menggapaiku. Aku ingin meraihnya. Tapi, demi kebaikannya aku urungkan. Ku menahan diriku dengan memelintangkan diri ke pagar.  Kumelihat ilalang jatuh ke sungai kecil depan rumah, timbul tenggelam. Air mataku jatuh. "Selamat jalan dik!" bisikku.

Setelah angin dan hujan pergi. Cuaca cerah kembali. Nek Marul terlihat tergopoh-gopoh menyelamatkanku. Menanamku kembali ke pot. Membersihkan tubuhku. Aku tersenyum. Untung ada Nek Icha yang menelepon nenek Marul, sehingga aku bisa menyelamatkan ilalang kecil sahabatku.

Ku mendengar kabar dari Angin kalau Ilalang kecilku sudah berjumpa saudara-saudaranya di sebuah padang yang indah yang disana ada sungai mengalir indah. Ilalang kecilku hidup di pinggir sungai, kini dia sudah berbunga kata angin. Bunganya berwarna coklat dan berujung runcing. Dia berpesan, ingin sekali membalas mencubitku dengan ujung runcingnya itu.  Aku tersenyum-senyum sendiri.

Perbuatan baik selalu membahagiakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun