Indonesia akan menyambut pemimpin dan wakil pemimpin baru 2 tahun mendatang. Dalam menyambut pemilu 2024 yang akan didominasi oleh banyak kaum muda, tidak menutup kemungkinan eksistensi kelompok golongan putih (golput) masih berpengaruh dalam penentuan presiden dan wakil presiden mendatang.Â
Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pilpres 2004 tingkat golput mencapai angka 23,30%, pada periode selanjutnya yakni Pilpres 2009 terdapat angka 27,45%, lalu pada Pilpres 2014 sebesar 30,42%, dan pada Pilpres 2019 mencapai 19,24%. Meskipun pada periode terakhir persentase golput menurun, tidak sepatutnya menyepelekan perihal kelompok golput yang masih berpotensi meningkat pada Pilpres 2024 mendatang.Â
Istilah golput muncul pada gelaran Pemilu perdana di era Orde baru, tepatnya pada 5 Juli 1971. Pada mulanya kelompok tersebut lahir karena protes dari para kaum muda dan mahasiswa yang menilai tak ada satu pun tokoh politik yang mewadahi aspirasi mereka. Salah satu tokoh yang memotori gerakan golput adalah Arief Budiman.Â
Ia berkampanye perihal golput kepada masyarakat di Gedung Balai Budaya Jakarta. Para aktivis golput juga mengajak masyarakat untuk mencoblos di luar gambar partai agar surat suara tidak sah. Sejak saat itulah kelompok golput berkembang dalam setiap pemilu hingga sekarang.
Intensi partai politik yang semakin mengagung-agungkan kekuasaan menjadi alasan utama terkikisnya kredibilitas masyarakat kepada para calon pemimpin dari partai manapun dan berujung pada keputusan untuk tidak memilih. Meskipun tujuan tiap partai politik ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan programnya, kerap kali program yang sejatinya diwujudkan demi kebaikan bersama tak terealisasi dengan nyata.Â
Menurut Ramlan Surbakti salah satu fungsi partai politik yakni proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat dan melalui sosialisasi politik inilah diharapkan masyarakat dapat mengetahui arti pentingnya politik beserta dengan instrumen-instrumen pendukungnya.
Pendidikan politik menjadi salah satu jawaban dari uraian permasalahan di atas. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu, Girindra Sandino, pemilihan mewajibkan upaya pendidikan politik bagi pemilih sebab memiliki peran sebagai ketentuan legalitas pemberian hak suara rakyat kepada pemimpin dalam mengelola pemerintahan. Maka dari itu pendidikan politik sejatinya menjadi dasar dalam memilih pemimpin apapun.Â
Kepemimpinan yang berbasis pemilihan tentu memiliki tujuan yang sesuai dengan konstitusi Indonesia yaitu menjaga kedaulatan rakyat.Â
Sebelum menjelajah lebih jauh terkait pendidikan politik, definisi pendidikan politik perlu dipahami secara sungguh. Menurut KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran maupun pelatihan. Sedangkan politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan.Â
Maka bila dikorelasikan sesuai dengan isi dari pasal 1 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik, pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Â
Sangat jelas diuraikan dalam Undang-Undang mengenai partai politik, bahwa pendidikan politik merupakan sebuah proses berarti tidak mungkin didapatkan secara instan dan jelas bukan hanya memaparkan visi misi politik suatu partai guna mendapatkan banyak perhatian massa. Melainkan mencapai tujuan yang lebih mulia yakni masyarakat dapat memahami peran dan fungsinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas apa saja yang perlu dimuat dalam pendidikan politik dan bagaimana cara mewujudkannya? Dalam Pasal 34 ayat 3b UU Partai Politik diuraikan bahwa pendidikan politik memiliki kaitan sebagai berikut: (a) pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan (c) pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.Â
Paparan tersebut telah menjelaskan secara rinci mengenai isi dari pendidikan politik yang mestinya menjadi kewajiban bagi setiap partai politik. Tidak hanya disosialisasikan ketika menjelang pemilu karena merasa perlu mendapatkan banyak suara dari rakyat, tetapi disebarluaskan secara berkala demi menunjang fungsi partai politik yang semestinya.Â
Sebenarnya pendidikan politik dapat dimulai sejak di bangku pendidikan. Akan tetapi banyak orang merasa bahwa politik merupakan ranah yang berbahaya bagi anak-anak, sehingga banyak sekolah pun menghindari kontak antar keduanya.Â
Penolakan pada politik berimbas pada minat dan keterlibatan pelajar yang semakin tergerus. Salah satu dampaknya pembengkakan persentase golput di tiap pemilu. Maka dari itu, kecenderungan sikap antipati pada politik perlu dikritisi sehingga pendidikan politik dapat sungguh diterapkan dalam tiap sekolah guna melatih diskresi para siswa dalam memilih pemimpin yang baik, benar, dan relevan dengan konteks zaman yang dihadapi.
Setelah keluarga, sekolah menjadi ruang lingkup yang mewadahi pengasahan pendidikan politik. Tentu tak hanya melalui pembelajaran formal saat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) saja, tetapi juga mampu diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan partisipasi seluruh siswa dalam memilih. Konkretnya proses pemilihan ketua kelas lingkup yang lebih besar ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).Â
Melalui proses itu siswa dilatih untuk berdiskresi secara matang dan mengikuti gerak-gerak batin dalam melihat calon pemimpin di kelas atau organisasi. Mulai dari langkah kecil tersebut para siswa yang nantinya akan berpartisipasi dalam pemilu tahun-tahun mendatang khususnya periode 2024-2029, mampu menggunakan hak pilihnya secara bijak tanpa perlu mengikuti kelompok golput.Â
Pertukaran gagasan kreatif antar siswa dalam diskusi kelompok atau debat juga menjadi langkah awal untuk membangun kehidupan demokratis dalam lingkup sekolah. Pendidikan politik semacam itulah yang kerap kali dihindari banyak pengajar, sehingga mematok stigma politik busuk yang mengandaikan kekuasaan bergelimang harta.Â
Padahal, sejatinya politik itu upaya memperjuangkan kepentingan, kebaikan bersama (bonum commune).Â
Sumber :Â
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/21/06170031/antara-pendidikan-politik-dan-kampanyeÂ
https://www.beritasatu.com/opini/6121/pendidikan-politik-di-sekolahÂ
https://journal.institutpendidikan.ac.id/index.php/journalcss/article/view/1222
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H