Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta Bukan Untuk Pemalas!

19 Juni 2012   07:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_196939" align="aligncenter" width="504" caption="Ilustrasi/Kampret (Ajie Nugroho)"][/caption] Tahun 2000-an saya mengadu nasib ke jakarta. Dengan modal gelar sarjana dibelakang nama, dirasa sudah cukup untuk bersaing di jakarta. Di dalam pesawat angan-angan saya melayang jauh. Setelah beberapa tahun bekerja di perusahaan saudara menimba pengalaman saya akan keluar dan buka usaha sendiri.   Siapa tahu  nasib baik, 10 tahun kedepan jadi pengusaha muda terkenal atau beruntung jadi abdinegara di ibukota. Angan-angan saya terhenti ketika Pramugari cantik dan seksi membagikan roti dan air mineral untuk penumpang. Anak buah saudara saya bernama Paijo yang menjemput di bandara membawa saya keliling jakarta sebelum mengantar saya ke rumah saudara. Saya menikmati gedung pencakar langit, jalanan lebar, mobil-mobil mewah, macet, polusi dan segalanya bersatu padu membentuk jakarta.Paijo adalah sopir pribadi sekaligus bodyguard nya saudara saya. Sudah 10 tahun lebih dia menjadi orang kepercayaan sang bos. Di perjalanan bang Paijo bercerita pengalamannya selama menjadi sopir sekaligus " sipir"  sang bos. Setelah bertemu saudara saya dan keluarganya sedikit bercerita tentang kampung, famili  dan sebagainya. Sang Bos karena waktunya pendek langsung menjelaskan deskripsi pekerjaan saya  yaitu sebagai pengentry data dikantor, bulan -bulan pertama saya belajar sambil mendampingi pegawai lama yang akan naik karir bulan depan. Saya disuruh memilih tinggal dirumah saudara saya itu, di mess perusahaan atau dirumah kontrakan dengan Paijo. Saya memilih tinggal dikontrakan bareng Paijo supaya lebih bebas.  Perumahan tempat Paijo dan keluarganya tinggal sangat sempit dengan banyak gang. Rumahnya seperti  rumah petak gandeng dua, saya dan paijo bersebelahan. Masing-masing rumah tak ada kamarnya. Rumah paijo saya lihat hanya disekat-sekat pakai triplek, ruang pertama untuk terima tamu, ruang ketiga paijo, istri dan anaknya tidur serta dibelakang tempat masak dan nyuci. Kondisi parit digang sangat kumuh, pemandangan didepan rumah orang sedang  dibelakang wc orang. Di perumahan itu banyak tinggal para pendatang bekerja sebagi swasta,  mahasiswa, kalau  pribuminya dagang  sayur ,buruh  bangunan dan lain-lain. Perumahan itu berada dijalan kebagusan gang Kelapa Peon, jakarta selatan dekat dengan kebun binatang ragunan sekitar 500m. Sedang tempat kerja saya di  kelender Jakarta Timur. Pagi-pagi sekali saya dan paijo sudah berangkat. Kami berangkat pagi jam 6.00 WIB untuk mengindari kemacetan. Kalau Paijo ada tugas luar kota bersama bos, saya naik angkot  M17  jurusan kelenteng agung - pasar minggu dengan ongkos Rp. 3000, lalu sambung lagi naik angkot M16 jurusan  pasar minggu- kampung melayu ongkosnya waktu itu juga Rp. 3000, dilanjutkan lagi naik metromini 506 jurusan kampung melayu  yang lewat kelender dengan ogkos Rp. 2000, sampai dikantor jam 8.00 pagi. Sulitnya Kehidupan jakarta sudah semakin terasa bayangkan untuk sampai ke tempat kerja memerlukan waktu 2 jam lebih apalagi kalo berangkat kesiangan bisa 4 jam dijalan karena macet. Tampang rapi, baju licin distrika dari  rumah sampai dikantor sudah basah dan lusuh karena keringat, oleh karenanya saya kalo berangkat pake baju kaus dan sampai dikantor diganti. Pulangnya juga makan waktu kurang lebih sama, kalau pulang jam 16.00 sampai dirumah sudah maghrib bahkan lepas Isya baru nyampe. Pekerjaan saya mengentry data tergolong enak untuk ukuran jakarta. Dikantor pun tak ada yang berani menegur saya, karena mereka tahunya saya adik nya si Bos. hehe...! Kadang saya dibawa oleh si bos meninjau gudang. Menemui rekanan dan sebagainya. Namun kondisi itu tidak membuat saya betah. Walau saya saudarany si bos, tapi apalah artinya saudara jauh. Gaji sama dengan karyawan lain. Gaji hanya cukup untuk bayar kontrakan Rp. 500 ribu/bulan, Transportasi 500 ribu/bulan, dan yang paling mahal adalah biaya "perut" yang bisa mencapai RP. 50.000/hari. Totalnya sebulan tak ada sisa. Dua tahun bekerja saya mundur dengan alasan mau ikut tes PNS, saya mendarat di Batam, Kepulauan Riau. Alhamdulillah , saya lulus PNS menjadi abdinegara di Kepri. Pengalaman yang singkat di Jakarta memberikan saya pelajaran banyak hal. Kehidupan di Jakarta memang keras, kalo tidak tabah tidak akan berhasil! Saudara saya itu dulunya hanya seorang penjual rokok kaki lima di Tanah Abang, pernah dikejar-kejar tantib, berpindah-pindah kontrakan dan sebagainya. Segala macam pekerjaan pernah dicobanya, buka bengkel, jualan martabak, berdagang kain di tanah abang, pernah bangkrut dan berhutang disana-sini, berkat ketabahan akhirnya mempunyai perusahaan distributor yang lumayan besar. Jelas, Jakarta bukan Untuk Pemalas!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun